MAKALAH STUDI SEJARAH
Sejarah ditulis untuk mengingat dan mengetahui peristiwa masa lalu, untuk mengambil ibrah (pengajaran) yang dapat disingkap melalui pembacaan yang komprehensif. Dalam lintasan sejarah waktu, Islam sebagai suatu entitas religius dalam komunitas insani telah meninggalkan warisan panjang berupa historiografi. Sejarah merupakan sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang berdasarkan kepada fakta dan peristiwa. Tanpa adanya fakta maka suatu peristiwa tidak dapat diketahui kebenarannya dan tidak dapat dibuktikan. Sejak dikenal sebagai suatu bidang ilmu pengetahuan, sejarah dimulai dengan berdasarkan teori, pengertian, falsafah dan kaedahnya,maka sejarah menjadi suatu kajian yang ilmiah berdasarkan kepada fakta dan peristiwa sehingga memiliki objek kajian penelitian untuk meneliti suatu kejadian yang telah terjadi. Secara umum, terdapat masalah-masalah yang dihadapi dari berbagai aspek istilah dan disiplin ilmu tersebut. Persoalan-persoalan tersebut menggambarkan adanya peristiwa sejarah. Dan juga melambangkan keistimewaan dan keunikan sejarah tertentu. Keberadaan sejarah tersebut menjadi istimewa karena sejarah merangsang manusia untuk terus membicarakan tentang keberadaannya, kedudukannya, serta kesejarahannya dan harapan untuk mendapatkan sesuatu manfaat dari padanya.
Penulisan tentang sejarah merupakan rekontruksi peristiwa yang terjadi di masa lalu. Penulisan ini baru dapat dilaksanakan apabila telah dilakukan penelitian. Karena tanpa adanya penelitian maka peristiwa sejarah tidak akan terungkap tanpa ada bukti-bukti yang dapat dipertanggung jawabkan. Dalam penelitian dibutuhkan kemampuan untuk mencari, menemukan dan menguji sumber-sumber yang ada dan menguji kebenarannya. Sedangkan dalam penulisan sejarah dibutuhkan kemampuan menyusun fakta-fakta yang bersifat fragmentaris, keadaan suatu uraian yang sistematis, utuh dan komunikatif. Keudanya membutuhkan kesadaran teoritis yang tinggi serta imajinasi yang tinggi pula tentang historis. Sehingga sejarah yang dihasilkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang “apa, siapa, dimana, dan apabila, juga termasuk dalam menjawab pertanyaan bagaimana, mengapa dan apa jadinya”.[1]
Begitu juga dalam histotiografi Islam, sejak masa awal Islam hingga saat sekarang ini, yang juga merupakan peristiwa sejarah. Untuk itu perlu dikaji tentang studi sejarah untuk dapat memahami konsepsi keilmuan sejarah dalam khazanah intelektual Islam. Dalam makalah ini akan dibahas tentang istilah-istilah kunci yang dipakai dalam sejarah, historiografi Islam priode awal, sejarah Islam dan sejarah muslim, pendekatan utama dalam studi sejarah, sejarawan terkemuka dan karya-karyanya, dan perkembangan terakhir historiografi Islam.
PEMBAHASAN
A. Istilah-istilah Kunci
Ayyam
Untuk mengetahui secara mendalam sejarah perjalanan dan warisan asli penduduk jazirah Arab pada masa dahulu (masa jahiliyah). Perhatian ini diarahkan kepada tradisi-tradisi yang menyerupai sejarah, itulah yang disebut dengan al-ayyam. Al-Ayyam secara bahasa, ayyam berarti hari-hari, namun maksud dan kandungannya adalah cerita tentang kepahlawanan seseorang, kemenangan di medan perang. [2]
Sirah
Secara etimologi sirah diambil dari kata Saara, maksudnya adalah berjalan atau merantau. Sirah maksudnya perjalanan hidup seseorang. Hal ini terkait dengan sejarah seseorang dimulai sejak kelahirannya, karakternya, perjuangannya, sumbangsihnya dan seterusnya hingga kematian. Di dalam syariat sirah ini sering terkait dengan sejarah kehidupan nabi Muhammad saw. Dari segi bahasa, sirah bisa juga diartikan sebagai biografi seseorang. Dalam makna yang lebih luas, sirah adalah karya sejarah tentang kehidupan nabi Muhammad, sahabat-sahabatnya, keluarganya dan pengikutnya, dalam rangka menegakkan agama dan menyebarkan risalah ajaran Islam.
Orang yang pertama membuat kerangka yang jelas bagi penulisan sirah (riwayat hidup nabI) adalah Al-Zuhri. Inilah yang menjadi acuan bagi sejarawan berikutnya. Muhammad Ibn Ishaq adalah salah seorang murid Al-Zuhri yang meneruskan penulisan al-Sirah al-Nabawiyah, yang lebih dikenal dengan sirah Ibn Ishaq. Yang dipersembahkan kepada Abu Zafar Al-Mansur, yaitu Khlaifah Bani Abbas yang kedua. Karyanya ini tidak sampai kepada generasi sekarang, tetapi sebagian besar diantaranya dikutip oleh sejarawan yang datang sesudahnya. Terutama sekali oleh Ibn Hisyam di dalam karyanya “Al-Sirah Nabawiyah” yang lebih dikenal dengan nama Sirah Ibn Hisyam. [3]
Thabaqat
Thabaqat berarti lapisan. Transisi masyarakat dari satu lapisan atau kelas dalam penggantian kronologis generasi mudah dilakukan. Sebagaimana qarn yang mendahului arti thabaqat, yang dalam penggunaannya berarti generasi. Ahli-ahli leksikografi mencoba menetapkan ukuran panjang yang pasti dari thabaqat. Sebagian mereka menentukan suatu lapisan generasi itu 20 tahun sedang lainnya 40 tahun. Ada juga yang berpendapat thabaqat itu 10 tahun.
Pada mulanya, sebagai contoh dalam karya Ibn Sa’ad, penyusun thabaqat dipergunakan sebagai biografi para penguasa yang penting dalam pemindahan hadits. Dalam sejarah lokal, semacam karya Washal Sejarah Wasith di dalamnya hanya dibatasi para perawi hadits. Kemudian dapat diperguanakan untuk kelas-kelas kelompok pribadi terutama yang tergolong ulama. Selanjutnya juga digunakan untuk klasifikasi kejadian-kejadian sebagaimanay yang terdapat dalam kitab al-Dzahabi yang berjudul Tarikh al-Islam wa Thabaqati Masyahir al-‘Alam. [4]
Yang penting dalam karya thabaqat ini ialah untuk memperoleh suatu gambaran yang nyata tentang apa yang sebenarnya harus dicari dan diteliti. Dalam karya Abu Ishaq yang berjudul Thabaqat al-Fuqaha' seseorang menginginkan sebanyak mungkin informasi, sehingga memungkinkan mereka untuk mendapatkan biografi tokoh dalam suatu wilayah dan lokasi.[5] Cara alfabetis penyusunan biografi ini banyak memberikan kemudahan bagi generasi selanjutnya. Dalam kitab al-Dibaj yang disusun oleh Ibn Farhun (abad 14 M), ulama-ulama Malikiyah diuraikan sesuai nama mereka, dan ini dibagi ke dalam thabaqat kemudian thabaqat disusun menurut geografis.[6]
Hikayat
Hikayat berasal dari bahasa Arab yang berarti kisah, cerita dan dongeng.[7] Istilah ini masuk kedalam sastra Indonesia yang kemudian diartikan sebagai suatu cerita yang berbentuk prosa dengan alur cerita yang panjang dengan menggunakan gramatikal syair klasik dan biasanya mengisahkan tentang cerita rekaan atau dongeng kepahlawanan atau orang suci yang memiliki kesaktian atau keramat.
Manaqib
Manaqib diartikan dengan biografi disusun dalam kelompok yang disebut tabaqah. Karya ini mencakup sejarah hidup orang-orang besar, tokoh-tokoh terkemuka serta orang-orang penting yang telah meninggal dunia dalam waktu yang kira-kira sama. Didalam masyarakat Islam ada beberapa biografi yang dominan , yaitu biografi nabi Muhammad saw. Yang merupakan sumber utama bagi pembangunan masyarakat lama, biografi meriwayatkan kehidupan nabi Muhammad saw.
Tarajim
Tarajim , secara bahasa diartikan sebagai perjalanan dari rangkaian silsilah atau nasab tertentu.[8] Berdasarkan pengertian ini maka dapat dipahami bahwa tarajim adalah bentuk dari masa tertentu yang memiliki hubungan dengan masa sebelumnya. Masa itu tersusun secara kronologis dalam bentuk-bentuk peristiwa. Oleh karena itu yang menjadi landasan utamanya adalah mengetahui peristiwa yang terjadi pada masa lampau.
Tarikh
Taraikh dari segi bahasa berarti tanggal, masa atau waktu, namun dari segi istilah tarikh juga dapat berarti sejarah yang diambil dari kata “arkh” yang bermakna kepada catatan waktu sebuah peristiwa, dan tarikh secara aktual diindikasikan kepada waktu sebuah peristiwa khusus yang terjadi. Maksudnya adalah peristiwa silam yang berkaitan dengan suatu tokoh atau bangsa atau kaum atau negara. Namun perkataan tarikh dalam sifat umumnya, menunjukkan sebuah ilmu yang berusaha menggali peristiwa-peristiwa masa lalu agar tidak dilupakan, sepadan dengan pengertian history yang menunjukkan ilmu yang membahas peristiwa-peristiwa masa lalu, dan dalam pengertian itulah perkataan tarikh. Hasil dari penulisan sejarah atau tarikh inilah yang disebut dengan historiografi.
B. Historiografi Islam pada Periode Awal
Historiografi Islam merupakan penulisan tentang sejarah Islam yang dilakukan oleh orang Islam, baik oleh kelompok maupun perorangan dari berbagai aliran dan pada masa tertentu. Tujuan penulisannya adalah untuk menunjukkan perkembangan konsep sejarah, baik didalam pemikiran maupun didalam pendekatan ilmiah yang dilakukannya disertai dengan uraian-uraian mengenai pertumbuhan, perkembangan dan kemunduran serta bentuk-bentuk ekspresi yang dipergunakan dalam penyajian bahan-bahan sejarah. Kebanyakkan karya-karya Islam ditulis dalam bahasa Arab, dan banyak pula yang berbahasa lain seperti Persia dan Turki.
Sejarah Islam dapat dibagi kedalam beberapa periode, yaitu : periode klasik, periode pertengahan dan periode modern. Berdasarkan pembagian periodesasi sejarah Islam tersebut, maka untuk melihat awal perkembangan penulisan sejarah (historiografi) Islam, mau tidak mau harus dimulai pada periode awal. Pada awal mulanya umat Islam, karena keperluan dan kepentinga agama meriwayatkan hadis-hadis nabi, termasuk perang-perang yang pernah diikuti oleh nabi dan para sahabat yang yang juga berpartisipasi didalamnya. Penulisan hadis-hadis inilah yang dapat dikatakan sebagai cikal bakal penulisan sejarah Islam.
Historiografi Islam berkaitan erat dengan perkembangan ilmu pengetahuan agama Islam, dan kedudukkan sejarah didalam pendidikan Islam telah memberikan pengaruh yang menentukan tingkat intelektual penulisan sejarah. Historiografi Islam lebih mudah dipelajari dan dipahami dalam kerangka umum peradaban Islam. Dari beberapa penelitian kebudayaan menunjukkan bahwa Islam sebagai suatu agama dunia yang telah menunjukkan suatu perkembangan yang mengagumkan didalam sejarah dunia. Lebih jauh lagi Islam sebagai sebuah agama telah memancarkan pada suatu peradaban. Didalam perkembangan peradaban Islam, tradisi-tradisi kebudayaan asing diserap dan kemudian dimodifikasi dengan kebudayaan Islam, sedangkan yang tidak sesuai dihilangkan. Peradaban Islam menyajikan suatu sistem yang lengkap mengenai pemikiran dan tingkah laku yang berkembang sebagi suatu dorongan utama yang meliputi hubungan manusia dengan Tuhan,alam dan hubungan dengan manusia itu sendiri.
Adapun hal-hal yang mendorong perkembangan bagi penulisan sejarah Islam adalah :
Konsep Islam sebagai agama yang mengandung sejarah nabi Muhammad saw. Adalah sebagai puncak dan pelaksanaan suatu proses sejarah yang dimulai dengan terciptanya alam dunia ini. Nabi Muhammad juga merupakan pembaharu sosial agama yang melaksanakan kenabiannya dan untuk memberikan tuntunan bagi masa depan. Jadi nabi telah menyediakan suatu kerangka bagi suatu wadah sejarah yang sangat luas untuk diisi dan ditafsirkan oleh para sejarawan. Adanya kesadaran sejarah yang dipupuk oleh Muhammad saw. Peristiwa sejarah masa lalu dalam seluruh manifestasinya, sangat penting bagi perkembangan peradaban Islam. Apa yang dicontohkan oleh Muhammad saw. Semasa hidupnya merupakan kebenaran sejarah yang harus menjadi suri tauladan bagi umat Islam selanjutnya. Kesadaran sejarah yang besar ini, menjadi pendorong untuk penelitian dan penulisan sejarah.
Ada beberapa tahap perkembangan dalam menciptakan mekanisme sejarah, yaitu awalnya informasi disampaikan secara lisan, dan kemudian metode penyampaian lisan (oral transmission) dilengkapi dengan catatan tertulis yang tidak dipublikasikan, yaitu semacam pelapor catatan. Sebagian besar karya-karya Islam terdahulu banyak yang hilang, hal ini disebabkan karena tidak adanya lembaga penerbitan dan bahan-bahan tulis yang tahan lama, kemudian juga disebabkan pergantian kekuasaan sehingga karya-karya yang ditulis dibawah kekuasaan bani Umayyah (660-750 H) banyak dimusnahkan.
Dalam konteks perkembangan penulisan sejarah, perkembangan ini akhirnya menyebabkan semakin mendekatnya satu aliran dengan aliran yang lain, dan pada akhinya menjadi lebur. Hal itu disebabkan oleh gesekan budaya antara Islam yang baru lahir dan berkembang dengan bangsa oukimene (berperadaban) yang lain menyebabkan historiografi Islam mangambil corak dari filsafat dan budaya intelektual yang diterjemahkan maupun dikutip oleh penulis-penulis sejarah muslim. Pada masa kekhalifahan al makmun, ketika penerjemahan naskah Yunani dengan materi filsafat dan sejarah digalakkan melalui institusi Dar al-Hikmah , maka penulisan sejarah semakin marak.
Tokoh-tokoh historiografi pada abad kedua Hijrah adalah Muhammad Ibn Ishaq Ibn Yasir (W.150 H), ia sangat terkenal sebagai seorang ahli bidang sirah, karyanya yang sangat dikenal ialah al-sirah Nabawiyah juga lebih dikenal dengan sirah Ibn Ishaq yang dipersembahkan kepada Abu Ja’far al mansyur, khalifah bani Abbas kedua. Namun sirah Ibn Ishaq ini tidak sampai pada generasi sekarang. Tetapi sebagian besar diantaranya dikutip oleh sejarawan sesudahnya, terutama Ibn Hisyam dalam karyanya al-sirah al-Nabawiyah yang lebih dikenal dengan nama sirah Ibn Ishaq, al-Waqidi (W.207 H) dan Muhammad Ibn Sa’ad (W.230 H).
Setelah aliran aliran penulisan sejarah di masa awal Islam melebur dengan karya-karya Ibn Ishaq,al Waqidi, Muhammad Ibn Sa’ad.para sejarawan besar Islam semakin banyak bermunculan, hanya saja seorang sejarawan itu tidak dapat dikategorikan sebagai penganut aliran tertentu. Diantara sejarawan besar tersebut diantaranya adalah Ibn Qatadah al-dinawari (W.276 H), Al Ya’qubi (W.284 H), Al-badzury (W.310 H), Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir al Thabary (W.310 H), Al-Mas’udi (W.975 M).
Tugas utama ahli sejarah adalah menyusun apa yang benar-benar terjadi dan masalah pokok yang mereka hadapi adalah menyelidiki kebenaran informasi yang diperoleh baik secara lisan maupun melalui sumber-sumber tertulis. Pengamatan pribadi dalam pengertian sejarah kontemporer merupakan dasar dari pengetahuan sejarah dan cara yang paling ampuh untuk mengecek kebenaran sejarah. Selanjutnya sistem yang lebih lengkap dikembangkan oleh sarjana hadis, yaitu cara untuk menguji keaslian dan kebenaran hadis,telah dianggap dapat diterapkan untuk penelitian sejarah. Sejarah ditulis telah memberikan suatu wewenang pembuktian.
Ada beberapa sejarawan yang membicarakan metodologi historiografi Islam diantaranya adalah :
Karya Muhammad ibn Ibrahim al-iji, yaitu Tuhfatu al-Faqier ila Shahibi al-sarier, ditulis tahun 1381-1383 m. Ia adalah seorang sarjana Persia dengan kitabnya ini ia bertujuan untuk menyajikan informasi sejarah sebagaimana filsafat spekulatif telah melakukan untuk ilmu hadis, yaitu suatu pendekatan yang sistematis untuk menentukan kepastian kebenaran sejarah yang benar.
Muhyiddin Muhammad ibn Sulaiman al-Kafiyani (1386-1474 H). Ia menulis karya komprehensif tentang historiografi Islam, metode, masalah-masalahnya, dan sejarah . hal ini dituangkan dalam kitabnya Mukhtashar fi ilm al-tarikh,terbit di Kairo pada tahun 1463 H.
C. Sejarah Islam dan Sejarah Muslim
Sejarah Islam adalah peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lalu yang berkaitan dengan agama Islam. Islam memiliki ruang lingkup yang sangat luas, oleh karena itu maka penelitiannya harus dimulai dari proses pertumbuhannya, perkembangannya dan penyebarannya serta juga tokoh pembawa, pengembang dan penyebar Islam serta kemajuan dan kemunduran yang dicapai umat Islam dalam berbagai bidang. Korelasinya dalam hal ini maka banyak literature yang menguraikan sejarah Islam dengan spesifikasi tema tertentu seperti sejarah ummat Islam yang dikarang oleh Prof. Dr. Hamka.
Sedangkan sejarah muslim adalah peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lalu yang berkaitan dengan eksistensi umat Islam, sehingga secara kontekstual, sejarah muslim ini merupakan bagian yang integral dari sejarah Islam.
D. Pendekatan Utama Dalam Studi Sejarah
Pendekatan sejarah menjelaskan dari segi mana kajian hendak dilakukan, dimensi mana yang diperhatikan, unsur-unsur mana yang diungkapkannya, dan sebagainya. Deskripsi dan rekontruksi yang diperoleh akan banyak ditentukan oleh jenis pendekatan yang dipergunakan. Oleh karena itu ilmu sejarah tidak segan-segan melintasi serta menggunakan berbagai bidang disiplin atau ilmu untuk menunjang studi dan penelitiannya, yang didalam ilmu sejarah sudah sejak awal telah dikenalnya dan disebut sebagai ilmu-ilmu bantu sejarah (sciences auxiliary to histori). Diantara pendekatan dalam penelitian sejarah adalah sebagai berikut :
1. Pendekatan Manusia
Penelitian sejarah senantiasa berarti penelitian sejarah manusia. Fungsi dan tugas penelitian sejarah ialah merekonstruksi masa lampau manusia (the human past) sebagaimana adanya (as it was). Harus disadari sepenuhnya bahwa betapapun cermatnya suatu penelitian sejarah, dengan rekonstruksi semacam itu seorang sejarawan akan masih tetap menghadapi sejumlah problem yang tidak mudah. Dengan memberikan aksentuasi “sejarah manusia” untuk mengingatkan bahwa penelitian dan rekonstruksi sejarah hendaknya lebih berperspektif pada konsep manusia seutuhnya. Manusia adalah makhluk yang memiliki rohani dan jasmani. Rohani dengan manifestasinya dalam bentuk akal, rasa dan kehendak yang menjadi sumber eksistensi hanya nyata dalam realitas didalam alam jasmani. Perkembangan rohani manusia menjadi nampak dalam wadah agama, kebudayaan, peradaban, ilmu pengetahuan, seni dan teknologi. Manusia juga beraspek individu sekaligus bersosial, unik (particular), sekaligus umum (general). Keduanya sekaligus merupakan keutuhan (integritas), kesatuan (entitas), dan keseluruhan (totalitas). Rekonstruksi sejarahpun hendaknya utuh dan menyeluruh.
2. Pendekatan ilmu-ilmu sosial
Melalui pendekatan ilmu-ilmu sosial di mungkinkan ilmu sejarah memperoleh pemahamam yang lebih utuh mengenai makna-makna peristiwa sejarah.
a. Pendekatan Sosiologi
Pendekatan sosiologi dalam ilmu sejarah, menurut Max Weber, dimaksudkan sebagai upaya pemahaman interpretatif dalam kerangka memberikan penjelasan (eksplanasi) kausal terhadap perilaku-perilaku sosial dalam sejarah. Sejauh ini perilaku-perilaku sosial tersebut lebih dilekatkan pada makna subjektif dari seorang individu (pemimpin atau tokoh), dan bukannya perilaku massa. Pendekatan sosiologi dalam ilmu sejarah menghasilkan sejarah sosial. Bidang garapannya pun sangat luas dan beraneka ragam. Kebanyakan sejarah sosial berkaitan erat dengan sejarah sosial-ekonomi.
b. Pendekatan Antropologi
Antropologi dan sejarah pada hakikatnya memiliki objek kajian yang sama, ialah manusia dan pelbagai dimensi kehidupannya. Hanya bedanya sejarah lebih membatasi diri kajiannya pada peristiwa-peristiwa masa lampau, sedang antropologi lebih tertuju pada unsur-unsur kebudayaan. Kedua disiplin ilmu itu dapat dikatakan hampir tumpang tindih, sehingga seorang antropolog terkemuka, Evans-Pritchard, menyatakan bahwa ‘’Antropologi adalah sejarah’’. Hal yang sama dikemukakan pula oleh Arnold J. Toynbee(1889-1975) yang menyatakan bahwa tugas seorang sejarawan tidak jauh berbeda dari seorang antropolog, ialah melalui studi komparasi berusaha mempelajari siklus kehidupan masyarakat, kemudian dari masing-masing kebudayaan dan peradaban mereka ditarik sifat-sifatnya yang universal (umum).
Fakta yang dikaji dari kedua disiplin ilmu, antropologi dan sejarah, adalah sama. Terdapat tiga jenis fakta, ialah : artefak, socifact, dan mentifact. Fakta menunjuk kepada kejadian atau peristiwa sejarah. Sebagai suatu konstruk, fakta sejarah pada dasarnya sebagai hasil strukturisasi seseorang terhadap suatu peristiwa sejarah. Maka artefak sebagai benda fisik adalah konkret dan merupakan hasil buatan. Sebagai proses artefak menunjuk hasil proses pembuatan yang telah terjadi di masa lampau. Analog dengan hal itu maka socifact menunjuk kepada peristiwa sosial yang telah mengkristalisasi dalam pranata, lembaga, organisasi dan lain sebagainya. Sedang mentifact menunjuk kepada produk ide dan pikiran manusia. Ketiganya, artifact, socifact, dan mentifact, adalah produk masa lampau atau sejarah, dan hanya dapat dipahami oleh keduanya, antorpologi dan sejarah, dengan melacak proses perkembangannya melalui sejarah. Studi ini jelas menunjukkan titik temu dan titik konvergensi pendekatan antropologi dan pendekatan sejarah.
c. Pendekatan Ilmu Politik
Pengertian politik dapat bermacam-macam sesuai dari sudut mana memandangnya. Namun pada umumnya definisi politik menyangkut kegiatan yang berhubungan dengan negara dan pemerintahan. Fokus perhatian ilmu politik, karenanya, lebih tertuju pada gejala-gejala masyarakat seperti pengaruh dan kekuasaan, kepentingan dan partai politik, keputusan dan kebijakan, konflik dan konsessus, rekrutmen dan perilaku kepemimpinan, masa dan pemilih, budaya politik, sosialiasasi politik, masa dan pemilih, dan lain sebagainya. Apabila politik diartikan sebagai polity (kebijakan), maka definisi politik lebih dikaitkan dengan pola distribusi kekuasaan. Jelas pula bahwa pola pembagian kekuasaan akan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti sosial, ekonomi, dan kultural. Posisi sosial, status ekonomi, dan otoritas kepemimpinan seseorang dapat memberi peluang untuk memperoleh kekuasaan.
3. Pendekatan Psikologi dan Psikoanalisis
dengan menggunakan pendekatan psikologi dan psikoanalisis studi sejarah tidak saja sekedar mampu mengungkap gejala-gejala di permukaan saja, namun labih jauh mampu menembus memasuki ke dalam kehidupan kejiwaan, sehingga dapat dengan lebih baik untuk memahami perilaku manusia dan masyarakatnya di masa lampau. Terobosan pertama yang paling terkenal dalam menerapkan psikologi dalam (depth psychology) pada studi ilmu sejarah dilakukan oleh Erik H. Erikson. Ternyata konsep-konsep mengenai krisis identitas di masa remmaja dapat digunakan untuk mengeksplanasi perilaku tokoh-tokoh sejarah terkemuka. Mengenai mengapa Martin Luther tampil sebagai reformator, Mahatma Gandhi menjadi seorang pemimpin gerakan anti kekerasan (non violence) di India, dan Adolf Hitler tampil sebagai seorang yang anti Semitis, serta Sukarno sebagai orang anti kolonialisme dan imperialisme, dapat dilacak kembali melalui analisis kehidupan tokoh-tokoh tersebut di masa remaja mereka. Dengan demikian pendekatan psycho history yang dirintis oleh Erik H Erikson telah membuka suatu dimensi baru dalam studi sejarah.
4. Pendekatan Kuantitatif
Dengan pendekatan kuantitatif dimaksudkan sebagai upaya untuk mendeskripsikan gejala-gejala alam dan sosial dengan menggunakan angka-angka. Quantum, quantitas dalam bahasa latin berati jumlah. Oleh sebab menggunakan angka-angka, maka pendekatan kuantitatif mempersyaratkan adanya pengukuran (measurement) terhadap tingkatan ciri-ciri tertentu dari suatu gejala yang diamati. Pengamatan kuantitatif berupaya menemukan ciri-ciri tersebut, untuk kemudian diukur berdasarkan kriteria-kriteria pengukuran yang telah ditentukan. Hasil pengukuran itu berupa angka-angka yang menggambarkan kuantitas atau derajat kualitas dari kenyataan dan eksistensi gejala alam yang diukurnya. Data-data angka hasil pengukuran dari gejala-gejala alam ayang diamati itulah yang kemudian dianalisis, dicari derajat kuantitas, atau kualitasnya, dipelajari hubungannya antara gejala yang satu dengan yang lain, dikaji pengaruhnya terhadap suatu gejala, hubungan sebab-akibatnya, pendek kata dianalisis sesuai dengan tujuan peneliti.
Metode sejarah hingga sekarang lebih cenderung menggunakan pendekatan kualitatif. Harus diakui pendekatan kualitatif mengandung banyak kelemahan. Kelemahan-kelemahan itu adalah bersumber pada tiadanya kriteria yang jelas dalam penyusunan instrumentasi yang digunakan untuk mengukur kebenaran data dan fakta, serta tiadanya kaidah-kaidah umum, apalagi khusus, dalam metode dan teknik menganalisis hubungan antar berbagai peristiwa sejarah, hingga dengan demikian dalam menganalisis hubungannya, lebih banyak ditentukan oleh intuisi dan imaginasi peneliti yang kadar kebenarannya tidak dapat diuji secara empirik. Generalisasi sejarah tak pernah mendasarkan diri pada infreerensi dari hubungan antara besarnya sampel dengan jumlah populasi.
Penggunaan pendekatan kuantitatif dalam metode sejarah dapat memperkecil kelemahan-kelemahan tersebut di satu pihak, dan dapat memperbesar bobot ilmiahnya dalam analisis peristiwa-peristiwa sejarah di lain pihak. Penalaran berdasarkan tata-pikir dan prosedur statistik setidak-tidaknya dapat mengendalikan (mengontrol) analisis dan interprestasi berdasarkan pada pendapat-pendapat pribadi. Lebih jauh tata-fikir dan prosedur statistik dalam metode sejarah dapat membantu metodologi sejarah dalam mengefektifkan tugas-tugas ilmiahnya, ialah untuk memberikan penjelasan (eksplanasi), meramalkan (prediksi), dan mengendalikan (kontrol) terhadap gejala-gejala atau peristiwa-peristiwa sejarah. Dalam melakukan generalisasi, dengan demikian, sejarawan harus menjadi lebih berhati-hati dan dalam menganalisis hubungan kausal yang kompleks dan rumit dari berbagai peristiwa kiranya tidak mungkin lagi dapat diselesaikan dengan baik tanpa bantuan pendekatan kuantitatif. Pendek kata penggunaan pendekatan kuantitatif dapat mempertajam wawasan metode sejarah.
E. Sejarawan Terkemuka dan Karya-karyanya
Sebagian besar karya hisroriografi Islam adalah berkat jasa sarjana-sarjana terdidik dalam ilmu agama. Kegiatan penulisan mereka menyangkut pula penulisan sejarah seperti Bukhori (870), seorang pengumpul Hadits,ia menyusun pula biografi-biografi tokoh-tokoh agama dan menamakan bukunya dengan judul Al-Tarikh al-kabir dengan karya Sejarah tersebut,maka dengan demikian ia membentuk dirinya menurut kesadaran Islam sebagai seorang sejarawan.[9]
Sejarawan islam di istana merupakan bagian penting di beberapa istana, seperti istana dinasti yang lebih muda dari Persia dan Ottoman yang menyediakan fasilitas yang sangat mendorong untuk melakukan studi sejarah. Jumlah mareka tidak banyak, dan mereka berjasa dalam menghasilkan karya-karya terbaik dalam sejarah lisan. Misalnya :
a. Pada akhir abad ke-10, sejarawan seperti Mishkawayh (1030M) dan Hilal as-Sabi (1036M) merupakan pejabat pemerintah yang tidak hanya memiliki pengetahuan mendalam dalam urusan politik tapi juga berhasil dan sangat memahami filsafat dan ilmu-ilmu non agama.
b. Imad ad-Din al-Isfahani (1201M), karyanya Barg ash’sha’bi merupakan contoh terbaik dari suatu memori sejarah yang ditulis oleh seorang pejabat tinggi dengan menggunakan dokumen-dokumen dan buku harian. Karya ini merupakan model dari suatu karya besar historiografi diplomatis dalam Islam.[10]
Sejarawan Profesional, Merupakan orang-orang yang mengabdikan dirinya dalam menyusun karya-karya sejarah dan menganggap diri mereka atau dianggap oleh tradisi Islam sebagai sejawaran. Sejarawan profesional dalam pengertian modern hampir tidak ada dalam lingkungan abad pertengahan. Sejarawan ini misalnya Al-Mas’udi dan Al-Magrizi (1442M), pada masa kekuasaan dinasti Mamluk di Mesir.[11]
Tradisi Arab sebelum Islam telah menekankan unsur fakta konkret dalam sejarah, terlepas dari lingkungannya dan sedapat mungkin tidak mengalami perubahan oleh proses berfikir manusia. Bentuk dasar karya Islam adalah berupa pernyataan sederhana, peristiwa-peristiwa lepas, tanpa bobot, walaupun aneka ragam, penonjolan watak, semuanya disusun sekaligus tanpa suatu penjelasan mengenai sebab musababnya. Kebenaran sejarah, sebagaimana kebenaran agama telah dianggap terjamin oleh sifat jujur dari sejumlah orang yang menyampaikan suatu informasi secara berantai sehingga mereka disebut “rangkaian pemberi khabar” atau isnad.[12]
Makalah Sejarah Penyusunan Al Quran
Oleh: Ibrahim Lubis
A. Pengertian Al Quran
Al-Qur’ān (ejaan KBBI: Alquran, Arab: القرآن) adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam percaya bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, dan bagian dari rukun iman, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui perantaraan Malaikat Jibril. Dan sebagai wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah SAW adalah sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-'Alaq ayat 1-5[1].
Secara Etimologi Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya: “Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”
Sedangkan secara terminologi menurut Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur'an sebagai “Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah”.
Sedangkan Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas"
Dapat disimpulkan bahwa Al Quran merupakan firman Allah SWT yang diwahyukan kepada nabi muhammad SAW melalui malaikat Jibril AS dan membacanya merupakan suatu ibadah. Firman allah yang disampaikan selain kepada nabi muhammad saw seperti kitab taurat (Nabi Musa), kitab Injil (Nabi Isa) dan kitab zabur (nabi Daud)tidak termasuk al Quran dan tidak ibadah apabila membacanya.
B. Nama-nama lain Al-Qur'an
Dalam Al-Qur'an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama lain yang digunakan untuk merujuk kepada Al-Qur'an itu sendiri. Berikut adalah nama-nama tersebut dan ayat yang mencantumkannya:
1. Al-Kitab QS(2:2),QS (44:2)
2. Al-Furqan (pembeda benar salah): QS(25:1)
3. Adz-Dzikr (pemberi peringatan): QS(15:9)
4. Al-Mau'idhah (pelajaran/nasihat): QS(10:57)
5. Al-Hukm (peraturan/hukum): QS(13:37)
6. Al-Hikmah (kebijaksanaan): QS(17:39)
7. Asy-Syifa' (obat/penyembuh): QS(10:57), QS(17:82)
8. Al-Huda (petunjuk): QS(72:13), QS(9:33)
9. At-Tanzil (yang diturunkan): QS(26:192)
10. Ar-Rahmat (karunia): QS(27:77)
11. Ar-Ruh (ruh): QS(42:52)
12. Al-Bayan (penerang): QS(3:138)
13. Al-Kalam (ucapan/firman): QS(9:6)
14. Al-Busyra (kabar gembira): QS(16:102)
15. An-Nur (cahaya): QS(4:174)
16. Al-Basha'ir (pedoman): QS(45:20)
17. Al-Balagh (penyampaian/kabar) QS(14:52)
18. Al-Qaul (perkataan/ucapan) QS(28:51)
C. Struktur dan pembagian Al-Qur'an
1. Surat, ayat dan ruku'
Al-Qur'an terdiri atas 114 bagian yang dikenal dengan nama surah (surat). Setiap surat akan terdiri atas beberapa ayat, di mana surat terpanjang dengan 286 ayat adalah surat Al Baqarah dan yang terpendek hanya memiliki 3 ayat yakni surat Al Kautsar, An-Nasr dan Al-‘Așr. Surat-surat yang panjang terbagi lagi atas sub bagian lagi yang disebut ruku' yang membahas tema atau topik tertentu.
2. Makkiyah dan Madaniyah
Sedangkan menurut tempat diturunkannya, setiap surat dapat dibagi atas surat-surat Makkiyah (surat Mekkah) dan Madaniyah (surat Madinah). Pembagian ini berdasarkan tempat dan waktu penurunan surat dan ayat tertentu di mana surat-surat yang turun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah digolongkan surat Makkiyah sedangkan setelahnya tergolong surat Madaniyah.
Surat yang turun di Makkah pada umumnya suratnya pendek-pendek, menyangkut prinsip-prinsip keimanan dan akhlaq, panggilannya ditujukan kepada manusia. Sedangkan yang turun di Madinah pada umumnya suratnya panjang-panjang, menyangkut peraturan-peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan Tuhan atau seseorang dengan lainnya (syari'ah). Pembagian berdasar fase sebelum dan sesudah hijrah ini lebih tepat, sebab ada surat Madaniyah yang turun di Mekkah.[rujukan?]
3. Juz dan manzil
Dalam skema pembagian lain, Al-Qur'an juga terbagi menjadi 30 bagian dengan panjang sama yang dikenal dengan nama juz. Pembagian ini untuk memudahkan mereka yang ingin menuntaskan bacaan Al-Qur'an dalam 30 hari (satu bulan). Pembagian lain yakni manzil memecah Al-Qur'an menjadi 7 bagian dengan tujuan penyelesaian bacaan dalam 7 hari (satu minggu). Kedua jenis pembagian ini tidak memiliki hubungan dengan pembagian subyek bahasan tertentu.
4. Menurut ukuran surat
Kemudian dari segi panjang-pendeknya, surat-surat yang ada di dalam Al-Qur’an terbagi menjadi empat bagian, yaitu:
a) As Sab’uththiwaal (tujuh surat yang panjang). Yaitu Surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisaa’, Al-A’raaf, Al-An’aam, Al Maa-idah dan Yunus
b) Al Miuun (seratus ayat lebih), seperti Hud, Yusuf, Mu'min dan sebagainya
c) Al Matsaani (kurang sedikit dari seratus ayat), seperti Al-Anfaal, Al-Hijr dan sebagainya
d) Al Mufashshal (surat-surat pendek), seperti Adh-Dhuha, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas dan sebagainya
D. Sejarah Al Quran hingga berbentuk mushaf
Al-Qur'an memberikan dorongan yang besar untuk mempelajari sejarah dengan secara adil, objektif dan tidak memihak[2]. Dengan demikian tradisi sains Islam sepenuhnya mengambil inspirasi dari Al-Qur'an, sehingga umat Muslim mampu membuat sistematika penulisan sejarah yang lebih mendekati landasan penanggalan astronomis.
1. Penurunan Al-Qur'an
Al-Qur'an tidak turun sekaligus. Al-Qur'an turun secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Oleh para ulama membagi masa turun ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah.
2. Penulisan Al-Qur'an dan perkembangannya
Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur'an sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian transformasinya menjadi teks yang dijumpai saat ini selesai dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin Affan.
3. Pengumpulan Al-Qur'an pada masa Rasullulah SAW
Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.
4. Pengumpulan Al-Qur'an pada masa Khulafaur Rasyidin
Pada masa pemerintahan Abu Bakar
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran (dalam perang yang dikenal dengan nama perang Ridda) yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad SAW.
Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standardisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam pada masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an.
Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif, dengan sanad yang shahih:“ Suwaid bin Ghaflah berkata, "Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik tentang Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al Qur'an sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu tentang isu qira'at ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira'atnya lebih baik dari qira'at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran'. Kami berkata, 'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku berpendapat agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan.' Kami berkata, 'Pendapatmu sangat baik'." ”
Menurut Syaikh Manna' Al-Qaththan dalam Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an, keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah (mushaf al-Imam).
E. Upaya penerjemahan dan penafsiran Al Qur'an
Upaya-upaya untuk mengetahui isi dan maksud Al Qur'an telah menghasilkan proses penerjemahan (literal) dan penafsiran (lebih dalam, mengupas makna) dalam berbagai bahasa. Namun demikian hasil usaha tersebut dianggap sebatas usaha manusia dan bukan usaha untuk menduplikasi atau menggantikan teks yang asli dalam bahasa Arab. Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidak sama dengan Al-Qur'an itu sendiri.
1. Terjemahan
Terjemahan Al-Qur'an adalah hasil usaha penerjemahan secara literal teks Al-Qur'an yang tidak dibarengi dengan usaha interpretasi lebih jauh. Terjemahan secara literal tidak boleh dianggap sebagai arti sesungguhnya dari Al-Qur'an. Sebab Al-Qur'an menggunakan suatu lafazh dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang bervariasi; kadang-kadang untuk arti hakiki, kadang-kadang pula untuk arti majazi (kiasan) atau arti dan maksud lainnya.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:
· Al-Qur'an dan Terjemahannya, oleh Departemen Agama Republik Indonesia, ada dua edisi revisi, yaitu tahun 1989 dan 2002
· Terjemah Al-Qur'an, oleh Prof. Mahmud Yunus
· An-Nur, oleh Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Siddieqy
· Al-Furqan, oleh A. Hassan guru Persatuan Islam
Terjemahan dalam bahasa Inggris antara lain:
· The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary, oleh Abdullah Yusuf Ali
· The Meaning of the Holy Qur'an, oleh Marmaduke Pickthall
Terjemahan dalam bahasa daerah Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:
· Qur'an Kejawen (bahasa Jawa), oleh Kemajuan Islam Jogyakarta
· Qur'an Suadawiah (bahasa Sunda)
· Qur'an bahasa Sunda oleh K.H. Qomaruddien
· Al-Ibriz (bahasa Jawa), oleh K. Bisyri Mustafa Rembang
· Al-Qur'an Suci Basa Jawi (bahasa Jawa), oleh Prof. K.H.R. Muhamad Adnan
· Al-Amin (bahasa Sunda)
· Terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Bugis (huruf lontara), oleh KH Abdul Muin Yusuf (Pimpinan Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa Benteng Sidrap Sulsel)
2. Tafsir
Upaya penafsiran Al-Qur'an telah berkembang sejak semasa hidupnya Nabi Muhammad, saat itu para sahabat tinggal menanyakan kepada sang Nabi jika memerlukan penjelasan atas ayat tertentu. Kemudian setelah wafatnya Nabi Muhammad hingga saat ini usaha menggali lebih dalam ayat-ayat Al-Qur'an terus berlanjut. Pendekatan (metodologi) yang digunakan juga beragam, mulai dari metode analitik, tematik, hingga perbandingan antar ayat. Corak yang dihasilkan juga beragam, terdapat tafsir dengan corak sastra-bahasa, sastra-budaya, filsafat dan teologis bahkan corak ilmiah.
F. Adab terhadap Al-Qur'an
Ada dua pendapat mengenai hukum menyentuh Al-Qur'an terhadap seseorang yang sedang junub, perempuan haid dan nifas. Pendapat pertama mengatakan bahwa jika seseorang sedang mengalami kondisi tersebut tidak boleh menyentuh Al-Qur'an sebelum bersuci. Sedangkan pendapat kedua mengatakan boleh dan sah saja untuk menyentuh Al-Qur'an, karena tidak ada dalil yang menguatkannya.
1. Pendapat pertama
Sebelum menyentuh sebuah mushaf Al-Qur'an, seorang Muslim dianjurkan untuk menyucikan dirinya terlebih dahulu dengan berwudhu. Hal ini berdasarkan tradisi dan interpretasi secara literal dari surat Al Waaqi'ah ayat 77 hingga 79.
Terjemahannya antara lain: 56-77. Sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia, 56-78. pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), 56-79. tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (56:77-56:79)
Penghormatan terhadap teks tertulis Al-Qur'an adalah salah satu unsur penting kepercayaan bagi sebagian besar Muslim. Mereka memercayai bahwa penghinaan secara sengaja terhadap Al Qur'an adalah sebuah bentuk penghinaan serius terhadap sesuatu yang suci. Berdasarkan hukum pada beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim, hukuman untuk hal ini dapat berupa penjara kurungan dalam waktu yang lama dan bahkan ada yang menerapkan hukuman mati.
2. Pendapat kedua
Pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud oleh surat Al Waaqi'ah di atas ialah: "Tidak ada yang dapat menyentuh Al-Qur’an yang ada di Lauhul Mahfudz sebagaimana ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya (ayat 78) kecuali para Malaikat yang telah disucikan oleh Allah." Pendapat ini adalah tafsir dari Ibnu Abbas dan lain-lain sebagaimana telah diterangkan oleh Al-Hafidzh Ibnu Katsir di tafsirnya. Bukanlah yang dimaksud bahwa tidak boleh menyentuh atau memegang Al-Qur’an kecuali orang yang bersih dari hadats besar dan hadats kecil.
Pendapat kedua ini menyatakan bahwa jikalau memang benar demikian maksudnya tentang firman Allah di atas, maka artinya akan menjadi: Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali mereka yang suci/bersih, yakni dengan bentuk faa’il (subyek/pelaku) bukan maf’ul (obyek). Kenyataannya Allah berfirman : Tidak ada yang menyentuhnya (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan, yakni dengan bentuk maf’ul (obyek) bukan sebagai faa’il (subyek).
“Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci”[3] Yang dimaksud oleh hadits di atas ialah : Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang mu’min, karena orang mu’min itu suci tidak najis sebagaimana sabda Muhammad. “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis”[4]
Makalah Kodifikasi Alquran
Mushaf Alquran yang ada di tangan kita sekarang ternyata telah melalui perjalanan panjang yang berliku-liku selama kurun waktu lebih dari 1400 tahun yang silam dan mempunyai latar belakang sejarah yang menarik untuk diketahui. Selain itu jaminan atas keotentikan Alquran langsung diberikan oleh Allah SWT yang termaktub dalam firman-Nya QS.AL Hijr -(15):9:
"Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr (Alquran), dan kamilah yang akan menjaganya" Makalah ini akan menguraikan tentang sejarah kodifikasi Alquran dari masa Rasulullah hingga masa khalifah Utsman bin Affan, serta penambahan tanda baca Alquran yang banyak dilakukan setelah masa Utsman bin Affan.
Usaha pengumpulan dan kodifikasi Alquran telah dimulai sejak masa Rasulullah saw. Secara resmi kodifikasi Alquran dimulai pada masa khalifah Abu Bakar bin Khattab. Pada masa khalifah Utsman, Alquran kemudian diseragamkan tulisan dan bacaannya demi menghindari beberapa hal. Korpus yang diseragamkan inilah yang kemudian dikenal dengan mushaf Utsmani. Mushaf Utsmani kemudian diberi harakat dan tanda baca pada masa Ali bin Abi Thalib. Ada beberapa perbedaan tentang urutan ayat maupun surah seperti yang dicantumkan dalam mushaf Utsmani, hal ini dikarenakan perbedaan pendapat para penghapal Alquran dan karena turunnya Alquran memang tidak berurutan seperti yang terdapat dalam mushaf Utsmani.
BAB II
PEMBAHASAN
Makalah Kodifikasi Alquran
A. Sejarah Kodifikasi Alquran
1. Pada Masa Rasulullah
Pengumpulan Alquran pada zaman Rasulullah SAW ditempuh dengan dua cara:
Pertama : al Jam'u fis Sudur
Para sahabat langsung menghafalnya diluar kepala setiap kali Rasulullah SAW menerima wahyu.[1] Hal ini bisa dilakukan oleh mereka dengan mudah terkait dengan kultur (budaya) orang arab yang menjaga Turast (peninggalan nenek moyang mereka diantaranya berupa syair atau cerita) dengan media hafalan dan mereka sangat masyhur dengan kekuatan daya hafalannya.
Kedua : al Jam'u fis Suthur
Yaitu wahyu turun kepada Rasulullah SAW ketika beliau berumur 40 tahun yaitu 12 tahun sebelum hijrah ke madinah. Kemudian wahyu terus menerus turun selama kurun waktu 23 tahun berikutnya dimana Rasulullah. SAW setiap kali turun wahyu kepadanya selalu membacakannya kepada para sahabat secara langsung dan menyuruh mereka untuk menuliskannya sembari melarang para sahabat untuk menulis hadis-hadis beliau karena khawatir akan bercampur dengan Alquran. Rasul SAW bersabda "Janganlah kalian menulis sesuatu dariku kecuali Alquran, barangsiapa yang menulis sesuatu dariku selain Alquran maka hendaklah ia menghapusnya
Biasanya sahabat menuliskan Alquran pada media yang terdapat pada waktu itu berupa ar-Riqa' (kulit binatang), al-Likhaf (lempengan batu), al-Aktaf (tulang binatang), al-`Usbu ( pelepah kurma). Sedangkan jumlah sahabat yang menulis Alquran waktu itu mencapai 40 orang. Adapun hadis yang menguatkan bahwa penulisan Alquran telah terjadi pada masa Rasulullah s.a.w. adalah hadis yang di Takhrij (dikeluarkan) oleh al-Hakim dengan sanadnya yang bersambung pada Anas r.a., ia berkata: "Suatu saat kita bersama Rasulullah s.a.w. dan kita menulis Alquran (mengumpulkan) pada kulit binatang ".
Dari kebiasaan menulis Alquran ini menyebabkan banyaknya naskah-naskah (manuskrip) yang dimiliki oleh masing-masing penulis wahyu, diantaranya yang terkenal adalah: Ubay bin Ka'ab, Abdullah bin Mas'ud, Mu'adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Salin bin Ma'qal. Adapun hal-hal yang lain yang bisa menguatkan bahwa telah terjadi penulisan Alquran pada waktu itu adalah Rasulullah SAW melarang membawa tulisan Alquran ke wilayah musuh. Rasulullah s.a.w. bersabda: "Janganlah kalian membawa catatan Alquran kewilayah musuh, karena aku merasa tidak aman (khawatir) apabila catatan Alquran tersebut jatuh ke tangan mereka”.
Kisah masuk islamnya sahabat `Umar bin Khattab r.a. yang disebutkan dalam buku-bukus sejarah bahwa waktu itu `Umar mendengar saudara perempuannya yang bernama Fatimah sedang membaca awal surah Thaha dari sebuah catatan (manuskrip) Alquran kemudian `Umar mendengar, meraihnya kemudian memba-canya, inilah yang menjadi sebab ia mendapat hidayah dari Allah sehingga ia masuk islam. Sepanjang hidup Rasulullah s.a.w Alquran selalu ditulis bilamana beliau mendapat wahyu karena Alquran diturunkan tidak secara sekaligus tetapi secara bertahap.
2. Pada Masa Abu Bakar
Sepeninggal Rasulullah SAW, istrinya `Aisyah menyimpan beberapa naskah catatan (manuskrip) Alquran, dan pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a terjadilah Jam'ul Quran[2] yaitu pengumpulan naskah-naskah atau manuskrip Alquran yang susunan surah-surahnya menurut riwayat masih berdasarkan pada turunnya wahyu (hasbi tartibin nuzul). Imam Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya sebab-sebab yang melatarbelakangi pengumpulan naskah-naskah Alquran yang terjadi pada masa Abu Bakar yaitu Atsar yang diriwatkan dari Zaid bin Tsabit r.a. yang berbunyi: " Suatu ketika Abu bakar menemuiku untuk menceritakan perihal korban pada perang Yamamah , ternyata Umar juga bersamanya. Abu Bakar berkata :" Umar menghadap kapadaku dan mengatakan bahwa korban yang gugur pada perang Yamamah sangat banyak khususnya dari kalangan para penghafal Alquran, aku khawatir kejadian serupa akan menimpa para penghafal Alquran di beberapa tempat sehingga suatu saat tidak akan ada lagi sahabat yang hafal Alquran, menurutku sudah saatnya engkau wahai khalifah memerintahkan untuk mengumpul-kan Alquran, lalu aku berkata kepada Umar : " bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah s. a. w. ?" Umar menjawab: "Demi Allah, ini adalah sebuah kebaikan".
Selanjutnya Umar selalu saja mendesakku untuk melakukannya sehingga Allah melapangkan hatiku, maka aku setuju dengan usul umar untuk mengumpulkan Alquran. Zaid berkata: Abu bakar berkata kepadaku : "engkau adalah seorang pemuda yang cerdas dan pintar, kami tidak meragukan hal itu, dulu engkau menulis wahyu (Alquran) untuk Rasulullah s. a. w., maka sekarang periksa dan telitilah Alquran lalu kumpulkanlah menjadi sebuah mushaf". Zaid berkata : " Demi Allah, andaikata mereka memerintahkan aku untuk memindah salah satu gunung tidak akan lebih berat dariku dan pada memerintahkan aku untuk mengumpulkan Alquran. Kemudian aku teliti Alquran dan mengumpulkannya dari pelepah kurma, lempengan batu, dan hafalan para sahabat yang lain".
Kemudian Mushaf hasil pengumpulan Zaid tersebut disimpan oleh Abu Bakar, peristiwa tersebut terjadi pada tahun 12 H. Setelah ia wafat disimpan oleh khalifah sesudahnya yaitu Umar, setelah ia pun wafat mushaf tersebut disimpan oleh putrinya dan sekaligus istri Rasulullah s.a.w. yang bernama Hafsah binti Umar r.a.
Semua sahabat sepakat untuk memberikan dukungan mereka secara penuh terhadap apa yang telah dilakukan oleh Abu bakar berupa mengumpulkan Alquran menjadi sebuah Mushaf. Kemudian para sahabat membantu meneliti naskah-naskah Alquran dan menulisnya kembali. Sahabat Ali bin Abi thalib berkomentar atas peristiwa yang bersejarah ini dengan mengatakan : " Orang yang paling berjasa terhadap Mushaf adalah Abu bakar, semoga ia mendapat rahmat Allah karena ialah yang pertama kali mengumpulkan Alquran, selain itu juga Abu bakarlah yang pertama kali menyebut Alquran sebagai Mushaf).
Menurut riwayat yang lain orang yang pertama kali menyebut Alquran sebagai Mushaf adalah sahabat Salim bin Ma'qil pada tahun 12 H lewat perkataannya yaitu : "Kami menyebut di negara kami untuk naskah-naskah atau manuskrip Alquran yang dikumpulkan dan di bundel sebagai MUSHAF" dari perkataan salim inilah Abu bakar mendapat inspirasi untuk menamakan naskah-naskah Alquran yang telah dikumpulkannya sebagai al-Mushaf as Syarif (kumpulan naskah yang mulya). Dalam Alquran sendiri kata Suhuf (naskah ; jama'nya Sahaif) tersebut 8 kali, salah satunya adalah firman Allah QS. Al Bayyinah (98):2 " Yaitu seorang Rasul utusan Allah yang membacakan beberapa lembaran suci. (Alquran)"
3. Pada Masa Umar bin Khattab
Tidak ada perkembangan yang signifikan terkait dengan kodifikasi Alquran yang dilakukan oleh khalifah kedua ini selain melanjutkan apa yang telah dicapai oleh khalifah pertama yaitu mengemban misi untuk menyebarkan islam dan mensosialisasikan sumber utama ajarannya yaitu Alquran pada wilayah-wilayah daulah islamiyah baru yang berhasil dikuasai dengan mengirim para sahabat yang kredibilitas serta kapasitas ke-Alquranan-nya bisa dipertanggungjawabkan Diantaranya adalah Muadz bin Jabal, `Ubadah bin Shamith dan Abu Darda'.
4. Pada Masa Utsman
Pada masa pemerintahan Usman bin 'Affan terjadi perluasan wilayah islam di luar Jazirah arab sehingga menyebabkan umat islam bukan hanya terdiri dari bangsa arab saja ('Ajamy). Kondisi ini tentunya memiliki dampak positif dan negatif. Salah satu dampaknya adalah ketika mereka membaca Alquran, karena bahasa asli mereka bukan bahasa arab. Fenomena ini di tangkap dan ditanggapi secara cerdas oleh salah seorang sahabat yang juga sebagai panglima perang pasukan muslim yang bernama Hudzaifah bin al-yaman. Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa suatu saat Hudzaifah yang pada waktu itu memimpin pasukan muslim untuk wilayah Syam (sekarang syiria) mendapat misi untuk menaklukkan Armenia, Azerbaijan (dulu termasuk soviet) dan Iraq menghadap Usman dan menyampaikan kepadanya atas realitas yang terjadi dimana terdapat perbedaan bacaan Alquran yang mengarah kepada perselisihan. Ia berkata : "wahai usman, cobalah lihat rakyatmu, mereka berselisih gara-gara bacaan Alquran, jangan sampai mereka terus menerus berselisih sehingga menyerupai kaum yahudi dan nasrani ".
Lalu Usman meminta Hafsah meminjamkan Mushaf yang di pegangnya untuk disalin oleh panitia yang telah dibentuk oleh Usman yang anggotanya terdiri dari para sahabat diantaranya Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa'id bin al'Ash, Abdurrahman bin al-Haris dan lain-lain.[3] Kodifikasi dan penyalinan kembali Mushaf Alquran ini terjadi pada tahun 25 H, Usman berpesan apabila terjadi perbedaan dalam pelafalan agar mengacu pada Logat bahasa suku Quraisy karena Alquran diturunkan dengan gaya bahasa mereka.[4] Setelah panitia selesai menyalin mushaf, mushaf Abu bakar dikembalikan lagi kepada Hafsah. Selanjutnya Usman memerintahkan untuk membakar setiap naskah-naskah dan manuskrip Alquran selain Mushaf hasil salinannya yang berjumlah 6 Mushaf.
Mushaf hasil salinan tersebut dikirimkan ke kota-kota besar yaitu Kufah, Basrah, Mesir, Syam dan Yaman. Usman menyimpan satu mushaf untuk ia simpan di Madinah yang belakangan dikenal sebagai Mushaf al-Imam. Tindakan Usman untuk menyalin dan menyatukan Mushaf berhasil meredam perselisihan dikalangan umat islam sehingga ia manual pujian dari umat islam baik dari dulu sampai sekarang sebagaimana khalifah pendahulunya Abu bakar yang telah berjasa mengumpulkan Alquran. Adapun Tulisan yang dipakai oleh panitia yang dibentuk Usman untuk menyalin Mushaf adalah berpegang pada Rasm alAnbath tanpa harakat atau Syakl (tanda baca) dan Nuqath (titik sebagai pembeda huruf).
5. Tanda Yang Mempermudah Membaca Alquran
Sampai sekarang, setidaknya masih ada empat mushaf yang disinyalir adalah salinan mushaf hasil panitia yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit pada masa khalifah Usman bin Affan. Mushaf pertama ditemukan di kota Tasyqand yang tertulis dengan Khat Kufy. Dulu sempat dirampas oleh kekaisaran Rusia pada tahun 1917 M dan disimpan di perpustakaan Pitsgard (sekarang St.PitersBurg) dan umat islam dilarang untuk melihatnya. Pada tahun yang sama setelah kemenangan komunis di Rusia, Lenin memerintahkan untuk memindahkan Mushaf tersebut ke kota Opa sampai tahun 1923 M. Tapi setelah terbentuk Organisasi Islam di Tasyqand para anggotanya meminta kepada parlemen Rusia agar Mushaf dikembalikan lagi ketempat asalnya yaitu di Tasyqand (Uzbekistan, negara di bagian asia tengah).
Mushaf kedua terdapat di Museum al Husainy di kota Kairo mesir dan Mushaf ketiga dan keempat terdapat di kota Istambul Turki. Umat islam tetap mempertahankan keberadaan mushaf yang asli apa adanya. Sampai suatu saat ketika umat islam sudah terdapat hampir di semua belahan dunia yang terdiri dari berbagai bangsa, suku, bahasa yang berbeda-beda sehingga memberikan inspirasi kepada salah seorang sahabat Ali bin Abi Thalib yang menjadi khalifah pada waktu itu yang bernama Abul-Aswad as-Dualy untuk membuat tanda baca (Nuqathu I’rab) yang berupa tanda titik.
Atas persetujuan dari khalifah, akhirnya ia membuat tanda baca tersebut dan membubuhkannya pada mushaf. Adapun yang mendorong Abul-Aswad ad-Dualy membuat tanda titik adalah riwayat dari Ali r.a bahwa suatu ketika Abul-Aswad adDualy menjumpai seseorang yang bukan orang arab dan baru masuk islam membaca kasrah pada kata "Warasuulihi" yang seharusnya dibaca "Warasuuluhu" yang terdapat pada QS. At-Taubah (9) 3 sehingga bisa merusak makna.
Abul-Aswad ad-Dualy menggunakan titik bundar penuh yang berwarna merah untuk menandai fathah, kasrah, Dhammah, Tanwin dan menggunakan warna hijau untuk menandai Hamzah. Jika suatu kata yang ditanwin bersambung dengan kata berikutnya yang berawalan huruf Halq (idzhar) maka ia membubuhkan tanda titik dua horizontal seperti "adzabun alim" dan membubuhkan tanda titik dua Vertikal untuk menandai Idgham seperti "ghafurrur rahim".
Adapun yang pertama kali membuat Tanda Titik untuk membedakan huruf-huruf yang sama karakternya (nuqathu hart) adalah Nasr bin Ashim (W. 89 H) atas permintaan Hajjaj bin Yusuf as-Tsaqafy, salah seorang gubernur pada masa Dinasti Daulah Umayyah (40-95 H). Sedangkan yang pertama kali menggunakan tanda Fathah, Kasrah, Dhammah, Sukun, dan Tasydid seperti yang-kita kenal sekarang adalah al-Khalil bin Ahmad al-Farahidy (W.170 H) pada abad ke II H.
Kemudian pada masa Khalifah Al-Makmun, para ulama selanjutnya berijtihad untuk semakin mempermudah orang untuk membaca dan menghafal Alquran khususnya bagi orang selain arab dengan menciptakan tanda-tanda baca tajwid yang berupa Isymam, Rum, dan Mad. Sebagaimana mereka juga membuat tanda Lingkaran Bulat sebagai pemisah ayat dan mencamtumkan nomor ayat, tanda-tanda waqaf (berhenti membaca), ibtida (memulai membaca), menerangkan identitas surah di awal setiap surah yang terdiri dari nama, tempat turun, jumlah ayat, dan jumlah 'ain. Tanda-tanda lain yang dibubuhkan pada tulisan Alquran adalah Tajzi' yaitu tanda pemisah antara satu Juz dengan yang lainnya berupa kata Juz dan diikuti dengan penomorannya (misalnya, al-Juz-utsalisu: untuk juz 3) dan tanda untuk menunjukkan isi yang berupa seperempat, seperlima, sepersepuluh, setengah Juz dan Juz itu sendiri.
Sebelum ditemukan mesin cetak, Alquran disalin dan diperbanyak dari mushaf utsmani dengan cara tulisan tangan. Keadaan ini berlangsung sampai abad ke16 M. Ketika Eropa menemukan mesin cetak yang dapat digerakkan (dipisah-pisahkan) dicetaklah Alquran untuk pertama kali di Hamburg, Jerman pada tahun 1694 M. Naskah tersebut sepenuhnya dilengkapi dengan tanda baca. Adanya mesin cetak ini semakin mempermudah umat islam memperbanyak mushaf Alquran. Mushaf Alquran yang pertama kali dicetak oleh kalangan umat islam sendiri adalah mushaf edisi Malay Usman yang dicetak pada tahun 1787 dan diterbitkan di St. Pitersburg Rusia. Kemudian diikuti oleh percetakan lainnya, seperti di Kazan pada tahun 1828, Persia Iran tahun 1838 dan Istambul tahun 1877. Pada tahun 1858, seorang Orientalis Jerman , Fluegel, menerbitkan Alquran yang dilengkapi dengan pedoman yang amat bermanfaat.
Sayangnya, terbitan Alquran yang dikenal dengan edisi Fluegel ini ternyata mengandung cacat yang fatal karena sistem penomoran ayat tidak sesuai dengan sistem yang digunakan dalam mushaf standar. Mulai Abad ke-20, pencetakan Alquran dilakukan umat islam sendiri. Pencetakannya mendapat pengawasan ketat dari para Ulama untuk menghindari timbulnya kesalahan cetak. Cetakan Alquran yang banyak dipergunakan di dunia islam dewasa ini adalah cetakan Mesir yang juga dikenal dengan edisi Raja Fuad karena dialah yang memprakarsainya. Edisi ini ditulis berdasarkan Qiraat Ashim riwayat Hafs dan pertama kali diterbitkan di Kairo pada tahun 1344 H/ 1925 M. Selanjutnya, pada tahun 1947 M untuk pertama kalinya Alquran dicetak dengan tekhnik cetak offset yang canggih dan dengan memakai huruf-huruf yang indah. Pencetakan ini dilakukan di Turki atas prakarsa seorang ahli kaligrafi turki yang terkemuka Said Nursi.
B. Perbedaan Antara Proses Kodifikasi Pada Masa ‘Utsman dan Abu Bakar
Perbedaan antara proses kodifikasi pada masa ‘Utsman dan Abu Bakar, bahwa tujuan pengkodifikasian al-Qur’an pada masa Abu Bakar radliyallâhu ‘anhu adalah menghimpun al-Qur’an secara keseluruhan dalam satu Mushhaf sehingga tidak ada satupun yang tercecer tanpa mendorong orang-orang agar bersatu dalam satu Mushhaf saja, dan hal ini dikarenakan belum tampak implikasi yang signifikan dari adanya perbedaan seputar Qirâ`at sehingga mengharuskan tindakan ke arah itu. Sementara tujuan kodifikasi pada masa ‘Utsman adalah menghimpun al-Qur’an secara keseluruhan dalam satu Mushhaf namun mendorong orang-orang agar bersatu dalam satu Mushhaf saja. Hal ini, karena adanya implikasi yang sangat mengkhawatirkan dari beragam versi Qirâ`ah tersebut.
Jerih payah pengkodifikasian ini ternyata membuahkan mashlahat yang besar bagi kaum Muslimin, yaitu bersatu-padunya umat, bersepakatnya kata serta terbitnya suasana keakraban diantara mereka. Dengan terciptanya hal tersebut, maka kerusakan besar yang ditimbulkan oleh perpecahan umat, tidak bersepakat dalam satu kata serta menyeruaknya kebencian dan permusuhan telah dapat dibuang jauh-jauh. Hal seperti ini terus berlanjut hingga hari ini, kaum Muslimin bersepakat atasnya, diriwayatkan secara mutawatir diantara mereka melalui proses tranfer dari generasi tua kepada generasi muda dengan tanpa tersentuh oleh tangan-tangan jahat dan para penghamba hawa nafsu. Hanya bagi Allah.[5]
C. Mushaf Utsmani
Dahulunya, AlQuran tidaklah ditulis tapi dihafal, adapun ditulis itu karena ada orang-orang dari luar arab, yang tidak mengerti tentang bahasa arab maka dijadikanlah AlQuran itu ditulis. AlQuran tidaklah berbeda, bahkan rasulullah bersabda, bahwa AlQuran itu diturunkan dengan tujuh huruf yang berarti ada tujuh cara membacanya. Nah, dari sinilah masalah ini akhirnya membesar. Pada saat Islam sudah menyebar ke berbagai penjuru dunia, mulai dari Spanyol, Persia sampai daratan Rusia, AlQuran ini mulai banyak orang yang membacanya berbeda. Sampai suatu saat ada dua umat yang saling menyalahkan bacaan, dan memang barangsiapa yang memalsukan AlQuran pada waktu itu (masih jaman shahabat, sepeninggal rasulullah) maka hukumannya adalah penggal.
Maka para shahabat tak main-main dengan urusan ini. Dua orang yang sedang bertengkar itu berasal dari Madinah yang satu dari Persia.[6] Dan ketika mereka kemudian menghadap kepada khalifah saat itu (ustman bin Affan) maka Ustman mendengarkan kedua bacaan itu dan tak ada yang salah dari bacaan itu, namun karena perselisihan sudah banyak dan orang-orang saling menyalahkan maka satu-satunya cara adalah dengan menulis Al Qur'an tersebut dalam satu cara baca. Sebelumnya Al Qur'an sudah dibukukan, tapi masih terpisah dan ada tujuh cara baca.
Dari sinilah kemudian para pembesar-pembesar shahabat berunding, kira-kira ejaan yang manakah yang akan dijadikan sebagai satu-satunya bacaan yang dipakai di dalam Al Qur'an. Saat itulah Ustman mengatakan , "Allah telah meridhai kaum muhajirin dan Anshar, dan mereka juga telah ridha kepada Allah, maka kita memakai cara bacanya kaum muhajirin dan Anshar".
Maka setelah itu dibukukanlah Al Qur'an dengan cara bacaan kaum muhajirin dan Anshar seperti yang kita terima sampai sekarang. Dan mushaf yang disusun oleh Ustman itu dikenal sebagai Mushaf ustmani. Sebelumnya mushaf itu tidak ada harakat, fathah, dhomah, atau kasrah, baru ada tanda baca itu pada zaman Ali bin Abi Thalib.[7]
Tidak aneh kalau mushaf ustmani adalah satu-satunya yang disyahkan. setelah dibukukannya Al Qur'an dan dituliskan mushaf ustmani itu para shahabat tak ada perselisihan lagi. Dan Mushaf-mushaf itu dikirim ke beberapa negara. 3 dikirim keluar negeri satu tinggal di Makkah.
No comments:
Post a Comment