Makalah Mukjizat Al Quran
Mukjizat adalah sebuah peristiwa, urusan, perkara yang luar biasa yang dibarengi dengan tantangan dan tidak bisa dikalahkan.makalah ini membahas tentang mukjizat al-quran Diantara kemurahan Allah terhadap manusia, adalah bahwa Dia tidak saja menganugerahkan fitrah yang suci yang dapat membimbingnya kepada kebaikan, bahkan juga dari masa kemasa mengutus seorang rasul yang membawa kitab sebagai pedoman hidup dari Allah dan mengajak manusia untuk beribadah kepada-Nya semata. Setiap rasul yang diutus selain membawa kitab yang didalamnya mengandung kabar gembira dan peringatan, juga Allah bekali mereka dengan berbagai mukjizat untuk membantu mereka dalam berbagai kesulitan dan tantangan dari masyarakat yang menolak risalahnya sesuai dengan tingkat dan pola pikir masyarakatnya.
Nabi Muhammad Saw., diutus ketika masyarakat Arab ahli dalam bahasa dan sastra. Dimana-mana diadakan musabaqah (perlombaan) dalam menyusun syair atau khutbah, petuah dan nasehat. Syair-syair yang dinilai indah, digantung dika’bah sebagai penghormatan kepada penggubahnya sekaligus untuk dapat dinikmati oleh yang melihat dan membacanya. Penyair mendapat kedudukan yang sangat istimewa dalam masyarakat Arab.
Pada saat turunnya al-Quran sebenarnya orang-orang Arab adalah masyarakat yang paling mengetahui tentang keunikan dan keistimewaan al-Quran serta ketidak mampuan mereka untuk menyususun seumpamanya. Namun diantara mereka tidak mengakuinya, bahkan suatu kali mereka menyatakan bahwa al-Quran adalah syair, al-Quran adalah sihir ulung atau pendukunan. Karenanya al-Quran datang menantang mereka untuk menyusun semacam al-Quran, ternyata mereka tidak mampu menyusun seperti susunan al-Quran yang indah dan bersastra tinggi, maka jelaslah kemukjizatan al-Quran. Untuk mengkaji lebih lanjut tentang mukjizat al-Qur an, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang pengertian mukjizat, macam-macam mukjizat, bentuk dan tahapan tantangan al-Quran, aspek-aspek kemukjizatan al-Quran, paham ash-sharfah, dan penutup.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mukjizat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa kata mukjizat diartikan sebagai kejadian (peristiwa) yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia.[2] Kata mukjizat terambil dari bahasa Arab أعجز (a’jaza) yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu.[3] Sedangkan kata أعجز (a’jaza) itu sendiri berasal dari kata عجز (‘ajaza) yang berarti tidak mempunyai kekuatan (lemah).[4] Pelakunya (yang melemahkan) dinamai mukjiz, dan bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan, maka dinamaiمعجزة (mu’jizat). Tambahan ta marbuthah pada akhir kata itu mengandung makna mubalaghah (superlatif).[5]
Dengan redaksi yang berbeda, mukjizat didefinisikan pula sebagai sesuatu yang luar biasa yang diperlihatkan Allah melalui para nabi dan rasul-Nya sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulannya.[6] Dalam al-Quran, kata ‘ajaza dalam berbagai bentuk terulang sebanyak 26 kali dalam 21 surat dan 25 ayat.[7]. Dalam Kamus al-Mu’jam al-Washith, mukjizat diartikan:
أمر خارق للعادة يظهره الله على يد نبي تابدا لنبوته
“Sesuatu (hal atau urusan) yang menyalahi adat kebiasaan yang ditampakkan Allah diatas kekuasaan seorang nabi untuk memperkuat kenabiannya.” [8]
Imam Jalaluddin al-Sayuti menjelaskan bahwa mukjizat itu adalah: [9]
أمر خارق للعادة, مقرون بالتحدى, سالم من المعارضة
“Suatu hal atau peristiwa luar biasa yang disertai tantangan dan selamat (tidak ada yang sanggup) menjawab tantangan tersebut.”
Sedangkan menurut Manna al-Qattan, I’jaz (kemukjizatan) adalah menetapkan kelemahan. Kelemahan menurut pengertian umum adalah ketidak mampuan mengerjakan sesuatu, lawan dari qudrah (potensi, power, kemampuan). Apabila kemukjizatan muncul, maka nampaklah kemampuan mu’jiz (sesuatu yang melemahkan. Yang dimaksud dengan i’jaz dalam pembahasan ini ialah menampakkan kebenaran nabi dalam pengakuannya sebagai seorang rasul, dengan menampakkan kelemahan orang Arab dalam melawan mukjizat yang kekal yakni al-Quran.[10]
Maka mukjizat adalah sebuah peristiwa, urusan, perkara yang luar biasa yang dibarengi dengan tantangan dan tidak bisa dikalahkan. Al-Quran menantang orang-orang Arab, mereka tidak kuasa melawan meskipun mereka merupakan orang-orang yang fasih, hal ini tiada lain karena al-Quran adalah mukjizat.[11] Berdasarkan defenisi diatas maka dapat dikemukakan tiga unsur pokok mukjizat, yaitu:
1. Mukjizat harus menyalahi tradisi atau adat kebiasaan.
2. Mukjizat harus dibarengi dengan perlawanan, dan
3. Mukjizat tidak terkalahkan.[12]
Sedangkan menurut M. Qurais Shihab ada empat unsur yang harus menyertai sesuatu sehingga ia dinamakan mukjizat. Keeempat unsur itu adalah:
1. Hal atau peristiwa yang luar biasa.
Yang dimaksud luar biasa adalah sesuatu yang berada diluar jangkauan sebab akibat yang diketahui secara umum hukum-hukumnya.
2. Terjadi atau dipaparkan oleh seorang yang mengaku nabi.
Apabila hal-hal yang luar biasa terjadi bukan dari seseorang yang mengaku nabi, ia tidak dinamai mukjizat.
3. Mengandung tantangan terhadap yang meragukan kenabian.
Tantangan ini harus berbarengan dengan pengakuannya sebagai nabi, bukan sebelumnya.
4. Tantangan tersebut tidak mampu atau gagal dilayani.
Bila yang ditantang berhasil melakukan hal yang serupa, maka ini berarti bahwa pengakuan sang penantang tidak terbukti.[13]
B. Macam-Macam Mukjizat
Secara garis besar mukjizat dapat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu mukjizat yang bersifat hissiyah (material indrawi), dan mukjizat yang bersifat ‘aqliyah (rasional).[14] Mukjizat nabi-nabi terdahulu semuanya merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka bersifat material dan indrawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau langsung lewat indra oleh masyarakat tempat nabi tersebut menyampaikan risalahnya, seperti perahu nabi Nuh yang dibuat atas petunjuk Allah sehingga mampu bertahan dalam situasi ombak dan gelombang yang demikian dahsyat; tidak terbakarnya nabi Ibrahim dalam kobaran api; tongkat nabi Musa yang berobah menjadi ular; penyembuhan yang dilakukan nabi Isa atas izin Allah dan lain-lain. Semuanya bersifat material indrawi, terbatas pada lokasi tempat nabi tersebut berada dan berakhir dengan wafatnya masing-masing nabi. Berbeda dengan mukjizat nabi Muhammad Saw, sifatnya bukan material indrawi, tetapi ‘aqliyah (dapat dipahami oleh akal). Karena sifatnya yang demikian, maka ia tidak terbatas pada suatu tempat atau masa tertentu. Mukjizat al-Quran dapat dijangkau oleh setiap orang yang menggunakan akalnya, kapan dan dimanapun berada.[15]
Perbedaan ini disebabkan oleh dua hal pokok. Pertama, para nabi sebelum nabi Muhammad Saw., ditugaskan untuk masyarakat dan masa tertentu. Karena itu, mukjizat mereka hanya berlaku untuk masa dan masyarakat tersebut, tidak untuk sesudah mereka. Ini berbeda dengan nabi Muhammad Saw., yang diutus untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman, sehingga bukti kebenaran ajarannya harus selalu siap dipaparkan kepada setiap orang yang ragu kapanpun dan dimanapun mereka berada.
Kedua, manusia mengalami perkembangan dalam pemikirannya. Umat para nabi sebelum nabi Muhammad Saw., amat membutuhkan bukti kebenaran yang harus sesuai dengan tingkat pemikiran mereka, bukti tersebut harus jelas dan terjangkau indra mereka. Tetapi, setelah manusia mulai menanjak ke tahap kedewasaan berpikir, maka bukti yang bersifat indrawi tidak dibutuhkan lagi. Ini bukan berarti bahwa tidak terjadi hal-hal luar biasa dari atau melalui nabi Muhammad Saw. Keluarnya air dari celah jari-jari beliau, makanan yang sedikit dapat mencukupi orang banyak, genggaman pasir yang beliau lontarkan kepada kaum musyrik dalam perang badar hingga menutupi pandangan mereka, dan lain-lain merupakan hal-hal luar biasa yang telah terjadi.[16]
Namun demikian dapat disimpulkan, Pertama, Bahwa mukjizat itu luar biasa dalam mengatasi segala persoalan manusia, tiada yang kuasa membuatnya, selain Allah menentukan ketentuan tersebut. Kedua, bahwa antara mukjizat nabi yang satu dengan lainnya adalah sama fungsinya, yaitu untuk memainkan peranannya dan mengatasi kepandaian kaumnya, disamping membuktikan kekuasaan Allah diatas segala-galanya.[17]
C. Bentuk dan Tahapan Tantangan al Quran
Tantangan yang datang dari al-Quran terdiri dari dua bentuk, yaitu:
1. Tantangan umum
Tantangan ini ditujukan kepada semua golongan, baik kaum filosof, cendikiawan, ulama, dan hukama, serta semua manusia tanpa kecuali, orang Arab atau orang Ajam, orang putih atau orang hitam, mukmin atau kafir. Hal ini dijelaskan Allah dalam al-Quran surat al-Isra’ ayat 88.
2. Tantangan khusus
Tantangan ini ditujukan khusus kepada orang-orang Arab, terutama bagi orang-orang kafir Quraisy. Tantangan bertanding khusus ini terbagi atas dua macam, yaitu :
1. Tantangan yang bersifat kulli (keseluruhan), yaitu tantangan dengan seluruh al-Quran mengenai hukum-hukumnya, keindahan bahasanya, balaghahnya dan kejelasannya. Hal ini dijelaskan Allah dalam surat al-Thuur ayat 34.
2. Tantangan yang bersifat juz’i (sebagian), yaitu tantangan untuk mendatangkan sepuluh surat atau satu surat saja yang menyerupai surat-surat al-Quran. Hal ini sebagaimana dijelaskan Allah dalam surat Hud ayat 13 dan surat al-Baqarah ayat 23.[18] Adapun tahapan-tahapan tantangan al-Quran adalah sebagai berikut:
Pertama, Allah menantang untuk membuat semacam “keseluruhan al-Quran”, sebagaimana dipahami dari surat al-Thuur ayat 34,
فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ (الطور: 34)
“Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal al-Quran itu jika mereka termasuk orang-orang yang benar.” (Al-Thuur : 34).
Dalam satu riwayat dinyatakan bahwa ketika ayat ini turun untuk menantang orang-orang kafir Quraisy yang meragukan dan menolak kebenaran al-Quran, maka mereka berdalih “kami tidak mengetahui sejarah umat terdahulu” (yang merupakan sebagian kandungan al-Quran).
Adapun yang dimaksud dengan kalimat بحديث (bihadiitsin) dalam ayat diatas adalah tandingan al-Quran, namun ternyata mereka tidak mampu mendatangkan sesuatu yang menyamai al-Quran.
Kedua, Allah meringankan tantangan, yaitu menantang untuk membuat sepuluh surat saja yang menyamai al-Quran, sebagaimana dinyatakan Allah Swt., dalam surat Hud ayat 13,
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (هود:13)
“Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat al-Quran itu”, Katakanlah: “(Kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup memanggilnya selain Allah jika kamu memang orang-orang yang benar.” (Hud : 13).
Kata مفتريات (muftarayaat) yang diterjemahkan dengan “dibuat-buat” dalam ayat diatas adalah tudingan orang-orang kafir Quraisy terhadap nabi Muhammad Saw., bahwa al-Quran itu dibuat-buat, oleh karenanya Allah menantang, kalaupun al-Quran itu dibuat-buat (bohong), jikalau mereka mampu menyusun redaksi seindah dan seteliti al-Quran maka itu sudah cukup untuk mengakui kebenaran dugaan mereka, tetapi tantangan kedua inipun tidak sanggup mereka layani.
Ketiga, Allah meringankan lagi tantangan, yaitu tantangan untuk membuat satu surat saja yang menyamai al-Quran, sebagaimana firman Allah Swt., dalam surat Yunus ayat 38,
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (يونس: 38)
“Atau patutkah mereka berkata, “Dia (Muhammad) membuat-buatnya?”, Katakanlah (kalau benar tuduhan kamu itu), maka buatlah satu surah semacamnya dan panggillah siapapun yang dapat kamu panggil selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar.” (Yunus : 38).
Tiga tahapan tantangan tersebut semuanya disampaikan ketika nabi Muhammad Saw., masih berada di Mekkah.
Keempat, Ketika nabi sudah hijrah ke Madinah Allah menantang kembali dengan tantangan yang lebih ringan lagi yaitu membuat satu surat yang hampir sama dengan al-Quran, sebagaimana dapat dipahami dalam surat al-Baqarah ayat 23,
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (البقرة: 23)
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), maka buatlah satu surat yang seumpamanya dan panggillah penolong-penolongmu selain Allah jika kamu orang-orang yang benar.” (al-Baqarah : 23).
Ayat 23 yang terdapat dalam surat al-Baqarah ini mirip redaksinya dengan ayat 38 dalam surat Yunus. Perbedaannya antara lain pada kalimat (fa’tuu bisuuratin mitslihi dan fa’tuu bisuuratin min mitslihi). Kata من (min) disini diartikan “lebih kurang”, sehingga dengan demikian tantangan ini lebih rendah daripada tantangan sebelumnya yang menuntut membuat satu surah tanpa menggunakan kata من(min) atau “lebih kurang”.
Memang sejak semula Allah telah menegaskan bahwa siapapun dan kapanpun al-Quran tetap menjadi mukjizat dan tidak dapat ditandingi. Hal ini dapat kita pahami dari firman Allah dalam surat al-Isra’ ayat 88,
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْءَانِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا(الإسراء: 88)
“Katakanlah (hai Muhammad): Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu sebagian yang lain.” (al-Isra’ : 88).
Dengan demikian jelaslah bahwa tahap demi tahap tantangan al-Quran, ternyata tidak seorangpun sanggup untuk memenuhi tantangan tersebut, terutama orang-orang Arab kafir Quraisy yang dengan terang-tarangan tidak menerima kebenaran al-Quran. Dengan demikian jelaslah mukjizat al-Quran yang benar-benar diwahyukan Allah untuk nabinya Muhammad Saw., yang ummi.
D. Aspek-Aspek Kemukjizatan Al Quran
Para ulama sepakat bahwasanya al-Quran tidaklah melemahkan manusia untuk mendatangkan sepadan al-Quran hanya karena satu aspek saja, akan tetapi karena beberapa aspek, baik aspek lafzhiyah (morfologis), ma’nawiyah (semantik) dan ruhiyah (psikologis). Semuanya bersandarkan dan bersatu, sehingga melemahkan manusia untuk melawannya.[19] Namun demikian mereka berbeda pendapat dalam meninjau segi kemukjizatan al-Quran. Perbedaan itu adalah sebagai berikut:
a. Sebagian ulama berpendapat bahwa segi kemukjizatan al-Quran adalah sesuatu yang terkandung dalam al-Quran itu sendiri, yaitu susunan yang tersendiri dan berbeda dengan bentuk puisi orang Arab maupun bentuk prosanya, baik dalam permulaannya, maupun suku kalimatnya.
b. Sebagian yang lain berpendapat bahwa segi kemukjizatan al-Quran itu terkandung dalam lafal-lafalnya yang jelas, redaksinya yang bernilai sastra dan susunannya yang indah, karena nilai sastra yang terkandung dalam al-Quran itu sangat tinggi dan tidak ada bandingannya.
c. Ulama lain berpendapat bahwa kemukjizatan itu karena al-Quran terhindar dari adanya pertentangan, dan mengandung arti yang lembut dan memuat hal-hal ghaib diluar kemampuan manusia dan diluar kekuasaan mereka untuk mengetahuinya.
d. Ada lagi ulama yang berpendapat bahwa segi kemukjizatan al-Quran adalah keistimewaan-keistimewaan yang nampak dan keindahan-keindahan yang terkandung dalam al-Quran, baik dalam permulaan, tujuan maupun dalam menutup setiap surat.[20]
Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya al-Jami’i Ahkamil Quran menyebutkan sepuluh segi kemukjizatan al-Quran, sementara al-Zarkani dalam kitabnya Manahilul Irfan mencatat empat belas segi kemukjizatan al-Quran.[21] Perbedaan pendapat ulama diatas diketahui sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Jadi bukan berbeda dalam menentukan batasan-batasan kemukjizatan al-Quran, karena aspek-aspek kemukjizatan al-Quran tidak hanya terbatas pada aspek-aspek tertentu yang mereka sebutkan.[22] Adapun aspek-aspek kemukjizatan al-Quran adalah:
1. Susunan bahasanya yang indah, berbeda dengan susunan bahasa Arab.
2. Uslubnya (susunannya) yang menakjubkan, jauh berbeda dengan segala bentuk susunan bahasa Arab.
3. Keagungan yang tidak mungkin bagi makhluk untuk mendatangkan sesamanya.
4. Syariat yang sangat rinci dan sempurna melebihi setiap undang-undang buatan manusia.
5. Mengabarkan hal-hal ghaib yang tidak bisa diketahui kecuali dengan wahyu.
6. Tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan.
7. Al-Quran memenuhi setiap janji dan ancaman yang dikabarkannya.
8. Luasnya ilmu-ilmu pengetahuan yang terkandung didalamnya.
9. Kesanggupannya dalam memenuhi segala kebutuhan manusia.
10. Berpengaruh terhadap hati para pengikutnya dan orang-orang yang memusuhinya.[23]
Uraian singkat tentang aspek-aspek kemukjizatan al-Quran adalah sebagai berikut:
1. Susunan bahasanya yang indah
Susunan gaya bahasa dalam al-Quran tidak bisa disamakan oleh apapun, karena al-Quran bukan susunan syair dan bukan pula susunan prosa, namun ketika al-Quran dibaca maka ketika itu terasa dan terdengar mempunyai keunikan dalam irama dan ritmenya. Cendikiawaan Inggris, Marmaduke Pickthall dalam The Meaning of Glorious Quran, menulis: “Al-Quran mempunyai simfoni yang tidak ada taranya dimana setiap nada-nadanya bisa menggerakkan manusia untuk menangis dan bersuka-cita”.[24]
2. Uslubnya yang menakjubkan
Al-Quran muncul dengan uslub yang sangat baik dan indah, mengagumkan orang-orang Arab karena keserasian dan keindahannya, keharmonisan susunannya. Didalamnya terkandung nilai-nilai istimewa yang tidak akn terdapat dalam ucapan manusia.
3. Keagungannya
Al-Quran mempunyai kemegahan ucapan yang luar biasa yang berada diluar kemampuan manusia untuk menguasainya atau mendatangkan persamaannya. Kandungan al-Quran dapat mempengaruhi jiwa-jiwa pendengarnya dan dapat melembutkan hati-hati yang keras.
4. Syariat yang sangat rinci dan sempurna
Al-Quran menjelaskan pokok-pokok akidah, hokum-hukum ibadah, norma-norma keutamaan dan sopan santun, undang-undang hukum ekonomi, politik, sosial dan kemasyarakatan. Al-Quran juga mengatur kehidupan keluarga, menjunjung nilai-nilai kebebasan, keadilan (demokrasi) dan musyawarah.
5. Berita tentang hal-hal yang gaib
Al-Quran mengungkap sekian banyak ragam hal gaib. Al-Quran mengungkap kejadian masa lampau yang tidak diketahui lagi oleh manusia, karena masanya telah demikian lama, dan mengungkap juga peristiwa masa datang atau masa kini yang belum diketahui manusia.
6. Sejalan dengan ilmu pengetahuan modern
Al-Quran memuat petunjuk yang detail mengenai sebagian ilmu pengetahuan umum yang telah ditemukan terlebih dahulu dalam al-Quran sebelum ditemukan oleh ilmu pengetahuan modern. Tiori al-Quran itu sama sekali tidak bertentangan dengan tiori-tiori ilmu pengetahuan modern, baik itu ilmu alam, arsitek dan fisika, geografi dan kedokteran.
7. Menepati janji
Al-Quran senantiasa menepati janji dalam setiap apa yang telah dikabarkannya serta dalam setiap janji Allah kepada hamba-Nya, baik janji mutlak seperti janji Allah untuk menolong rasul-Nya, maupun janji terbatas yaitu janji yang bersyarat seperti harus memenuhi syarat takwa, sabar, menolong agama Allah, dan sebagainya.
8. Terkandung ilmu pengetahuan yang luas
Al-Quran datang dengan membawa berbagai ilmu pengetahuan tentang akidah, hokum (undang-undang), etika, muamalat, dan berbagai lapangan lain dalam pendidikan dan pengajaran, politik dan ekonomi, filsafat dan sosial.
9. Memenuhi segala kebutuhan manusia
Al-Quran datang dengan membawa petunjuk-petunjuk yang sempurna, fleksibel lagi luwes, dan dapat memenuhi segala kebutuhan manusia pada setiap tempat dan masa.
10. Berkesan dalam hati
Al-Quran dapat menggetarkan hati pengikut dan penantangnya. Seseorang yang sangat memusuhi al-Quran bisa berbalik dibawah lindungannya. Umar bin Khattab, Sa’ad bin Mu’az, dan Usaid bin Hudhair misalnya, mereka adalah orang-orang yang paling kejam terhadap kaum muslimin tetapi disebabkan mendengarkan beberapa ayat al-Quran maka hatinya luluh dan masuk islam.
Filosof Perancis mengatakan “Sesungguhnya Muhammad Saw., membaca al-Quran dengan khusyuk, sopan dan rendah hati, untuk menarik hati manusia agar beriman kepada Allah, dan hal ini melebihi pengaruh yang ditimbulkan semua mukjizat nabi-nabi terdahulu.[25]
E. Paham As-Sharfah
As-Sharfah terambil dari akar kata صرف (Sharafa) yang berarti memalingkan, dalam pengertian bahwa Allah memalingkan manusia dari upaya membuat semacam al-Quran, sehingga seandainya tidak dipalingkan, manusia akan mampu. Dengan kata lain, kemukjizatan al-Quran dianggap oleh paham as-sharfah lahir dari faktor eksternal, bukan dari al-Quran itu sendiri.[26]
Berbicara tentang as-sharfah, Abu Ishaq Ibrahim an-Nazham dari golongan mu’tazilah yang oleh Mustafa Shadiq al-Rafi’i disebut sebagai “syetan yang berargumentasi” mengemukakan bahwa, kemukjizatan al-Quran pada dasarnya bukan terletak pada kehebatan al-Quran itu semata-mata melainkan lebih dikarenakan sharfah (proteksi) dari Allah Swt., terhadap para hambanya, lebih dari itu kata an-Nazham, Allah tidak saja memprotek kemampuan manusia untuk menandingi al-Quran, akan tetapi juga malahan membelenggu kefasihan lidah mereka.[27]
Sementara al-Murtadha dari golongan Syiah berpendapat bahwa makna as-sharfah itu adalah mencabut, yaitu Allah mencabut pengetahuan dan rasa bahasa yang mereka miliki yang dibutuhkan untuk menyusun kalimat serupa al-Quran.[28] Jika kita perhatikan kedua pendapat diatas, mereka menganggap bahwa al-Quran bukan merupakan mukjizat dengan Zat-Nya, tetapi kemukjizatan itu karena dua hal:
1. Penggerak Ilahi yang melemahkan mereka untuk bertanding akhirnya mereka bermalas-malasan.
2. Faktor luar yang melambangkan bakat kefasihan dan kemampuan sastra mereka.[29]
Dalam hal ini Muhammad Abd Azhim al-Zarkani memandang bahwa tuduhan penafian I’jaz al-Quran terhadap aliran Mu’tazilah dan kaum Syi’ah secara keseluruhan hanya disebabkan segelintir tokohnya yang dalam kasus ini an-nazham dan al-Murtadha merupakan tuduhan yang kurang etis mengingat terlalu banyak pengikut Mu’tazilah dan kaum Syi’ah yang pengakuannya tentang kemukjizatan al-Quran yang lebih kurang sama dengan kaum muslimin pada umumnya. Bahkan dari kalangan Ahli Sunnah sekalipun sesunguhnya ada yang membenarkan kemungkinan as-sharfah itu terjadi, diantaranya adalah Abu Ishak al-Isfariyini.[30]
Dalam pada itu Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani mengatakan bahwa, salah satu hal yang membatalkan pendapat tentang shirfah adalah, kalaulah menandingi al-Quran itu mungkin, tetapi mereka dihalangi oleh shirfah, maka kalam Allah itu tidak mukjizat, melainkan shirfah itulah yang mukjizat. Dengan demikian, kalam tersebut tidak mempunyai kelebihan apapun atas kalam yang lain.[31] Selain Abu Bakar al-Baqillani, pendapat tentang as-sharfah menurut Muhammad Ali as-Shabuniy juga dikatakan salah dan tidak bisa dipertanggung jawabkan karena tidak sesuai dengan kenyataan. Hal itu menurutnya karena beberapa faktor:
1. Kalau pendapat ini benar, kemukjizatan itu akan berada pada unsur pemalingan dan tidak dalam al-Quran itu sendiri.
2. Kalau pendapat dengan pemalingan ini benar, pasti hal itu unsur melemahkan bukan kemukjizatan. Karena perbuatan itu sama saja halnya kita memotong lidah seseorang kemudian kita paksa dia bicara.
3. Kalau ada penggerak yang melemahakan mereka untuk bertanding, mereka pasti sudah malas dan tidak mungkin menghalang-halangi Nabi untuk berdakwah.
4. Seandainya ada faktor yang timbul secara mendadak, menghalangi mereka berbicara tegas pasti mereka akan mengumumkan hal itu kepada khalayak ramai.
5. Bilamana pemalingan itu betul terjadi, pasti bagi kita sekarang akan bisa menandingi al-Quran, begitu juga bagi mereka yang tekun dalam sastra Arab pada setiap masa, tentu mereka akan bisa menerangkan kedustaan pengakuan kemukjizatan al-Quran.[32]
Semuanya itu (tentang pendapat as-sharfah) menurut hemat penulis adalah tidak benar, yang benar adalah bahwa usaha untuk mendatangkan semisal al-Quran sama sekali tidak akan terlaksana menurut kemampuan makhluk.
BAB III
PENUTUP
Al-Quran adalah mukjizat nabi Muhammad Saw., terbesar yang sifatnya ‘aqliyah sehingga berlaku sepanjang zaman karena dapat dijangkau oleh perkembangan akal manusia. Kemukjizatan al-Quran terletak pada aspek keindahan bahasanya, kabar berita yang dibawanya, keluasan isi materi yang terkandung didalamnya maupun dari segi-segi lainnya, dan tidak ada seorang manusiapun sampai kapanpun dapat menandinginya. Mukjizat al-Quran merupakan hal-hal yang luar biasa yang terdapat didalam al-Quran itu sendiri, bukan datang dari luar al-Quran, karenanya paham as-sharfah tidak dapat diterima. Demikianlah makalah ini disampaikan dalam seminar mata kuliah al-Quran, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kekeliruan baik literature yang digunakan maupun susunan bahasanya, untuk itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat diharapkan. Hanya kepada Allahlah kita menyerahkan diri.
Makalah Munasabah Al-quran
Alquran merupakan firman yang terakhir, penjaga dan pelindung wahyu yang pernah diterima oleh rasul terdahulu, serta merupakan pelengkap dan penyempurna (ajaran) yang akan menuttut kehidupan umat dimasa depan. Alquran merupakan juga sumber ilmu pengetahuan yang sampai sekarang masih digali isi kandungannya,baik dari kalangan muslim maupun dari kalangan non muslim.
Namun usaha itu menemukan hambatan, karna alquran tidan tersusun seperti susunan karaya ilmiah. Banyak persoalan inti yang silih bergandi diungkapan dalam alquran, sehingga menurut shihap, sangat dibutuhkan cara-cara yang mudah dalam memahaminya. Hal ini bisa ditolerir mengigat alquran merupakan kitab yang tidak bisa dipahami dengan bekal ilmu tentang pemahaman ilmu alquran yang minim.
Munasabah merupakan satu dari sekian banyak cara dalam membantu memahami makana yang terkandung didalam alquran. Dalam fenomena ini munasabah berupaya melihat korelasi antara satu ayat dengan ayat yang lainnya, pembukaan surat dengan akhir surat dan satu surat dengan surat yang lainya, baik yang dibelakang maupun didepan surat tersebut. Dengan memperhatikan munasabah berarti telah berusaha sebaik mungkin dalam menafirkan alquran.
Munasabah memiliki peran yang sensitifkan dalam memahami makna alquran. Hal ini seperti pandangan Zuhdi, bahawa ilmu munasabah dapat berperan dalam mengantikan ilmu asbabu al-nuzul, apabila seorang tidak mengetahui seab turunnnya satu ayat, tetapi mengetahui korelasinya, Untuk mengarahkan pengkajian tentang munasabah hingga dapat menghasilkan suatu masukan yang berkualitas, maka beranjak dari latar belakang persoalan tadilah menimbulkan persoalan tentang apa sebenarnya munasabah tersebut ?
BAB II
PEMBAHASAN
Makalah Munasabah Al-quran
A. PENGERTIAN MUNASABAH
Pengertian munasabah dapat difahami dari dia sudut tinjauan ,yakni secara bahasa dan istilah .zakarshi memberikan pengertian dari sudut bahasa, bahwa:
المناسبة فى اللغة المقاربة
(Al munasahabah dalam bahasa artinya berarti kedekatan)
Dalam kontek ini hampir dapat dipastikan bahwa ayat dalam alquran memiliki hubungan yang erat. Untuk mengambarkan lebih jauh lagi tentang maka dapat diliha pengertiannya berdasarka istilah, yakni: “Al-munasabah adalah adanya bentuk ikatan antara satu kalimat dengan kalimat lainnya dalam satu surat, antara satu ayat dengan ayat lainnya dalam surat yang berlainan, aatu antara satu surat dengan surat yang lain.”
Dalam hal tersebut bukan saja pertalian yang bersifat kesesuan saja, nmaun memiliki banyak bentuk persesuain, antara lain seperti disebutkan suyuthi bahwa keterkaitan tersebut seperti berikut :
“Macam-macam bentuk keterkaiatan nya adalah antara lain berbentuk seperti sabab dan musababnya, persesuaian dan pertentangan.”
Namun menurut Chirzin bahwa bentuk kesesuain tersebut lebih didominasi oleh kaitan yang berkisar sekitar sebab akibat dan pertentangan, karena jika ayat itu tidak saling bertemu maka tentu berhadapan sebagai lawan.
B. Pembagian Munasabah
Berdasarkan pengertian diatas, maka munasabah diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Munasabah ayat dengan ayat dalam satu surat
Munasabah ayat dengan dengan ayat, terdapat dua pokok persoalan yang mendasar, pertama antara ayat dengan ayat kelihatan jelas, hal ini dapat terlihat dari ayat yang diperantarai dengan huruf athaf, seperti ungkapan Zarkashi, mengutip firman Allah swt :
Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang ke luar daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. dan Dia-lah yang Maha Penyayang lagi Maha Pengampun. (Q.S. Saba ‘ (34) : 2)
Huruf athaf pada ayat tersebut menunjukkan keserasian tersebut termasuk bentuk kesesuaian. Kemudian ada lagi korelasi antara satu ayat dengan ayat yang lainnya tidak terlihat jelas, menurut zakarshimembutuhkan satu alat untuk menjadi bukti tentang keterikatnnya berupa keterkaitan dari sudut ma`nawi. Dan kalau diteliti lebih jauh lagi maka tersirat bahwa hubungan secara ma`nawi dikatakorikan lagi tiga jenis, yakni takzir (hubungan perbadingan), mudhabah (hubungan pertetangan) dan Istidrat(hubungan yang mencerminkan adanya kaiatan antara suatu persoalan dengan persoalan lainnya.
2. Munsabah antara satu surat dengan surat yang lainnya
Didalam alquran tidak saja terjadi munasabah antara satu ayat dengan ayat lainnya saja, namaun antara satu surat dengan surat lainnya juga terjadi munasabah. Munasabah yang terjadi bisa saja sifatnya berkesusasian, bertentangan dan sebab akibat.
3. munasabah antara awal ayat dengan akhir ayat dalam satu surat
Di samping dua kategori munasabah diatas, maka lebih lanjut dinyatakan bahwa munasabah juga terjadi antara awal dan akhir ayat pada satu surat. Konsekwensinya adalah alquran memiliki keunikan terdiri jika dibandikan dengan kitab-kitab sebelumnya.
C. MUNASABAH DALAM TATARAN PRAKTIS
Untuk mengetahui lebih jelasnya tentang munasabah, maka akan diuraikan dengan dengan dua buku tafsir-jajalain dan maraghi-yang dispessifikasikan pada surat al-quraisy
1. munasabah antara satu ayat dengan ayat lainnya dalam satu surat
(Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah) . (Q.S al-Fiil : 1).
Dalam tafsir jajalain ditafsirkan dengan dua penggalan kata, yaitu ; yang merupakan istifham dan mengandung makna ta`ajub, artinya seperti kamu merasa terpesona. Kemudian كيف فعل ربك بأ صحاب الفيل yang maksudnya adalah Mahmudlah yang mempunyai gajah dengan disertai sahabatnya Abraham yang merupakan raja dari Yaman berikut tentaranya yang telah membangun sebuah gereja dengan tujuan agar orang berpaling menziarahi Makkah. Pada suatu hari ada seorang dari kinanah yang mengotori dengan bermaksud menghinanya. Dengan kondisi itu abraham bertekat untuk menghacurkan ka`bah maka Allah mengirimkan kepada mereka apa yang dikisahkan pada firman Allah berikutnya.
Tafsir maraghi menguraikan ayat tersebut seperti berikut ; maksudnya adalah apakah enkau tidak mengerti suatu peristiwa yang mena`jubkan dan agung, yang mengambarkan betapa besarnya kesusahan Allah kebijakannya terhadap ashabul fiil yang berusaha menghancurkan ka`bah. Hal ini sulit dianalisa sebab musababnya, karna belum pernah terjadi gerombolan burung menyerang satu kaum saja sementara kaum lainnya tidak diserang. Semua itu tanda-tanda kebijaksanaan yang maha mengatur dan dilakukan untuk menjaga ka`bah. Secara mendalam ayat ini mengambarkan istilah menyaksikan untuk pengertian mengetahui. Konsekwensiya adalah peristiwa mutlak benar dan sudah dikenal, sehingga esensi mengetahui dalam hal kejelasannya setara dengan pengetahuan yang didasarkan pada penglihatan dan kesaksian.
Korelasi ayat tersebut dengan ayat berikut :
(bukankah dia menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia). (Q.S al-Fiil : 2).
Dalam tafsir jalalain kata ألم يجعل maksudnya telah menjadikan dalam rangka menghancurkan ka`bah فى تضليل maksudnya menjerumuskan mereka kedalam kerugian dan kebinasaan.
Dalam tafsir maraghi dijelaskan bahwa sesungguhnya kalian melihat apa yang telah dilakukan Allah dengan menggagalkan usha mereka. Sehingga menjadi pudar usaha yang mereka susun secara baik sebelumnya.
Korelasi yang terjadi pada ayat tersebut adalah sifatnya berkesesuaian yakni ayat yang pertama menggambarkan bagaimana persiapan tentara bergajah dalam menghancurkan ka`bah yang diridhai allah, kemudian ayat kedua dikuatkan oleh Allah bahwa usaha tersebut merupakan kesia-siaan.
2. Munasabah Antara Satu Surat Dengan Surat Yang Lainnya
فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَأْكُولٍ
(lalu dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan)
Penafsiran dalam jalalain adalah ; bagian daun yang dimakan oleh ternak, diinjak dan dicabik-cabiknya. Maksudnya Allah akan menghancurkan setiap orang dengan batu yang ada padanya dan termaktub pada batu itu nama orang yang akan dikenainya. Dan batu itu lebih besar dari pada adasah dan lebih kecil dari biji kacang Hums yang dapat menembus topi baja yang berjalan kaki beserta gajahnya, kemudian batu itu jatuh ketanah, setelah mengenai badan mereka, peristiwa itu terjadi pada tahun kelahiran nabi.
Kemudian penafsiran dalam maraghi adalah ; maka menjadikan keadaan mereka bagaikan dedaunan yang rusak atau dimakan ulat /hama. Dengan kata lain mereka bagaikan dedaunan yang dimakan hewan ternak dan bagian yang lain berserakan keluar dari mulut ternak setelah dikunyah.
Kolerasi ayat tersebut awal surat al-q’uraisy. Dalam penafsiran jalalain adalah ;
(karna kebiasaan orang-orang quraisy yaitu kebiasaan mereka)
Maksudnya kebiasaan yang terakhir adalah memberikan penekanan pada kebiasaan sebelumnya.
Kemudian dalam tafsir maraghi diungkapkan sebagi berikut ;
(karna kebiasaan orang quraisy yaitu kebiasaan mereka berpergian pada musim dingin dan panas).
Seyogyanya kaum quraisy menyembah tuhannya sebagi rasa syukur atas karunianya yang telah menjadikan mereka sebagai kaum pedangang yang banyak berpergian, sebagai akibat dari negeri yang tempati tandus. Bagi mereka berupa suatu kebiasaan melakukan perjalanan melakukan perjalanan untuk dagang dimusim dinggin ke Yaman. Mereka berbelanja parfum, rempah-rempah yang didatangkan dari India dan Teluk persi, lalu di pasarkan kenegeri mereka. Ketika musim panas mereka pergi ke Syam untuk berbelanja hasil pertanian untuk dibawa kenegri mereka yang minus.
Korelasi yang terjadi dalm surat Al-fiil dan Al-quraisy adalah ; dalam al-fiil terkandung penjelasan tentang nikmat allah yang di anugrahkan pada penduduk Makkah. Hal ini tampak dari penjelasan surat al-fiil yang menyebutkan bahwa Allah menghancurkan musuh-musuh mereka yang datang menghancurkan ka`bah. Kenudian pada surat al-quraisy dijelaskan tentang nikmat Allah yang dilimpahkan kepada mereka, yaitu terhimpunnya mereka dalam satu kesatuan yng kokoh. Sehingga mereka bisa melakukan perjalanan di musim panas dan dingin dalam usaha perdagangan. Korelasi yang terjadi sifatnya sebab-akibab.
3. Munasabah antara awal dengan akhir ayat pada satu surat
Munasabah yang dijelaskan di awal dan di akhir surat al-fiil yakni
(Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah)
Ayat tersebut berkorelasi dengan ayat ;
فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَأْكُولٍ
(lalu dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan)
Ayat diatas tidak ditafsirkan,mengingat telah ditafsir sebelumnya.adapun munasabah yang terjadi pada surat ini adalah ; pada awal surat dijelaskan pada keinginan pasukan bergajah yang dipimpin Abraham, untuk menghancurkan ka`bah yang tidak di ridhai Allah . dan Allah menunjukkan kemasa kuasaannya dalam menghalangi tentara bergajah. Kemudian pada akhir surat dijelaskan akibat yang diderita oleh tentara bergajah atas rencana buruk mereka untuk menghancurkan .ka`bah. adapun munasabah yangterjadi sifatnya berkesesuaian.
Untuk perbedaan dua penafsiran tersebut adalah sebagai berikut :
1. Tafsir jalalain
- Penafsirannya terkadang terjadi pemenggalan kata.
- Bahasanya ringkas
- Penafsiran secara zahir saja, tanpa ada penekanan pad kata-kata yang bisa mengandung perbedaan persepsi
- Penafsirnnya kadang agak kulit dicerna maksudnya karna tidak dalmnya pembahasan
2. Tafsir Maraghi
- Penafsirannya per-ayat dengan tanpa pemengalan kata
- Bahasanya lpebih komplek dibandingkan dengan tafsir jalalain
- Penafsirannya agak mendalam karna adanya penekanan pada kata-kata yang bisa menimbulkan pesepsi berbeda, seperti pada kata
- Penafsirannya agak mudah dipahami karna gaya bahasa yang digunakan sederhana.
- Untuk perbedaan lebih lanjut dapat dicari sendiri yang sepertinya memerlukan perenungan (kontemplasi).
D.URGENSI MUNASABAH
Pembahasan munasabah tidak begitu menarik dibahas oleh ahli tafsir seperti pembahsan pada ilmu al-quran lainnya (ababu an nuzul,nasakh dan mansukh dll), kondisi ini terbukti dengan sedikitnya literatur mengenai munasabah itu. Namun kondisi ini bukan berarti tidak penting sebagai metode dalam memahami makna al-quran.
Disisi lain Zarkashi mensinyalir adanya faedah memahami munasabah untuk menafsirkan al-quran, yakni menjadikan bagian-bagian kalimat menjadi satu keutuhan, yang diungkapkan dengan sling keterkaitan antara satu dan lainnya sehingga membantu ahli tafsir dalm memahami makna yang terkandung dalam al-quran.
Pengetahuan terhadap munasabah tersebut bukanlah taufiqi, akan tetapi merupakan ijtihat mufassir, dan buah penghayatannya terhadap kemu`jizatan al-quran dan rahasia retorika dari segi keterangannya .yang mandiri. Apabila munasabah itu ,halujs ma`nanya, keharmonisan konteknya, sesuain asas kebahasaan dalam bahasa arab, maka mkunasabah itu bisa diterima.
BAB III
PENUTUP
Makalah Munasabah Al-quran
Munasabah merupakan satu dari sekian banyak metode dalm memahami kandungan al-quran. Dalam prosesnya dibutuhkan kreatifan raso dalam menemukan munasabah ayat. Namun tidaklah rasio digunakan secara bebas.
Ditinjau dari segi esensinya, maka munasabah terbagi tiga bentuk yakni munasabah satu ayat dengan ayat lainnya dalm satu surat, munasabah antara satu surat dengan surat lainnya, dan munasabah antara awal surat dengan akhir surat. Sebagi bukti jelas adanya munasnah seperti terlihat dari dua tafsir yang digunakan dalam menemukan munasabah tersebut.
Melihat agak rumitnya menemukan munasabah antara satu ayat dengan ayat lainnya, maka pendidikan merupakan satu solusi dalm mengatasinya. Namun tinjauan lain melihat bahwa dengan dijadikan al-quran sebagai ilmu yang dipelajari terutama disekolah agama, maka untuk melancarkan proses belajar-mengajar ada baiknya pendidik memahami munasabah, demi .mempermudah mentrnfer ilmu al-quran hingga lancarnya proses belajar-mengajar.
Pengertian Munasabah Al-quran
Munasabah adalah adanya bentuk ikatan antara satu kalimat dengan kalimat lainnya dalam satu surat, antara satu ayat dengan ayat lainnya dalam surat yang berlainan, aatu antara satu surat dengan surat yang lain. Alquran merupakan firman yang terakhir, penjaga dan pelindung wahyu yang pernah diterima oleh rasul terdahulu, serta merupakan pelengkap dan penyempurna (ajaran) yang akan menuttut kehidupan umat dimasa depan[1]. Alquran merupakan juga sumber ilmu pengetahuan yang sampai sekarang masih digali isi kandungannya,baik dari kalangan muslim maupun dari kalangan non muslim.
Namun usaha itu menemukan hambatan, karna alquran tidan tersusun seperti susunan karaya ilmiah. Banyak persoalan inti yang silih bergandi diungkapan dalam alquran, sehingga menurut shihap[2], sangat dibutuhkan cara-cara yang mudah dalam memahaminya. Hal ini bisa ditolerir mengigat alquran merupakan kitab yang tidak bisa dipahami dengan bekal ilmu tentang pemahaman ilmu alquran yang minim.
Munasabah merupakan satu dari sekian banyak cara dalam membantu memahami makana yang terkandung didalam alquran. Dalam fenomena ini munasabah berupaya melihat korelasi antara satu ayat dengan ayat yang lainnya, pembukaan surat dengan akhir surat dan satu surat dengan surat yang lainya, baik yang dibelakang maupun didepan surat tersebut. Dengan memperhatikan munasabah berarti telah berusaha sebaik mungkin dalam menafirkan alquran.
Munasabah memiliki peran yang sensitifkan dalam memahami makna alquran. Hal ini seperti pandangan Zuhdi, bahawa ilmu munasabah dapat berperan dalam mengantikan ilmu asbabu al-nuzul, apabila seorang tidak mengetahui seab turunnnya satu ayat, tetapi mengetahui korelasinya[3],
Untuk mengarahkan pengkajian tentang munasabah hingga dapat menghasilkan suatu masukan yang berkualitas, maka beranjak dari latar belakang persoalan tadilah menimbulkan persoalan tentang apa sebenarnya munasabah tersebut ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN MUNASABAH
Pengertian munasabah dapat difahami dari dia sudut tinjauan ,yakni secara bahasa dan istilah .zakarshi memberikan pengertian dari sudut bahasa, bahwa:
المناسبة فى اللغة المقاربة
(Al munasahabah dalam bahasa artinya berarti kedekatan)[4]
Dalam kontek ini hampir dapat dipastikan bahwa ayat dalam alquran memiliki hubungan yang erat. Untuk mengambarkan lebih jauh lagi tentang maka dapat diliha pengertiannya berdasarka istilah, yakni:
“Al-munasabah adalah adanya bentuk ikatan antara satu kalimat dengan kalimat lainnya dalam satu surat, antara satu ayat dengan ayat lainnya dalam surat yang berlainan, aatu antara satu surat dengan surat yang lain[5].”
Dalam hal tersebut bukan saja pertalian yang bersifat kesesuan saja, nmaun memiliki banyak bentuk persesuain, antara lain seperti disebutkan suyuthi bahwa keterkaitan tersebut seperti berikut :
“Macam – macam bentuk keterkaiatan nya adalah antara lain berbentuk seperti sabab dan musababnya, persesuaian dan pertentangan[6].”
Namun menurut Chirzin bahwa bentuk kesesuain tersebut lebih didominasi oleh kaitan yang berkisar sekitar sebab akibat dan pertentangan, karena jika ayat itu tidak saling bertemu maka tentu berhadapan sebagai lawan[7].
B. Pembagian Munasabah
Berdasarkan pengertian diatas, maka munasabah diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Munasabah ayat dengan ayat dalam satu surat
Munasabah ayat dengan dengan ayat, terdapat dua pokok persoalan yang mendasar, pertama antara ayat dengan ayat kelihatan jelas, hal ini dapat terlihat dari ayat yang diperantarai dengan huruf athaf, seperti ungkapan Zarkashi[8], mengutip firman Allah swt :
Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang ke luar daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. dan Dia-lah yang Maha Penyayang lagi Maha Pengampun. (Q.S. Saba ‘ (34) : 2). Huruf athaf pada ayat tersebut menunjukkan keserasian tersebut termasuk bentuk kesesuaian.
Kemudian ada lagi korelasi antara satu ayat dengan ayat yang lainnya tidak terlihat jelas, menurut zakarshimembutuhkan satu alat untuk menjadi bukti tentang keterikatnnya berupa keterkaitan dari sudut ma`nawi. Dan kalau diteliti lebih jauh lagi maka tersirat bahwa hubungan secara ma`nawi dikatakorikan lagi tiga jenis, yakni takzir (hubungan perbadingan), mudhabah (hubungan pertetangan) dan Istidrat(hubungan yang mencerminkan adanya kaiatan antara suatu persoalan dengan persoalan lainnya[9].
2. Munsabah antara satu surat dengan surat yang lainnya
Didalam alquran tidak saja terjadi munasabah antara satu ayat dengan ayat lainnya saja, namaun antara satu surat dengan surat lainnya juga terjadi munasabah. Munasabah yang terjadi bisa saja sifatnya berkesusasian, bertentangan dan sebab akibat.
3. munasabah antara awal ayat dengan akhir ayat dalam satu surat
Disamping dua kategori munasabah diatas, maka lebih lanjut dinyatakan bahwa munasabah juga terjadi antara awal dan akhir ayat pada satu surat. Konsekwensinya adalah alquran memiliki keunikan terdiri jika dibandikan dengan kitab-kitab sebelumnya.
D. MUNASABAH DALAM TATARAN PRAKTIS
Untuk mengetahui lebih jelasnya tentang munasabah, maka akan diuraikan dengan dengan dua buku tafsir-jajalain dan maraghi-yang dispessifikasikan pada surat al-quraisy
1. munasabah antara satu ayat dengan ayat lainnya dalam satu surat
(Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah) . (Q.S al-Fiil : 1).
Dalam tafsir jajalain ditafsirkan dengan dua penggalan kata, yaitu ; yang merupakan istifham dan mengandung makna ta`ajub, artinya seperti kamu merasa terpesona. Kemudian كيف فعل ربك بأ صحاب الفيل yang maksudnya adalah Mahmudlah yang mempunyai gajah dengan disertai sahabatnya Abraham yang merupakan raja dari Yaman berikut tentaranya yang telah membangun sebuah gereja dengan tujuan agar orang berpaling menziarahi Makkah. Pada suatu hari ada seorang dari kinanah yang mengotori dengan bermaksud menghinanya. Dengan kondisi itu abraham bertekat untuk menghacurkan ka`bah maka Allah mengirimkan kepada mereka apa yang dikisahkan pada firman Allah berikutnya[10].
Tafsir maraghi menguraikan ayat tersebut seperti berikut ; maksudnya adalah apakah enkau tidak mengerti suatu peristiwa yang mena`jubkan dan agung, yang mengambarkan betapa besarnya kesusahan Allah kebijakannya terhadap ashabul fiil yang berusaha menghancurkan ka`bah. Hal ini sulit dianalisa sebab musababnya, karna belum pernah terjadi gerombolan burung menyerang satu kaum saja sementara kaum lainnya tidak diserang. Semua itu tanda-tanda kebijaksanaan yang maha mengatur dan dilakukan untuk menjaga ka`bah. Secara mendalam ayat ini mengambarkan istilah menyaksikan untuk pengertian mengetahui. Konsekwensiya adalah peristiwa mutlak benar dan sudah dikenal, sehingga esensi mengetahui dalam hal kejelasannya setara dengan pengetahuan yang didasarkan pada penglihatan dan kesaksian[11].
Korelasi ayat tersebut dengan ayat berikut :
(bukankah dia menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia). (Q.S al-Fiil : 2).
Dalam tafsir jalalain kata ألم يجعل maksudnya telah menjadikan dalam rangka menghancurkan ka`bah فى تضليل maksudnya menjerumuskan mereka kedalam kerugian dan kebinasaan[12].
Dalam tafsir maraghi dijelaskan bahwa sesungguhnya kalian melihat apa yang telah dilakukan Allah dengan menggagalkan usha mereka. Sehingga menjadi pudar usaha yang mereka susun secara baik sebelumnya[13].
Korelasi yang terjadi pada ayat tersebut adalah sifatnya berkesesuaian yakni ayat yang pertama menggambarkan bagaimana persiapan tentara bergajah dalam menghancurkan ka`bah yang diridhai allah, kemudian ayat kedua dikuatkan oleh Allah bahwa usaha tersebut merupakan kesia-siaan.
2. Munasabah Antara Satu Surat Dengan Surat Yang Lainnya
فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَأْكُولٍ
(lalu dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan)
Penafsiran dalam jalalain adalah ; bagian daun yang dimakan oleh ternak, diinjak dan dicabik-cabiknya. Maksudnya Allah akan menghancurkan setiap orang dengan batu yang ada padanya dan termaktub pada batu itu nama orang yang akan dikenainya. Dan batu itu lebih besar dari pada adasah dan lebih kecil dari biji kacang Hums yang dapat menembus topi baja yang berjalan kaki beserta gajahnya, kemudian batu itu jatuh ketanah, setelah mengenai badan mereka, peristiwa itu terjadi pada tahun kelahiran nabi[14].
Kemudian penafsiran dalam maraghi adalah ; maka menjadikan keadaan mereka bagaikan dedaunan yang rusak atau dimakan ulat /hama. Dengan kata lain mereka bagaikan dedaunan yang dimakan hewan ternak dan bagian yang lain berserakan keluar dari mulut ternak setelah dikunyah[15]. Kolerasi ayat tersebut awal surat al-q’uraisy. Dalam penafsiran jalalain adalah ;
(karna kebiasaan orang-orang quraisy yaitu kebiasaan mereka), Maksudnya kebiasaan yang terakhir adalah memberikan penekanan pada kebiasaan sebelumnya[16].
Kemudian dalam tafsir maraghi diungkapkan sebagi berikut ; (karna kebiasaan orang quraisy yaitu kebiasaan mereka berpergian pada musim dingin dan panas).
Seyogyanya kaum quraisy menyembah tuhannya sebagi rasa syukur atas karunianya yang telah menjadikan mereka sebagai kaum pedangang yang banyak berpergian, sebagai akibat dari negeri yang tempati tandus. Bagi mereka berupa suatu kebiasaan melakukan perjalanan melakukan perjalanan untuk dagang dimusim dinggin ke Yaman. Mereka berbelanja parfum, rempah-rempah yang didatangkan dari India dan Teluk persi, lalu di pasarkan kenegeri mereka. Ketika musim panas mereka pergi ke Syam untuk berbelanja hasil pertanian untuk dibawa kenegri mereka yang minus[17].
Korelasi yang terjadi dalm surat Al-fiil dan Al-quraisy adalah ; dalam al-fiil terkandung penjelasan tentang nikmat allah yang di anugrahkan pada penduduk Makkah. Hal ini tampak dari penjelasan surat al-fiil yang menyebutkan bahwa Allah menghancurkan musuh-musuh mereka yang datang menghancurkan ka`bah. Kenudian pada surat al-quraisy dijelaskan tentang nikmat Allah yang dilimpahkan kepada mereka, yaitu terhimpunnya mereka dalam satu kesatuan yng kokoh. Sehingga mereka bisa melakukan perjalanan di musim panas dan dingin dalam usaha perdagangan. Korelasi yang terjadi sifatnya sebab-akibab.
3. Munasabah antara awal dengan akhir ayat pada satu surat
Munasabah yang dijelaskan di awal dan di akhir surat al-fiil yakni
(Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah)
Ayat tersebut berkorelasi dengan ayat ;
فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَأْكُولٍ
(lalu dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan)
Ayat diatas tidak ditafsirkan,mengingat telah ditafsir sebelumnya.adapun munasabah yang terjadi pada surat ini adalah ; pada awal surat dijelaskan pada keinginan pasukan bergajah yang dipimpin Abraham, untuk menghancurkan ka`bah yang tidak di ridhai Allah . dan Allah menunjukkan kemasa kuasaannya dalam menghalangi tentara bergajah. Kemudian pada akhir surat dijelaskan akibat yang diderita oleh tentara bergajah atas rencana buruk mereka untuk menghancurkan .ka`bah. adapun munasabah yangterjadi sifatnya berkesesuaian. Untuk perbedaan dua penafsiran tersebut adalah sebagai berikut :
1. Tafsir jalalain
Ø Penafsirannya terkadang terjadi pemenggalan kata.
Ø Bahasanya ringkas
Ø Penafsiran secara zahir saja, tanpa ada penekanan pad kata-kata yang bisa mengandung perbedaan persepsi
Ø Penafsirnnya kadang agak kulit dicerna maksudnya karna tidak dalmnya pembahasan
2. Tafsir Maraghi
Ø Penafsirannya per-ayat dengan tanpa pemengalan kata
Ø Bahasanya lpebih komplek dibandingkan dengan tafsir jalalain
Ø Penafsirannya agak mendalam karna adanya penekanan pada kata-kata yang bisa menimbulkan pesepsi berbeda, seperti pada kata
Ø Penafsirannya agak mudah dipahami karna gaya bahasa yang digunakan sederhana.
Untuk perbedaan lebih lanjut dapat dicari sendiri yang sepertinya memerlukan perenungan (kontemplasi).
E.URGENSI MUNASABAH
Pembahasan munasabah tidak begitu menarik dibahas oleh ahli tafsir seperti pembahsan pada ilmu al-quran lainnya (ababu an nuzul,nasakh dan mansukh dll), kondisi ini terbukti dengan sedikitnya literatur mengenai munasabah itu. Namun kondisi ini bukan berarti tidak penting sebagai metode dalam memahami makna al-quran.
Disisi lain Zarkashi mensinyalir adanya faedah memahami munasabah untuk menafsirkan al-quran, yakni menjadikan bagian-bagian kalimat menjadi satu keutuhan, yang diungkapkan dengan sling keterkaitan antara satu dan lainnya sehingga membantu ahli tafsir dalm memahami makna yang terkandung dalam al-quran.
Pengetahuan terhadap munasabah tersebut bukanlah taufiqi, akan tetapi merupakan ijtihat mufassir, dan buah penghayatannya terhadap kemu`jizatan al-quran dan rahasia retorika dari segi keterangannya .yang mandiri. Apabila munasabah itu ,halujs ma`nanya, keharmonisan konteknya, sesuain asas kebahasaan dalam bahasa arab, maka mkunasabah itu bisa diterima[18].
Munasabah merupakan satu dari sekian banyak metode dalm memahami kandungan al-quran. Dalam prosesnya dibutuhkan kreatifan raso dalam menemukan munasabah ayat. Namun tidaklah rasio digunakan secara bebas. Ditinjau dari segi esensinya, maka munasabah terbagi tiga bentuk yakni munasabah satu ayat dengan ayat lainnya dalm satu surat, munasabah antara satu surat dengan surat lainnya, dan munasabah antara awal surat dengan akhir surat. Sebagi bukti jelas adanya munasnah seperti terlihat dari dua tafsir yang digunakan dalam menemukan munasabah tersebut.
Melihat agak rumitnya menemukan munasabah antara satu ayat dengan ayat lainnya, maka pendidikan merupakan satu solusi dalm mengatasinya. Namun tinjauan lain melihat bahwa dengan dijadikan al-quran sebagai ilmu yang dipelajari terutama disekolah agama, maka untuk melancarkan proses belajar-mengajar ada baiknya pendidik memahami munasabah, demi .mempermudah mentrnfer ilmu al-quran hingga lancarnya proses belajar-mengajar.
MAKALAH ETIKA DALAM KAJIAN FILSAFAT ISLAM DAN AL-QURAN
Etika merupakan hal yang paling penting dalam kehidupan. dalam kajian filsafat dan alquran etika merupakan dasar yang penting untuk di pelajari. oleh karena itu makalah ini secara rinci membahas bagaimana etika dalam pandangan filsafat dan al-quran secara islami. Etika merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti: adat istiadat.[5] Sebagai cabang dari filsafat, maka etika berangkat dari kesimpulan logis dan rasio guna untuk menetapkan ukuran yang sama dan disepakati mengenai sesuatu perbuatan, apakah perbuatan itu baik atau buruk, benar atau salah dan pantas atau tidak pantas untuk dikerjakan.
Secara fisik, manusia ada yang sehat dan ada juga yang cacat, ada yang buta, tuli, lumpuh, dan kekurangan-kekurangan lainnya yang bersifat jasmaniah. Tetapi dapatkah kita menyebutkan bahwa kekurangan-kekurangan jasmaniah tersebut juga menunjukkan adanya kekurangan dalam segi rohani dan kepribadiannya. Sokrates, misalnya, seorang filosof Yunani kenamaan, yang kadang disejajarkan dengan nabi, adalah orang yang amat buruk rupa. Tetapi, keburukan ini tidak dianggap cacat. Atau Abu al-‘Ala Mu’arra dan Thaha Husain, yang hidup di masa sekarang adalah para tunanetra.[1] Apakah perilaku mereka juga seburuk penampilannya, ataukah mereka memiliki cacat kepribadian?. Adalah salah bila menganggap rohani tergantung pada jasmani. Setiap manusia yang berpenampilan baik dalam segi jasmaniahnya belum dapat dipastikan memiliki tingkah laku atau perangai yang baik. hal di atas menunjukkan bahwa penilaian seseorang itu tidak bergantung pada segi jasmaninya.
Dalam kehidupan ini, kita sering tertipu dengan orang-orang yang berpenampilan baik sehingga kita menganggap dan menamainya sebagai orang baik. Di televisi dan media massa lainnya, pernah disebutkan: seorang guru mengaji yang sampai tega “mencabuli” murid-murid perempuannya yang masih kecil, atau seorang oknum aparat yang terlibat kasus perampokan, dan pejabat-pejabat yang merupakan “panutan masyarakat” terlibat kasus korupsi dan kolusi, serta contoh-contoh lainnya.
Jika dipersempit masalahnya kedalam masyarakat Islam, dan kita sebutkan saja pelaku-pelaku tindakan di atas adalah muslim, maka muncul pertanyaan: apakah pelaku tersebut tidak paham bahwa Islam telah mengajarkan tuntunan-tuntunan yang disebut ilmu akhlak?, jika ia mengerti bahwa dalam Islam ada ajaran akhlak, lantas mengapa ia masih tetap melakukan tindakan yang buruk tersebut?.
Berdasarkan hal di atas, maka permasalahannya dapat dibagi menjadi dua: Pertama bahwa ia memang tidak paham akan perilaku-perilaku yang sesuai dengan tuntunan akhlak islami. Kedua, ia mengetahuinya, tetapi tidak mengamalkannya dikarenakan pemahamannya tentang maksud dan hikmah yang terkandung didalam tuntunan-tuntunan tersebut masih terbatas. Dari sini dapat diketahui bahwa akhlak yang berisi tuntunan-tuntunan perilaku muslim, ternyata tidak hanya sebagai “makanan siap saji” yang langsung dapat dimakan tanpa perlu dikaji dan dipikirkan, bahan-bahan apa yang terkandung di dalamnya, apakah makanan tersebut sesuai dengan kondisi tubuhnya dan tidak membawa kemudharatan bagi kesehatannya.
Oleh sebab itu, akhlak, sebagai produk siap jadi, ternyata masih perlu dipikirkan kembali, dikaji ulang dan dipahami maksud-maksud yang terkandung didalamnya. Di sini, filsafat akhlak dan moral menjadi penting untuk dikaji kembali. Bukan untuk meruntuhkan tatanan yang sudah ada, tetapi untuk mengoreksi kembali agar tuntunan tersebut lebih terasa bermakna.
Dalam sebuah “Temu ramah masyarakat NU Sumatera Utara” yang diadakan di Medan, Masdar F. Mas’udi, pernah menjelaskan perihal memelihara jenggot. Menurutnya, bahwa Nabi saw., menyuruh umat Islam memelihara jenggot supaya seorang muslim kelihatan berwibawa sehingga dengan jenggot yang lebat, orang-orang non muslim akan menaruh wibawa dan hormat kepadanya. Tetapi perintah ini kurang cocok untuk orang ras melayu (khususnya orang Indonesia rata-rata bertubuh kecil dan tidak berbulu lebat), karena bila seorang melayu memelihara jenggot yang tidak lebat (alias jenggotnya hanya tujuh lembar), maka hal itu tidak akan menimbulkan kewibawaan baginya, malahan bagi orang yang melihatnya akan menjadi sesuatu yang lucu dan konyol. Begitu kata Masdar.
Contoh di atas terkait dengan permasalah etika atau filsafat akhlak, yaitu bagaimana kita dapat menemukan dan memandang nilai-nilai yang baik bagi kehidupan. Sebagai salah satu cabang ilmu filsafat, etika mulai dibicarakan oleh para filosof Yunani hingga ke abad modern ini. Adalah Sokrates filosof yang pertama kali mengemukakan; untuk apa sebenarnya manusia hidup, bagaimana sebenarnya manusia harus bersikap dalam memandang diri dan kehidupannya, dan memandang nilai-nilai yang harus dijalankan dalam kehidupan ini agar melahirkan konsep-konsep yang dapat diwujudkan dalam kehidupan praktis. Dari sini, tradisi etika pun berlanjut hingga menjadi pembahasan yang tidak luput dari kajian para filosof muslim klasik dengan mengembangkan konsep-konsep etika warisan Yunani dengan prinsip-prinsip utama yang ada dalam ajaran Islam.
Secara defenisi, etika atau lazimnya disebut filsafat moral adalah gambaran rasional mengenai hakekat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan atau dilarang.[2] Etika juga merupakan kebiasaan moral dan sifat perwatakan yang berisi nilai-nilai yang terbentuk dalam tingkah laku dan adat istiadat.[3] Oleh karena itu penelitian etika selalu menempatkan tekanan khusus terhadap defenisi konsep-konsep etika, justifikasi atau penilaian terhadap keputusan moral, sekaligus membedakan antara perbuatan dan keputusan yang baik dan buruk.
Dalam agama Islam, konsep-konsep moral, keagamaan dan prilaku individu dan sosial sebenarnya telah terdapat pada teks-teks suci, namun tidak berisi teori-teori etika dalam bentuk baku walaupun ia membentuk keseluruhan ethos Islam. Jadi bagaimana cara mengeluarkan nilai-nilai tersebut menjadi sangat penting dalam studi etika Islam. Oleh karenanya, para teolog dan filosof mengambil posisi masing-masing dalam menggali otoritas al-Qur’an untuk mendukung pernyataan teoritis mereka dalam mengambil nilai-nilai yang terdapat dalam wahyu.
Para filosof muslim awal dalam kajiannya mengenai etika apakah Neo-Platonis seperti al-Farabi, Aristotelian seperti Ibnu Rusyd, atau Platonis seperti Abu Bakar al-Razi, berada dalam posisi yang berbeda dengan para teolog yang berangkat dari teks wahyu. Sekalipun mereka tidak bodoh atau secara sengaja menyangkal otoritas al-Qur’an, namun mereka setia terhadap kaidah-kaidah dalil filsafat yang telah diwariskan oleh filsafat Yunani. Pembahasan etika filosof-filosof muslim tersebut sering dihiasi dengan dalil-dalil al-Qur’an seperti cara-cara penulis muslim umumnya, akan tetapi dikhususkan pada diktum-diktum yang memperkuat kesimpulan mereka. Jadi untuk membedakan antara keduanya, bagi para teolog teks suci merupakan dasar kebenaran utama, sedangkan bagi para filosof adalah akal.[4]
Etika | Moral | Akhlak
Etika merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti: adat istiadat.[5] Sebagai cabang dari filsafat, maka etika berangkat dari kesimpulan logis dan rasio guna untuk menetapkan ukuran yang sama dan disepakati mengenai sesuatu perbuatan, apakah perbuatan itu baik atau buruk, benar atau salah dan pantas atau tidak pantas untuk dikerjakan.
Di dalam New Masters Pictorial encyclopaedia dikatakan: ethichs is science of moral philosophy concerned not with fact, but with values; not with caracter of, but the ideal of human conduct.[6] (Etika adalah ilmu tentang filsafat moral, tidak mengenai fakta, tetapi tentang nilai-nilai, tidak mengenai sifat tindakan manusia, tetapi tentang idenya).
Sebagian orang berpendapat bahwa etika sama dengan akhlak. Persamaan itu memang ada, karena keduanya membahas masalah baik buruknya tingkah laku manusia. Tujuan etika dalam pandangan filsafat ialah mendapatkan ide yang sama bagi seluruh manusia di setiap waktu dan tempat dengan ukuran tingkah laku yang baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal fikiran. Akan tetapi dalam usaha mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena pandangan masing-masing golongan di dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai ukuran atau kriteria yang berlainan. Setiap golongan mempunyai konsepsi sendiri-sendiri.[7]
Adapun perkataan akhlak, berasal dari bahasa Arab jama’ dari khuluqun yang menurut lughat diartikan budi pekerti, perangai, tingkah laku dan tabiat. Kata tersebut mengandung segi-segi keterkaitan dengan perkataan khalqun yang berarti kejadian, serta erat hubungannya dengan khaliq yang berarti pencipta, dan makhluq yang berarti diciptakan. Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khalik dengan makhluk dan makhluk dengan makhluk.[8]
Sementara perkataan moral berasal dari bahasa Latin mores kata jamak dari mos yang berarti adat istiadat. Dalam bahasa Indonesia, moral diterjemahkan dengan arti susila. Yang dimaksud dengan moral ialah sesuai dengan ide-ide umum yang diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan wajar. Jadi sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan yang oleh umum diterima dalam lingkungan tertentu dan sudah terlembagakan dalam suatu masyarakat.
Ketiga istilah di atas merupakan istilah-istilah yang banyak dipakai untuk mengungkapkan makna yang serupa atau hampir sama. Para peneliti etika secara sadar banyak menyebutkan etika sebagai moral atau juga akhlak. Filsafat moral disebut juga filsafat akhlak dan sebagainya. Istilah-istilah di atas yang maknanya disamaratakan pada dasarnya tetap memiliki perbedaan, karena dalam segi semantik dapat diketahui bahwa setiap kata pada dasarnya memiliki karakteristik arti atau makna tersendiri yang membedakannya dengan kata lainnya. Karena apabila ada dua kata atau lebih, memiliki makna sama maka akan ada pemubaziran dalam berbahasa.
Untuk dapat membedakannya maka dapat diketahui bahwa etika menetapkan ukuran sesuatu bertitik tolak dari akal fikiran, tidak dari agama. Di sini letak perbedaannya dengan akhlak dalam pandangan Islam. Dalam pandangan Islam, ilmu akhlak adalah suatu ilmu pengetahuan yang mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk berdasarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ajaran etika Islam sesuai dengan fitrah akal dan fikiran yang lurus. Sementara perbedaannya antara moral dan etika, yakni etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral lebih banyak bersifat praktis.
Jika kita boleh menarik garis batas antara moral dan etika, maka moral adalah aturan-aturan normatif (dalam bahasa agama Islam disebut akhlak) yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu yang terbatas oleh ruang dan waktu. Penerapan tata moral dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat tertentu menjadi bidang kajian antropologi, sedang etika adalah bidang kajian filsafat. Realitas moral dalam kehidupan masyarakat yang terjernihkan lewat studi kritis (critical studies) adalah wilayah yang dibidangi oleh etika. Jadi studi kritis terhadap moralitas menjadi wilayah etika, sehingga moral tidak lain adalah objek material daripada etika.[9]
Berbeda dari etika (filsafat moral), maka akhlak lebih dimaksudkan sebagai suatu ‘paket’ atau ‘produk jadi’ yang bersifat normatif-mengikat, yang harus diterapkan dan direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim, tanpa perlu mempertanyakan dan menyelidiki secara kritis terlebih dahulu.
Akhlak atau moralitas adalah merupakan seperangkat tata nilai yang ‘sudah jadi’ dan ‘siap pakai’ tanpa dibarengi, bahkan menghindari studi kritis. Sedangkan etika justru sebaliknya, bertugas untuk mempertanyakan secara kritis rumusan-rumusan masa lalu yang sudah menggumpal dan mengkristal dalam lapisan masyarakat.[10] Dalam bahasa Indonesia, selain menyerap istilah etika, moral dan akhlak, juga digunakan beberapa perkataan yang makna dan tujuannya sama atau hampir sama, yaitu tata susila, kesusilaan, budi pekerti, sopan santun, adab, perangai dan tingkah laku atau kelakuan.
ETIKA DALAM ALQURAN
Sebagaimana yang telah dijelaskan di awal bahwa al-Qur’an berisi nilai-nilai ethos yang akhirnya membentuk sistem etika Islam. Namun tidak dalam bentuk baku, karena teks-teks suci tersebut memuat banyak penafsiran. Term-term dalam al-Qur’an yang berkenaan dengan masalah etika akan menjadi fokus pembahasan ini. Tentunya tidak semuanya dapat diuraikan. Ada beberapa hal yang dianggap paling menyentuh dalam konsep etika seperti penggunaan kata al-khayr, al-birrr, al-qisth, al-ma’ruf, dan beberapa kata lainnya akan dapat dijumpai dalam al-Qur’an dan menjadi dasar-dasar pembentukan etika Islam.
Dalam ajaran Islam, penggunaan kata-kata di atas menunjukkan bahwa konsep utama dalam al-Qur’an adalah benar-benar berasal dari konsep Tuhan yang maha adil, dan bahwa dalam lingkungan etika manusia setiap konsep sucinya hanyalah refleksi yang suram—atau imitasi yang sangat tidak sempurna—dari sifat ketuhanan itu sendiri, atau yang mengacu kepada respon khusus yang diperoleh dari perbuatan-perbuatan ketuhanan.[11] Di sini, seorang muslim dituntut untuk sebisa mungkin meniru sikap etis Tuhan, karena pada kenyataannya Tuhan merupakan sumber dari segala yang etis sebagaimana yang tertera dalam teks suci al-Qur’an.
Banyak para ahli merasa kesulitan dalam mengelompokkan kata-kata dalam al-Qur’an berkaitan dengan konsep moral dan etika religius, seperti: al-khayr, al-birr, al-qisth, al-iqsath, al-‘adl, al-haqq, al-ma’ruf dan al-taqwa. Perbuatan-perbuatan yang baik biasa disebut shalihat, sedangkan perbuatan yang buruk disebut sayyiat. Perbuatan sayyiat secara umum disebut itsm atau wizr yaitu dosa atau kejahatan yang arti asalnya adalah beban.[12]
Term-term di atas menjadi dasar umat Islam terhadap pengembangan konsep-konsep moral, yang disebut sebagai “moralitas skriptual”. Bentuk-bentuk pengamalan terhadap term-term tersebut juga dijelaskan dalam al-Qur’an serta masing-masing memiliki akibatnya. Perbuatan-perbuatan shalihat akan membawa manusia kepada konsekuensi yang baik bagi pelakunya dan perbuatan-perbuatan sayyiat juga akan membawa pelakunya terhadap akibat yang dapat merugikan dan membebani dirinya sendiri.
BEBERAPA MASALAH ETIKA
Sebelum masuk kedalam pembahasan atau permasalahan yang berkaitan dengan etika, maka perlu diketahui tipe atau karakteristik yang dapat memungkinkan kita melihat konsep-konsep pemikiran para pemikir muslim berkaitan dengan konsep etika. Madjid Fakhry menjelaskan karakteristik etika Islam dengan membaginya ke dalam dua tipe, yaitu: etika teologis dan etika filosofis.
Tipe etika teologis di dalamnya terdapat tiga aliran besar: (a) aliran rasional yang dipelopori oleh tokoh-tokoh Qadariah dan Mu’tazilah, (b) semi rasionalis dan voluntaris yang didirikan oleh Abu Hasan al-Asy’ari yang cenderung lebih tunduk terhadap terhadap otoritas kitab suci daripada kaidah-kaidah rasional. Penganut aliran ini adalah al-Baqilaini, al-Baghdadi, al-Juwaini, al-Ghazali dan Fakhr al-din al-Razi. Aliran yang ketiga adalah anti rasionalis (zahiriyah), yang mengharuskan agar kitab suci sebagai sumber pokok kebenaran diinterpretasikan secara harfiah. Tokoh-tokohnya di antaranya Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyah.
Sedangkan etika filosofis pada awalnya dipengaruhi aliran-aliran filsafat Yunani. Karya-karya moral yang mula-mula ditulis oleh al-Kindi dan al-Razi mencerminkan pengaruh filsafat Plato dan Sokrates seperti yang dibentuk oleh pemikiran Cynic dan Stoa. Dalam tulisan-tulisan para filosof seperti al-Farabi, Ibnu Sina, dan Yahya ibn ‘Adi, pengaruh Platonisme lebih terasa dalam tulisan-tulisan mereka dan dimensi politik mulai tampak pada masa ini, di mana sebelumnya tidak ada. Di dalam karya etika Miskawaih, Platonisme berperan sebagai dasar pijakan elaborasi sistem etika di mana di dalamnya tali-tali Aristotelian, Neo Platonisme dan Stoa saling bertemu, yang mungkin di bawah pengaruh komentar Porphiry yang salah mengenai karya Aristotelas Nicomachean ethics yang terkenal berasal dari sumber-sumber Arab. Akan tetapi di sini pulalah dimensi politik menjadi berkurang. Dimensi politik muncul kembali secara penuh dalam tulisan-tulisan Nasr al-Din al-Tusi yang menggambarkan jauh lebih baik mengenai kesatuan organis antara politik dan etika daripada pendahulunya.[13]
Sejauh yang dapat diketahui mengenai pokok-pokok pembahasan etika, di bawah ini akan dapat dilihat beberapa pandangan pemikir muslim—khususnya para filosof—dalam beberapa hal seperti masalah jiwa, tingkah laku (akhlak), kebaikan dan keburukan.
1. Jiwa
Pembahasan tentang jiwa banyak diperbincangkan para filosof muslim dari masa klasik hingga modern. Sejak al-Kindi sampai Murtadha Muthahhari, persoalan jiwa masih menjadi perbincangan hangat. Ada yang menganggap jiwa sama dengan ruh atau nyawa, ada juga yang membedakannya, apakah jiwa juga berarti nafsu, apakah ia juga berarti akal, masing-masing ahli punya pendapat yang berbeda-beda karena dalam ajaran Islam masalah jiwa adalah rahasia Tuhan. Secara pasti manusia tidak mengetahui hakekat sebenarnya, manusia hanya mengetahui sedikit saja melalui informasi teks suci.[14]
Jiwa manusia merupakan rahasia Tuhan yang terdapat pada hamba-Nya dan menjadi kebesaran Tuhan pada makhluk-Nya serta teka teki kemanusiaan yang belum dapat dipecahkan dan barangkali tidak akan bisa dipecahkan dengan memuaskan. Memang jiwa menjadi sumber pengetahuan bermacam-macam dan tidak tebatas, tetapi belum lagi diketahui hakikatnya dengan segala keyakinan. Jiwa menjadi sumber-sumber pikiran yang jelas, namun sebagian besar pikiran-pikiran tentang jiwa diliputi oleh kegelapan dan kerahasiaan, meskipun manusia sejak masa pertamanya sampai sekarang ini masih selalu berusaha dan menyelidiki apa hakikatnya jiwa serta pertaliannya dengan badan. Permasalahan jiwa dalam kajian etika berfokus pada pengenalan terhadap jiwa tersebut sehingga digali potensi-potensinya untuk melahirkan kondisi jiwa yang baik dan melahirkan perbuatan yang baik pula, sesuai dengan fitrah dan kemauan jiwa kemanusiaan.
Para filosof muslim, hampir semua sepakat menyatakan bahwa dalam kajian etika, modal dasar yang harus diketahui terlebih dahulu adalah pengetahuan tentang jiwa. Setiap tingkah laku atau perbuatan yang lahir merupakan cermin dari kondisi jiwanya. Perilaku yang baik akan lahir dari kondisi jiwa yang sehat, sedangkan perilaku yang buruk merupakan sebab dari kondisi jiwa yang buruk pula.
Al-kindi menjelaskan, bahwa dalam diri manusia, terdapat ruh atau jiwa yang mempunyai tiga daya atau kekuatan. Daya bernafsu yang berpusat di perut, daya berani yang berpusat di dada, dan daya berfikir yang berpusat di kepala. Daya berfikir inilah yang disebut akal.[15] Seseorang yang dapat menguasai tiga daya tersebut dan dapat mengendalikannya ke arah yang baik maka orang tersebut telah berhasil dalam mengaktualisasikan jiwa dalam kehidupannya.
Perhatian yang khusus terhadap masalah jiwa telah dilakukukan oleh Ibnu Sina, salah satu kitabnya yaitu Risalah al-Quwa al-Nafsiah telah membahas tentang kekuatan jiwa dengan tinjauan filsafat. Ia secara garis besar telah membagi segi-segi kejiwaan menjadi dua segi. Pertama, Segi fisika, yang membicarakan tentang macam-macam jiwa (jiwa tanam-tanaman, jiwa hewan, dan jiwa manusia), pembagian kebaikan-kebaikan,; jiwa manusia, indera dan lain-lain dan pembahasan-pembahasan lainnya yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya. Kedua, Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud haikikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.[16]
Al-Ghazali menjelaskan bahwa jiwa itu dapat dilatih, dikuasai dan diubah kepada akhlak yang mulia dan terpuji. Tiap sifat tumbih dari hati manusia dan memancarkan akibatnya kepada anggotanya. Seseorang yang ingin menulis bagus, pada mulanya harus memaksakan tangannya membiasakan menulis bagus. Apabila kebiasaan ini sudah lama, maka paksaan tidak diperlukan lagi karena digerakkan oleh jiwa dan hatinya.[17]
Ibnu Miskawaih, seorang filosof muslim yang terkenal dengan kitabnya Tahdzib al-Akhlak menjelaskan bahwa jiwa adalah sesuatu yang bukan tubuh, bukan pula bagian dari tubuh dan juga bukan materi (‘aradh). Jika “jiwa” tersebut semakin jauh dari hal-hal jasadi, maka jiwa semakin sempurna, apabila jiwa bebas dari indera, maka jiwa semakin kuat dan sempurna serta semakin mampu menilai yang benar dan menangkap ma’qulat yang simpel. Inilah dalil terjelas bahwa tabiat dan subtansi jiwa ini berbeda dengan tabiat wadah kasar, dan bahwa jiwa merupakan subtansi yang lebih mulia dan memiliki tabiat yang lebih tinggi daripada semua benda yang ada di alam ini.[18]
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa jiwa terdiri dari tiga fakultas atau bagian: fakultas yang berkaitan dengan berfikir, melihat dan mempertimbangkan realitas segala sesuatu; fakultas yang terungkapkan dalam marah, berani, khususnya berani menghadapi bahaya, dan ingin berkuasa, menghargai diri dan menginginkan bermacam-macam kehormatan; fakultas yang membuat kita memiliki nafsu syahwat dan makan, keinginan pada nikmatnya makanan dan minuman, senggama, dan ditambah kenikmatan-kenikmatan inderawi lainnya. Ketiga fakultas ini berbeda satu dari yang lainnya. Hal ini bisa diketahui dari kenyataan terlalu berkembangnya salah satu dari ketiga fakultas itu, dan merusak yang lainnya. Salah satu dari ketiganya dapat meniadakan tindakan-tindakan dari yang lain, atau terkadang dianggap sebagai tiga jiwa, dan terkadang sebagai tiga fakultas dari satu jiwa. Fakultas berfikir (al-quwwah al-natiqah) disebut fakultas raja, sedangkan organ tubuh yang digunakannya adalah otak. Fakultas nafsu syahwiyah disebut fakultas binatang, dan organ tubuh yang digunakan adalah hati. Adapun fakultas amarah (al-quwwah al-ghadhabiyyah) disebut fakultas binatang buas, dan organ tubuh yang dipergunakan disebut jantung.[19]
2. Tingkah laku (Akhlak)
Pemikir muslim yang intens terhadap pembahasan akhlak adalah Al-Ghazali. Teori-teori etikanya terdapat dalam kitab Mizan al-‘Amal dan dalam karya etika religiusnya Ihya’ ‘Ulum al-Din. Dalam kitab-kitabnya ia menggambarkan bahwa tingkah laku seseorang adalah “lukisan batinnya” karena adanya pembiasaan-pembiasaan yang mewujud kepada prilaku atau akhlak. Ia menjelaskan bahwa kepribadian manusia pada dasarnya dapat menerima pembentukan, tetapi lebih cenderung kepada kebaikan daripada kejahatan. Jika kemudian diri manusia membiasakan yang jahat, maka menjadi jahatlah kelakuannya. Demikian juga sebaliknya jika membiasakan kebaikan, maka menjadi baiklah tingkah lakunya.[20]
Akhlak itu ialah kebiasaan jiwa yang tetap dan terdapat dalam diri manusia yang dengan mudah dan tidak perlu berfikir menumbuhkan perbuatan-perbuatan dan tingkah laku manusia. Apabila lahir tingkah laku yang indah dan terpuji maka dinamakan akhlak yang baik, dan apabila yang lahir itu tingkah laku yang keji, dinamakanlah akhlak yang buruk. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa akhlak yang baik dapat mengadakan perimbangan antara tiga kekuatan dalam diri manusia, yaitu kekuatan berfikir, kekuatan hawa nafsu, dan kekuatan amarah.[21] Murtadha Muthahhari menjelaskan bahwa perbuatan manusia dapat dibagi menjadi tiga jenis:
- perbuatan moral, yang di atas tingkat hewan.
- perbuatan immoral, yang setingkat dengan hewan.
- perbuatan antimoral, yang dibawah tingkat hewan.[22]
Apabila seseorang hanya memikirkan dirinya sendiri seperti hewan, ini bukan moral, tetapi immoral. Tetapi, kadang dalam sikapnya yang hanya memikirkan diri sendiri, ia mendapat penyakit mental, dan kemanusiaannya diperuntukkan bagi kehewanannya dan menjurus kepada pembunuhan diri. Sikap keserakahan, kesewenang-wenangan, ketidakadilan, kezaliman, dan sikap-sikap buruk lainnya akan meruntuhkan perbuatan moral dan kemanusiaannya, sehingga manusia bisa jatuh kedalam perbuatan immoral dan antimoral.
Sementara Ibnu Bajjah[23] membagi perbuatan-perbuatan manusia kepada dua bagian. Bagian pertama, ialah perbuatan yang timbul dari motif-naluri dan hal-hal lain yang berhubungan dengannya, baik dekat atau jauh. Bagian kedua ialah perbuatan yang timbul dari pemikiran yang lurus dan kemauan yang bersih dan tinggi dan bagian ini disebut “perbuatan-perbuatan manusia.”
Pangkal perbedaan antara kedua bagian tersebut bagi Ibnu Bajjah bukan perbuatan itu sendiri melainkan motifnya. Untuk menjelaskan kedua macam perbuatan tersebut, ia mengemukakan seseorang yang terantuk batu, kemudian ia luka-luka, lalu ia melempar batu itu. Kalau ia melemparnya dengan kesal karena batu itu telah melukainya, maka ini adalah perbuatan hewani yang didorong oleh naluri kehewanannya yang telah mendiktekan kepadanya untuk memusnahkan setiap perkara yang mengganggunya.
Kalau melemparkannya agar batu itu tidak mengganggu orang lain, bukan karena kepentingan dirinya, atau marahnya tidak ada bersangkut paut dengan pelemparan tersebut, maka ini adalah pekerjaan kemanusiaan. Pekerjaan terakhir ini saja yang bisa dinilai dalam lapangan akhlak, karena menurut Ibnu Bajjah, hanya orang yang bekerja di bawah pengaruh pikiran dan keadilan semata-mata, dan tidak ada hubungannya dengan segi hewani padanya, itu saja yang bisa dihargai perbuatannya dan bisa disebut orang langit, dan berhak dibicarakan oleh Ibnu Bajjah dalam bukunya.[24]
Setiap orang yang hendak menundukkan segi hewani pada dirinya, maka ia tidak lain hanya harus memulai dengan melaksanakan segi kemanusiaannya. Dalam keadaan demikianlah, maka segi hewani pada dirinya tunduk kepada ketinggian segi kemanusiaan, dan seorang menjadi manusia dengan tidak ada kekurangannya, karena kekurangan ini timbul disebabakan ketundukannya kepada naluri.
3. Baik dan Buruk
Dalam masalah baik dan buruk, Ibnu ‘Arabi menggunakan istilah cahaya dan kegelapan yang berasal dari kaum Zoroaster. Wujud positip adalah sumber segala kebaikan dan wujud negatif merupakan basis dari semua kejahatan. Sesuatu yang dianggap buruk karena satu atau beberapa alasan[25], yaitu:
- karena satu atau lain agama memandangnya demikian.
- relatif terhadap prinsip etika atau standar kebiasaan yang disahkan oleh kelompok masyarakat.
- karena hal-hal dan perbuatan itu bertentangan dengan temperamen individual
- karena hal-hal dan perbuatan itu tidak bisa memuaskan keinginan-keinginan natural, moral atau intelektual dari suatu individu dan sebagainya
- karena terdapat kekurangan atau kelemahan
Ada kategori buruk lainnya dari Ibnu ‘Arabi, yaitu kebodohan, kebohongan, ketidak harmonisan, ketidakteraturan, ketidaksesuaian perangai, dosa dan kekafiran. Di dalam semua itu terdapat kekurangan. Beberapa wujud atau kualitas positip yang apabila ditambahkan pada hal-hal atau tindakan-tindakan yang kita golongkan buruk, akan berubah menjadi baik. Tak ada yang buruk, semuanya baik. Dengan perkataan lain, apa yang dinamakan buruk itu adalah realitas subyektif, bukan realitas obyektif. Bahkan yang baik itupun apabila dipertentangkan dengan yang buruk akan menjadi subyektif dan relatif. Satu-satunya kebaikan mutlak adalah wujud murni yaitu Tuhan.
Ibnu ‘Arabi menjelaskan kerelatifan baik dan buruk dalam cara lain. Penilaian kita terhadap kebaikan dan keburukan dari hal-hal adalah relatif menurut pengetahuan kita. Kita katakan hal atau perbuatan itu buruk, oleh karena ketidaktahuan akan adanya baik yang tersembunyi di dalamnya. Setiap hal mempunyai aspek eksternal dan internal. Di dalam aspek internal terletak tujuan dari sang pencipta dan apabila kita awam terhadap tujuan seperti itu, kita cenderung mudah mengatakan hal itu sebagai yang buruk. Ibnu ‘Arabi mencontohkannya seperti makan obat. Di sini adalah suatu kasus buruk yang nampak, seperti rasa mual yang disebabkan oleh rasa obat itu di mana pasien mencaci obatnya sebagai buruk, karena pasien tidak mengetahuinya.[26]
Miskawaih berpendapat bahwa kebaikan merupakan hal yang dapat dicapai oleh manusia dengan melaksanakan kemauannya dan berupaya dengan hal yang berkaitan dengan tujuan diciptakannya manusia. Sedangkan keburukan merupakan penghambat manusia mencapai kebaikan, di mana hambatan ini berupa kemauan dan upayanya, atau berupa kemalasan dan keengganan mencari kebaikan.[27] Ia selanjutnya membagi jenis kebaikan pokok dan perbuatan jahat. jenis kebajikan pokok tersebut: kearifan, sederhana, berani, dermawan, dan adil. Sementara kebalikan dari perbuatan baik di atas adalah, bodoh, rakus, pengecut, dan lalim.
Manusia berdasarkan perilakunya dapat dibagi menjadi tiga golongan. Bahwa ada manusia yang baik dari asalnya. Golongan ini tidak akan cenderung kepada kejahatan, meski bagaimanapun, golongan ini tidak akan berubah dan akan tetap akan cenderung baik. Golongan ini merupakan minoritas. Golongan yang memang jahat asalnya adalah mayoritas, sama sekali tidak akan cenderung kepada kebaikan. Di antara golongan tersebut ada golongan yang dapat beralih kepada kebaikan dan kejahatan, karena pendidikan dan pengaruh lingkungan.[28]
Miskawaih tidak menjelaskan dengan rinci siapa orang-orang yang masuk dalam tiga kategori tersebut. Namun secara implisit, mungkin kita bisa mengatakan bahwa para nabi dan rasul serta orang-orang yang dimuliakan dan disucikan Allah, masuk dalam kategori yang pertama, yaitu golongan manusia yang awalnya baik dan tidak akan cenderung kepada kejahatan. Sementara golongan kedua dan ketiga merupakan kategori manusia awam dan umum.
KESIMPULAN
Etika adalah gambaran rasional mengenai hakekat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan atau dilarang.
Etika Islam merupakan pembahasan yang dikembangkan sebagai perpaduan antara etika Yunani dan etika yang ada dalam Islam yang berasal dari teks-teks suci. Perpaduan tersebut telah melahirkan sebuah bentuk baru dalam disiplin keilmuan yang disebut filsafat akhlak, di mana akhlak sebagai konsep-konsep praktis menjadi lebih tercerahkan dengan adanya kajian etika.
Para filosof muslim, hampir semua sepakat menyatakan bahwa dalam kajian etika, modal dasar yang harus diketahui terlebih dahulu adalah pengetahuan tentang jiwa.
Akhlak itu ialah kebiasaan jiwa yang tetap dan terdapat dalam diri manusia yang dengan mudah dan tidak perlu berfikir menumbuhkan perbuatan-perbuatan dan tingkah laku manusia.
Kebaikan merupakan hal yang dapat dicapai oleh manusia dengan melaksanakan kemauannya dan berupaya dengan hal yang berkaitan dengan tujuan diciptakannya manusia. Sedangkan keburukan merupakan penghambat manusia mencapai kebaikan, di mana hambatan ini berupa kemauan dan upayanya, atau berupa kemalasan dan keengganan mencari kebaikan.
Makalah Tantangan Allah Untuk Membuat Tandingan Al-Quran
BAB I
PENDAHULUAN
Makalah ini akan mencoba menguraikan tentang tantangan Allah Untuk Membuat Tandingan Al-Quran dan beberapa hal yang berhubungan dengannya seperti kondisi dan konteks turunya ayat-ayat tersebut. Setiap Rasul dan Nabi selalu dibekali dengan mu’jizat yang akan menjadi bukti kebenaran keNabiannya atau kerasulannya, seperti Nabi Isa yang bisa mengobati segala penyakit dan menghidupkan orang yang mati, atau seperti Nabi Sulaiman yang bisa berkomunikasi dengan segala binatang. Unsur luar biasa yang terkandung dalam mu’jizat ini dimaksudkan sebagai dorongan bagi manusia untuk berpikir.[1]
Sejarah mengatakan bahwa mu’jizat seorang Nabi atau Rasul merupakan hal yang sesuai dengan zamannya, atau hal yang sedang berkembang dan digandrungi oleh masyarakat yang diseru untuk beriman kepada Allah, seperti merubah tali menjadi ular ketika masyarakat Mesir kala itu sedang menggandrungi sihir, atau keindahan bahasa Alquran untuk orang Arab yang sangat menyukai bahasa yang indah, fasih dan baligh.[2]
Alquran yang menjadi mu’jizat Nabi Muhammad SAW adalah bukti terkuat untuk saat itu atas kebenaran risalah Muhammad, keindahannya yang merupakan hal yang paling mudah dicerna oleh orang Arab yang nota bene adalah pengagum karya sastra mengalahkan segala keindahan syair-syair kaum Quraisy. Meskipun sebenarnya tidak ada lagi alasan bagi orang kafir dan kaum Quraisy Mekkah juga kaum Munafik Yahudi khusunya untuk tidak mempercayai kebenaran seruan Nabi Muhammad tapi mereka tetap tidak mengakui kebenaran risalah Muhammad.
Salah satu bentuk perlawanan mereka adalah tuduhan yang mereka lontarkan bahwa Muhammad sendirilah yang membuat dan mengarang Alquran, sebuah tuduhan yang manis dalam arti mereka mengakui kehebatan Nabi tapi mengingkari kerasulannya. Dalam pertarungan seperti inilah Allah menurunkan beberapa ayat yang berisi tantangan bagi mereka dan siapa saja setelah mereka untuk membuktikan bahwa Alquran itu memang karya cipta manusia dengan membuat tandingan Alquran.
Makalah ini akan mencoba menguraikan tentang tantangan tersebut dan beberapa hal yang berhubungan dengannya seperti kondisi dan konteks turunya ayat-ayat tersebut. Makalah ini juga akan banyak menyinggung tentang kemu’jizatan AlQuran dan sisi I’jaznya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Bangsa Arab Dan Sastra Arab Pra-Risalah
Bangsa Arab yang hidup di semananjung Arab adalah bangsa yang harus berusaha lebih untuk bertahan hidup, hal ini dikarenakan daerah yang tandus yang mereka diami tidak memberikan sumber kehidupan yang mencukupi. Mereka, mayoritas merupakan pedagang meskipun tidak juga sedikit yang hidup dari pertanian dan profesi lainnya.
Perdagangan yang merupakan mayoritas pekerjaan orang Arab direkam dan dijadikan sebagai bahan ungkapan oleh Alquran. Banyak kata dan permisalan yang digunakan oleh Alquran “bersumber” dari istilah-istilah perdagangan seperti mitsqal, mizan, ajr, jaza’, yattajirun, hisab, robiha, khosiro dan lain sebagainya.[3]
Bangsa Arab juga merupakan bangsa yang mempunyai minat tinggi terhadap bahasa, mereka mempunyai kebiasaan mengirimkan anak-anak mereka untuk mempelajari bahasa kepedalaman. Mereka memberikan apresiasi yang sungguh besar bagi seseorang yang fasih dan baligh dalam berbicara. Sastra merupakan salah satu bentuk kehormatan bagi mereka, tak heran jika beberapa genre sastra berkembang pesat dikalangan bangsa Arab kala itu.[4] Mereka beradu kebolehan dalam menggubah puisi secara rutin di pasar-pasar atau di tempat berkumpulnya orang-orang, karya yang paling bagus akan mendapatkan kehormatan untuk ditempelkan di dinding ka’bah, seorang pujangga akan semakin terkenal dengan banyaknya mu’alloqot yang ia ciptakan.
Puisi yang merupakan genre yang yang paling disenangi biasanya berkisar pada hal, benda atau kejadian yang kasat mata, seperti wanita, unta, raja atau perang[5], maka tak heran jika puisi yang mereka gubah haruslah menggunakan kata-kata atau ungkapan hiperbola -yang tentu tidak terlepas dari unsur kebohongan- untuk memperindah karyanya.[6]
Ketika Nabi Muhammad SAW membacakan ayat-ayat suci yang indah dari segi bahasanya untuk saat itu, sontak saja mereka kaget dan mengakui keindahan susunan kata, fashl, izaz, surah bayaniyah, balaghah, ma’ani dan badi’nya. Selain bahasa yang merupakan keindahan Alquran kala itu juga adalah kandungannya tentang cerita tentang ummat-ummat terdahulu.
Akan tetapi ketika keindahan itu disertai dengan pengakuan Muhammad tentang risalah dan agama baru, meninggalkan agama lama dan berhala, mereka lantas tidak mau mengakui kebenaran ayat Alquran sebagai firman Tuhan. Kesombongan dan rasa harga diri mereka membuat mereka menolak ajaran Muhamad. Berbagai tuduhan mereka lontarkan seperti; tukang sihir, tukang tenung, pendongeng dan orang gila yang membuat sendiri Alquran.[7]
B. Mukjizat AlQuran
Sangat perlu untuk membahas tentang mu’jizat Alquran sebelum membahas tentang kandungan ayat-ayat tantangan untuk membuat tandingan Alquran, agar pertanyaan “Alquran, apanya saja yang ditantang untuk membuatnya”, untuk saat itu dan sekarang.
I. Definisi Mukjizat
Kata mu’jizat berasal dari bahasa Arab, ajaza yang merupakan kata dasarnya berarti lemah, tidak mampu atau tidak kuasa.[8] Kata ini merupakan kata kerja intransitif (lazim), kemudian dijadikan transitif (muta’addiy) dengan menambahkan huruf hamzah diawalnya atau dengan menambahkan tadi’efh, hingga menjadi a’jaza atau ajjaza yang berarti mebuatnya lemah atau menjadikan tidak kuasa.[9] Kata a’jaza inilah yang kemudian dengan sighat ism fai’l berubah menjadi mu’jiz atau mu’jizatun, yang menurut etimologi berarti yang melemahkan.
Dalam buku Mukjizat Al-Qur’an, Quraish Shihab lebih lanjut menjelaskan bahwa pelaku yang melemahkan itu dalam bahasa Arab dinamai dengan معجِز (mu’jiz). Bila kemampuan pelakunya dalam melemahkan pihak lain sangat menonjol sehingga mampu membungkam lawan-lawannya, maka ia dinamai معجِزة(mu’jizat). Tambaha (ة ) pada akhir kata itu mengandung makna superlatif (mubalaghah).[10]
Mukjizat didefinisikan oleh kebanyakan pakar agama Islam sebagai “suatu hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seorang yang mengaku Nabi, sebagai bukti keNabiannya yang ditantangkan kepada yang ragu, utnuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, namun mereka tidak mampu malayani tantangan itu.” Sebagaimana diungkapkan oleh Al-Suyuthi dalam Al- Itqan ;
المعجزة : أمر خارق للعادة ، مقرون بالتحدى ، سالم عن المعارضة ، وهي إما حسية وإماعقلية. [11]
Menurt Manna Qatthan kata mu’jizat berarti hal yang luar biasa yang tampak pada seorang Rasul atupun Nabi yang tidak mungkin untuk ditandingi,[12] Louis ma’luf juga mengatakan hal tidak jauh berbeda dengan pendapat diatas. Memang tidak begitu banyak perbedaan yang mendasar tentang defenisi Mu’jizat ini.
II. Sisi Kemukjizatan AlQuran
Sisi kemu’jizatan Alquran ini adalah salah satu hal yang sangat variatif, banyak terdapat perbedaan pendapat tentang apa saja yang menjadi mu’jizat Alquran itu, sebagian mengatakan bahasanya dan kandungannya, sebagian lagi mengatakan bahkan satu hurufnya saja merupakan mu’jizat, kandungannya terhadap teori-teori ilmiah.
Dalam buku “Membumikan Al-Quran”, Quraish Shihab menjelaskan paling tidak ada tiga aspek dalam Al-Quran yang dapat menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw., sekaligus menjadi bukti bahwa informasi atau petunjuk yang disampaikannya adalah benar-benar bersumber dari Allah SWT. Ketiga aspek tersebut akan lebih meyakinkan lagi, bila diketahui bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang yang pandai membaca dan menulis, ia juga tidak hidup dan bermukim di tengah-tengah masyarakat yang relatif mengenal peradaban, seperti Mesir, Romawi atau Persia. Ketiga aspek tersebut adalah pertama, aspek keindahan dan ketelitian redaksi-redaksinya. Kedua, pemberitaan-pemberitaan gaibnya, dan yang ketiga isyarat-isyarat ilmiahnya.[13]
Bila diteliti lebih lanjut pendapat para mufassirin tentang i’jaz Al-Quran, maka akan didapati pendapat mereka yang sangat variatif. Sebagian mufassirin, diantaranya Imam Fakruddin, az-Zamlukany, Ibn Hazam, al-Khutabi berpendapat bahwa kemukjizatan Al-Quran karena fashahat dan balaghat–nya secara keseluruhan. Sedangkan yang lain seperti al-Marakasy berpendapat bahwa I’jaz tersebut disebabkan ia memiliki unsur-unsur keteraturan, kesinambungan dan penyusunan yang berbeda dengan kaedah-kaedah bahasa konvensional kalam Arab. Dalam hal ini, sulit bagi mereka (orang Arab) untuk mengetahui rahasia-rahasia i’jaz Al-Quran, baik mereka lihat dari sisi syairnya, balaghatnya, khitabnya dan lain sebagainya, sekalipun diantara mereka adalah orang-orang yang ahli dalam sastra dan bahasa.[14]
Ada juga sebagian mufassir yang lain melihat I’jaz Al-Quran tersebut dari sisi prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya, khususnya yang berhubungan dengan persoalan-persoalan sosial (al-ijtima’iyyat), politik (al-siyasat) dan norma-norma (al-akhlaqiyat). Aspek-aspek tersebut bagi masyarakat Arab saat itu adalah sesuatu yang belum pernah terpikirkan mereka sebelumnya. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Alquran membawa informasi-informasi baru yang di luar perkiraan manusia. Dari sini jelas bahwa Alquran mengandung dasar-dasar dan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan, yang pada dasarnya tidak mungkin dihasilkan oleh seorang Muhammad yang “ummi” (menurut sebagian besar ulama)[15]
Al-Rumani, dalam buku Salasu Rasail Fi I’jaz al-Quran melihat kemukjizatan Al-Quran dari tujuh macam segi, yaitu: [16]
- Tidak adanya yang mampu menyaingi ( ترك المعارضة ).
- Tantangan Al-Quran yang global (semua manusia dan jin) ( التحدى للكافة).
- Adanya pemalingan ( الصرفة) .
- Balaghah Al-Quran البلاغة )).
- Berita-berita gaib yang akan datang (الأخبار الصادقة عن الأمور المستقبلة ).
- Pembatalan kebiasaan-kebiasaan ( نقض العادة).
- Qiasnya terhadap segala mukjizat ( قياسه بكل معجزة ).
Kemu’jizatan Alquran ini kemudian dirangkum oleh Manna Qaththan, menurutnya mu’jizat Alquran terletak pada kata-katanya, hurufnya, susunannya, bayannya dalam memberikan informasi, nazhmnya,kandungannya tentang ilmu, hukum dan kekuatannya dalam menjaga hak asasi manusia. Banyak orang salah yang menganggap bahwa Alquran juga mengandung seluruh teori ilmiah, padahal teori ilmiah itu bersifat dinamis, sedangkan yang merupakan mu’jizatnya dalam hal ini adalah kekuatannya dalam mengajak manusia untuk berfikir dan mencari ilmu.[17]
Menurut kami bahwa salah satu bentuk kemu’jizatan ini adalah keabadiannya, keeksisannya hingga zaman sekarang, begitu juga kekuatannya untuk menjadi beberapa sumber ilmu, seprti Fikih, Ushul Fikih, Nahwu, Sharf, Bayan, Ma’ani dan Badi’. Denga kata lain tidak ada suatu tulisanpun yang paling diminati orang di muka bumi ini menyaingi Alquran hingga menghasilkan beberapa disiplin Ilmu. Juga kemampuannya menjelaskan sesuatu dan melukiskannya dengan sarana terbaik, menerangkan sesuatu dengan makna yang mudah difikirkan, atau menjelaskan suasana psikologik dengan imajinatif dengan sesuatu yang dapat diraba dan dirasakan dengan konkrit.[18]
II. Mu’jizat Dalam Tantangan Ayat Al-Quran
Sub bab ini adalah untuk menjawab pertanyaan “apakah semua kandungan Alquran dimaksudkan dalam tantangan untuk membuat tandingan Alquran ketika turunnya?” tentu saja tidak karena bangsa Arab kala itu tidaklah mengenal kandungan-kandungan Alquran, seperti hukum, ilmu dan lain sebagainya.
Mu’jizat bahasa adalah hal yang paling utama dalam tantangan ini,[19] karena unsur itulah yang menjadi perhatian kaum Quraysy saat itu. Keindahan eksternal maupun internalnya merupakan hal yang dipuji sekaligus diingkari oleh kaum Quraysy.
Uslubnya, tasybih, majaz, kinyah, fasohah, balaghah, ma’ani, qashr, washl, fashl, ijaz, irama (musiqul uslub, musiqul wazan dan musiqul fawasil), saja’, tajanus, husnut taqsim, jinas, tarshi’, tasythir, raddul I’jaz alas shudur, tauriyah,tibaq, muqabalah[20] dan lain sebagainya adalah unsur-unsur yang menjadi keindahan bahasa Alquran dalam pandangan ilmu Balaghah. Seperti ayat :
يوم تقوم الساعة يقسم المجةمون ما لبسوا غير ساعة # فأما اليتيم فلا نقهر و أما السائل فلا تنهر # إن الأبرار لفى نعيم و إن الفجار لفى جحيم # و تخشى الناس و الله أحق أن تخشاه # و هو الذى يتوفاكم بالليل و يعلم ما جرحتم بالنهار # و تحسبهم أيقاظا و هم رقودا # لكيلا تأسوا على ما فاتاكم و لا تفرحوا على ما أتاكم
Selain itu menurut Manna Qaththan bahwa informasi tentang ummat-ummat terdahulu juga merupakan unsur dalam tantangan Allah.[21] Dan menurut sebagian besar ulama keummiyan rasul juga terkandung didalamnya.[22]
D. Tantangan Allah Untuk Membuat Tandingan Al-Quran
Paling tidak ada empat ayat yang merupakan tantangan bagi mereka yang tidak mempercayai kebenaran Alquran saat itu, keempat ayat itu adalah :
و إنكنتم فى ريب مما نزلنا على عبدنا فأتوا بسورة من مثله و ادعوا شهداءكم من دون الله إتكنتم صادقين ( البقرة : 24 )
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Alquran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal dengan Alquran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.( al-Baqarah: 24 )
أم يقولون افتراه قل فأتوا بسورة مثله و ادعوا من استطعتم من دون الله إن كنتم صادقين ( يونس : 37 )
Atau (patutkah) mereka mengatakan “ Muhammad membuat-buatnya.” Katakanlah : “(kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpanya dan panggilah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”. ( Yunus : 38)
ام يقولون افتراه قل فأتوا بعسر سور مثله مفتريات و ادعوا من استطعتم من دون الله إن كنتم صادقين ( هود : 13 )
Bahkan mereka mengatakan :” Muhammad telah membuat-buat Alquran itu”, katakanlah:”( kalau demikian ), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar”.( Hud : 13)
فليأتوا بحديث مثله إن كانوا صادقين ( الطور : 34 )
Maka hendalah mereka mendatangkan kalimat kalimat yang semisal dengan Alquran itu jika mereka orang-orang yang benar (At-at-Thur : 34)
Tapi ada juga pendapat yang mengatakan bahwa ayat yang merupakan tantangan untuk membuat tandingan Al-Quran hanya ada tiga ayat, dalam arti tiga tingkatan. Seperti Manna qaththan yang mengatakan memberikan tiga tingaktan tantangan dengan empat ayat, yang pertama adalah Al-Isro ayat 88 yang berbunyi:
قل لئن اجتمعت الإنس و الجن على أن يأتوا بمثل هذا القرأن لا يأتون بمثله و لو كان بعضهم لبعض ظهيرا
Artinya: katakanlah:”sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan Alquran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka menjadi pembantu dengan yang lainnya”
Diteruskan dengan membuat sepuluh surat saja pada surat Hud ayat 13, yang kalau itu juga mereka tidak mampu maka diteruskan untuk membuat satu surat saja yaitu pada surat Yunus ayat 38 yang kemudian diulangi pada surat al-Baqarah ayat 24.[23]
I. Tafsir Ayat
a. at-Thur : 34 (Makkiyah turun setelah surah As-Sajdah)
فليأتوا بحديث مثله إن كانوا صادقين ( الطور : 34 )
Maka hendalah mereka mendatangkan kalimat-kalimat yang semisal dengan Alquran itu jika mereka orang-orang yang benar (Atu-at-Thur : 34 )
Al-Hadist berarti perkataan dan kabar, hal ini disetujui banyak mufassirin dan ahli bahasa.[24] Sebab turunnya ayat ini diberitahu pada ayat sebelumnya yaitu:
أم يقولون تقوله بل لا يؤمنون ( الطور : 33 )
Ataukah mereka mengatakan: “ dia ( Muhammad ) membuat-buatnya”. Sebenarnya mereka tidak beriman.( At-at-Thur : 33 )
az-Zamakhsyari menafsirkan apabila memang mereka mengatakan Muhammadlah yang membuat Alquran maka tentu kalian juga bisa membuatnya, maka buatlah perkataan yang mirip dengannya[25] Sedangkan Sayyid Qutub menafsirkan bahwa sebenarnya mereka yang mengatakan Muhammadlah yang membuat Alquran semebnarnya mengakui bahwa siapapun tidak akan bisa untuk membuat seperti Alquran, tapi kebutaan hati membuat mereka berpaling dari Alquran karena itulah Allah menantang mereka untuk membuat perkataan yang mirip dengannya.[26] Menurut mereka inilah tantangan untuk membuat seperti Alquran secara keseluruhan
b. Hud : 13 (Makkiyah)
ام يقولون افتراه قل فأتوا بعسر سور مثله مفتريات و ادعوا من استطعتم من دون الله إن كنتم صادقين ( هود : 13 )
Bahkan mereka mengatakan :” Muhammad telah membuat-buat Alquran itu”, katakanlah:”(kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar”.( Hud : 13)
Iftaroo berarti mengarang atau membuat-buat.
Jika kita melihat ayat sebelumnya
فلعلك تارك بعض ما يوحى إليك و ضائق به صدرك أن يقولوا لو لا أنزل عليه كنز أو جاء به ملك إنما أنت نذير و الله على كل شىء وكيل ( هود : 12 )
Maka boleh jadi kamu hendak meninggalkan sebahagian dari apa yang diwahyukan kepadamu dan sempit karenanya dadamu, karena khawatir bahwa mereka akan mengatakan: “ mengapa tidak diturunkn padanya perbendaharaan (kekayaan) atau datang bersama-sama dengan dia seorang malaikat?” sesunggunya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan dan Allah pemelihara segala sesuatu ( Hud : 12 )
Zamaksyari mengartikan kedua ayat ini “ Muhammad jangan cemas dengan ulah mereka, jangan cemas dan takut untuk menyampaikan firman Allah karena mereka mengatakan : kalau memang itu mu’jizat kenapa tidak turun saja harta yang berlimpah, atau mereka mengatakan : Muhammadlah yang membuat Alquran” maka tantanglah mereka untuk membuat sepuluh surat saja.[27]
c. Yunus : 38 (Makkiyah)
أم يقولون افتراه قل ل فأتوا بسورة مثله و ادعوا من استطعتم من دون الله إن كنتم صادقين ( يونس : 37 )
Atau (patutkah) mereka mengatakan “ Muhammad membuat-buatnya.” Katakanlah : “(kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpanya dan panggilah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”. ( Yunus : 38)
Surah berarti nama yang digunakan merujuk kepada “bab” dalam Alquran yang berjumlah 114. kata surah muncul sembilan kali dalam Alquran dan sekali dalam bentuk suwar, yang merujuk kepada kesatuan unit wahyu yang diturunkan bukan dengan pemahaman seperti yang seakrang ini.[28]
Asal-usul kata surah juga masih diperdebatkan, sebagaian mengatakan bahwa kata itu berasal dari bahasa Ibarani Syura yang berarti jajaran atau urutan, sebagian lagi menganggap berasal dari bahasa Suryani surtha yang berarti tulisan atau teks kitab suci.[29] Sedangkan Ahmad Warson mengartikan suroh kepada sesuatu yang membatasi dengan sesuatu yang lainnya, seperti jajaran, tembok, pagar, keutamaan dan lain-lain.[30]
Az-az-Zamakhsyari menafsirkan ayat ini dengan melihat ayat sebelumnya
و ما كان هذا القرأن أن يفترى من دون الله ولكن تصديق الذى بين يديه و تفضيل الكتاب لا ريب فيه من رب العالمين ( يونس: 37 )
Tidaklah mungkin Alquran ini dibuat selain Allah; akan tetapi (Alquran itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya dan, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam. ( Yunus : 37)
Apabila mereka tidak percaya bahwa Alquran merupakan pembenar bagi kitab-kitab sebelumnya, menjelaskan hukum-hukum yang ada didalamnya, tidak ada keraguan didalamnya, atau mereka menuduhmu membuat Alquran maka katakanlah:”apabila kalian memang orang-orang yang benar (apabila tuduhan kalian benar) bahwa aku membuat Alquran maka kalian juga tentu bisa membuat Alquran, maka buatlah satu surat saja yang serupa.[31]
Jika kita menyamakan domir hi (ه) yang ada pada surat Yunus ini dengan domir yang sama pada surat al-Baqarah, maka sebagian ulama menafsirkan bahwa selain domir itu kembali kepada Alquran juga bisa dikembalikan kepada Muhammad dengan keummiyannya (bagi yang mempercayai bahwa Muhammad memang Ummiy), dengan kata lain buatlah satu sura saja yang sama dengan Alquran atau buatlah satu surat saja yang sama dengan kondisi Muhammad yang ummiy.[32] Tapi menurut Abu Bakar bahwa domir hi pada ayat ini tidak bisa dinisbatkan kepada Nabi Muhammad, karena kata Muhammad atau yang merujuk kepadanya tidak ditemukan pada ayat ini, menurutnya inilah perbedaan ayat ini dengan surah al-Baqarah ayat 24, selanjutnya kata mitslihi berarti satu surah yang sama dengan Alquran dalam kefasihannya, balaghnya dan nazhmnya.[33]
Sedangkan kata bi, kebanyakan para mufassir tidak memberi komentar apakah kata itu menunjukkan arti sebahagian seperti dalam bi dalam ayat wudhu’ فامسحوا برووسكم , seandainya bi dalam surat ini sama artinya dengan bi pada ayat wudhu’-yang menurut kebanyakan ulama berarti sebahagian- maka ayat ini menantang untuk membuat sebahagian surat saja. Atau bi yang dimaksud disini adalah pasangan kata kerja ataa, yang artinya membawa, seperti kata اتينى بأبيك yang berarti “ bawalah ayahmu kemari”.
d. al-Baqarah : 24 (Madaniyah)
و إنكنتم فى ريب مما نزلنا على عبدنا فأتوا بسورة من مثله و ادعوا شهداءكم من دون الله إتكنتم صادقين ( البقرة : 24 )
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Alquran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal dengan Alquran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.( al-Baqarah: 24 )
Nazzala berarti menurunkan, bendanya dengan anzala adalah yang pertama menunjukkan penurunan secara periodik sedangkan yang kedua berarti penurunan sekaligus. [34] suroh berarti seperti yang kita kemukakan diatas, akan tetapi masih menurut Az-az-Zamakhsyari bahwa surah disini berarti bagian dari Alquran minimal terdiri dari tiga ayat,[35] pendapat ini bisa diterima karena memang ayat ini turun di Madinah yang kemungkinan besar sudah ada satu surah penuh yang sudah turun.
Kata Min mitslihi diartikan oleh mayoritas ulama dengan “yang serupa dengan Alquran itu”, tapi tidak sedikit juga yang menganggap bahwa domir hi dikembalikan kepada Muhammad, karena memang disini sudah ada kata yang merujuk kepada Muhammad yaitu abdina. Mufassir yang berpendapat bahwa domir ini bisa dikembalikan kepada Muhammad adalah seperti Abu Bakar Jabbar yang mengatakan “seperti Muhammad dengan keummiyannya” dan az-Zamakhsyari,[36] sedangkan mufassir yang mengatakan sebaiknya domir ini dikembalikan kepada Alquran adalah seperti Alauddin Ali Al-Khozin.[37] Kami lebih cendrung dengan pendapat ini karena penisbatan yang langsung kita fahami tentu saja kepada Alquran.
Syuhada berarti penolong-penolong, termasuk tuhan-tuhan yang mereka anggap bisa menolong mereka pada hari Kiamat, termasuk juga dengan berhala-berhala yang mereka sembah, penafsiran seperti ini akan terlihat bagus jika kita mengkaitkannya dengan ayat sesudahnya
فإنلم تفعلوا و لن تفعلوا فاتقوا النار التى وقودها النلس و الحجارة أعدت للكافرين ( البقرة : 25 )
Maka kamu tidak dapat membuatnya dan pasti kamu tidak akan dapat membuatnya, peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir (al-Baqarah : 25 )
Kata al-hijaroh disini menurut sebagian ulama berarti berhala-berhala yang rata-rata dibuat dari batu.[38]
Menurut Sayyid Qutub bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Yahudi Madinah yang sebenarnya telah mengetahui kebenaran Alquran, dan juga tentang munafik Mekkah yang selalu merongrong Islam dari dalam.[39] Sedangkan Az-Zmakhsyari mengatakan bahwa yang ditantang pada ayat ini adalah orang musyrik (tanpa keterangan apakah musrik Madinah atau Mekkah atau Yahudi), lebih lanjut ia menafsirkan ayat ini, bahwa orang-orang musyrik yang tidak mempercayai kebenaran Alquran berkata ”seandainya memang Alquran itu mu’jizat kenapa tidak diturunkan sekaligus saja” seperti yang difirmankan Allah dalam surah al-Furqan ayat 32. lalu Allah menantang mereka untuk membuat sedikit saja yang sama dengan Alquran.[40]
Sedangkan kandungan ayat sesudahnya, para ulama setuju bahwa ayat ini menjamin bahwa tantangan ini tidak akan terlaksana hingga kapanpun. Firman Allah itu berarti:” apabila kalian tidak bisa membuatnya berarti telah jelas kesucian Alquran maka ia pantas diimani dan dipercaya sebagai mu’jizat Nabi, kalau kalian masih menolak maka takutlah kepada api neraka yang sangat bergejolak, api yang tidak sama dengan api dunia yang menyala dengan manusia dan batu sebagai kayu bakarnya”[41]
Mereka yang tidak mempercayai kemu’jizatan Alquran ternyata hingga sekarang tidak bisa meladeni tantangan itu. Sedangkan para Quraysy yang telah ditantang oleh Allah tidak bisa membuat tandingan Alquran karena beberapa hal:[42]
kefasihan mereka dalam berbicara hanya dalam menyifati atau menjelaskan tentang sesuatu yang kasat mata, seperti wanita, unta dan lain-lain ,sementara Alquran datang dengan hal-hal baru yang belum pernah dilihat oleh mata. kefasihan Alquran tidaklah dalam sebagian ayatnya saja tapi seluruh kata yang ada didalamnya adalah fasih, sementara para Quroysy hanya bisa membuat sebagian dari gubahannya yang bisa dikatakan fasih dan indah. bagaimanapun mereka tentu tidak sanggup untuk mebuat syair sebanyak Alquran.
Alquran dengan keindahan, fashohah, balaghah, badinya tidaklah menggunakan kata-kata yang membesarkan-besarkan fakta untuk memperindah redaksinya, sedangkan syair-syair orang Arab harus menggunakan hal-hal semacam itu.
Bila kaum Quraysy hanya ditantang untuk membuat tandingan Alquran hanya dari segi keindahan bahasanya saja-karena memang pada saat itu mereka baru memahami keindahan bahasanya saja- maka tantangan itu sekarang bertambah dengan segala aspek I’jaznya, baik bahasa, isi, keabadian, kekuatannya membangkitan minat orang untuk berfikir dan lain sebagainya.
II. Urutan dan Tingkatan Ayat
Sebelumnya kita perlu mengaskan kembali makna ayat-ayat diatas hingga kita bisa mengkategorikan dan mengkelaskan ayat-ayat diatas, dan setelah itu kita akan membahas tentang urutan turunnya ayat-ayat diatas. Kata bi haditsin mitslihi yang ada pada surah At-at-Thur bila diterjemahkan sebagai keseluruhan Alquran pada masa itu, seperti yang ditafsirkan oleh Manna Qaththan, az-Zamakhsyari, Alauddin Ali dan Sayyid Qutub,[43] maka ayat ini berada pada tingkatan pertama, atau dengan kata lain inilah tantangan pertama. Tapi bila diartikan dengan “perkataan” yang maksudnya, perkataan yang tidak mesti mirip sekali dengan Alquran maka ayat ini berada pada tingkatan terkahir setelah al-Baqarah.
Tantangan kedua turun setelah ternyata mereka tidak sanggup membuat seperti Alquran “seluruhnya”, maka cukuplah dengan sepluh surat saja. Dengan begitu surah Hud ayat 12 adalah yang turun setelah surah At-at-Thur. Tapi bila kita mengartikan surah at-Thur seperti dengan penafsiran kedua maka surah Hud ini adalah yang pertama. Yang turun setelahnnya adalah surat Yunus ayat 38, yang menyuruh membuat satu surat saja dan itupun dengan menambahi kata bi, yang bisa saja berarti sebahagian.
Kemudian disusul dengan surah al-Baqarah ayat 24, yang berisi tantangan untuk membuat sebagian kecil saja dari satu surat Alquran. Penafsiran ini seperti ini adalah penafsiran Zamkhsyari. Menurut kami memang kata bi dan min yang ada pada ayat ini menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah sesuatu yang lebih sedikitadan lebih kecil dari surah Yunus ayat 38.
III. Urutan Turunnya Ayat
Informasi tentang sebab dan waktu turunya ayat sangatlah sedikit, beberapa literatur yang membahas tentang asbabun nuzul dan sejarah turunnya Alquran tidak mencantumkan keempat ayat ini.
Tapi bila kita melihat kepada urutan turunnya keempat ayat diatas berdasarkan surahnya maka bisa dikemukakan sebagai berikut:
Versi Ibn Abbas dan Al-kafi : Yunus (Makkiyah) merupakan surah yang pertama turun, surah ini berada pada urutan ke 50, disusul kemudian dengan surah Hud (Makkiyah) yang turun pada urutan ke 51, selanjutnya At-at-Thur (Makkiyah) pada urutan ke 75. barulah al-Baqarah (Madaniyah) urutan ke 1[44]
Versi Al-Hasan dan Ikrimah : Yunus (Makkiyah) urutan ke 50, Hud (Makkiyah) urutan ke 48, at-Thur (Makkiyah) urutan ke 73, dan al-Baqarah (madaniyah) urutan ke 2.[45]
Sarjana Barat Weil membaginya dengan lebih rinci: At-at-at-Thur (urutan ke 42) turun pada priode Mekkah awal. Kemudian disusul priode mekkah Akhir yaitu Yunus (urutan 7) dan Hud (urutan 8), dan kemudian al-Baqarah (urutan pertama) di priode Madinah.
Pencarian waktu turunnya ayat ini dengan mencari urutan turunya surah tidaklah efektif, karena wahyu yang turun merupakan unit dan kesatuan tanpa berurutan satu surah seperti yang ada pada mushaf sekarang ini. Seharusnya memang harus dicari urutan turunnya unit kesatuan wahyu, akan tetapi para ulama ilmuwan biasanya hanya mencantumkan urutan turunnya surat, karena urutan turunnya kesatuan wahyu sangat sulit didapat informasinya.
Ada satu ilmuwan yang membuat terobosan baru dengan mengedepankan tata urut turunnya unit wahyu yang terperinci, yaitu Hartwig Hirschfeld dengan penelitiannya yang berjudul New Research in to Composition And Exegesis of the Qur’an. Dalam informasi yang ia kemukakan kami mengurutkan keempat ayat ini, ayat mana yang pertama turun. Menurutnya unit surah at-Thur ayat 29-49 merupakan yang pertama turun yaitu pada priode konfirmatori, yakni setelah Muhammad diangkat jadi Nabi dan sebelum turun perintah berdakwah. Kemudian unit surah Yunus ayat 1-57 pada priode deklamatori dan deskriftif, yakni setelah turunnya ayat suruhan berdakwah (setelah Muhammad diangkat jadi Rasul), yang kemudian disusul dengan unit Surah al-Baqarah ayat 19-37, sebelum terjadinya perang Badar. Sayangnya ia tidak mendapatkan informasi tentang surah Hud, tapi dengan melihat matannya maka kemungkinan besar ayat itu turun sebelum unit surah Yunus 1-57. Meskipun menurut Taufiq Adnan Amal, banyak terjadi kesalahan dalam pembahasan Hartwig tapi apa yang dikritik oleh Taufiq bukanlah dalam ketiga unit ayat tersebut. [46]
Informasi yang dipaparkan oleh Hartwig ini sangat sinkron sekali dengan pendapat kebanyakan para Ulama yang mengurutkan Surah at-Thur pada urutan pertama yang disusul dengan surah Hud dan kemudian Surah al-Baqarah yang memang diturunkan berkenaan dengan Yahudi Madinah.
Akhirnya dapat kita simpulkan bahwa aspek-aspek yang merupakan tantangan bagi kaum Quraysy pada saat turunnya keempat ayat tersebut adalah aspek bahasa. Sedangkan bila tantangan itu diaplikasikan pada masa sekarang ini maka tentu seluruh aspek kemukjizatannya harus dipenuhi.
Menurut kebanyakan para ulama dan sarjana-sarjana Muslim maupun non Muslim, surah At-at-Thur ayat 34 merupakan tantangan pertama, untuk membuat seprti Alquran secara keseluruhan, yang disusul dengan surah Hud ayat 13 dengan sepuluh surat saja, dan surah Yunus ayat 37 dengan satu surat yang kemudian diulangi pada surat al-Baqarah dengan tingkat kemiripan yang lebih sedikit dari tantangan pada surah Yunus.
Tapi bila dilihat susunan surah berdasarkan Mushaf Utsmani, maka urutannya tidaklah seperti yang diatas, hikmah penyususnan surat-surat seperti dalam Mushaf Utsmani dalam kaitannya dengan urutan tantangan ini belum penulis temui dalam beberapa literatur. Begitu juga dengan waktu jeda satu ayat dengan ayat lainnya, karena disamping untuk mencari jarak waktu turunnya yang sangat sulit, mencari urutan turunnya unit ayat orisinal saja sangat susah untuk didapatkan.
Selanjutnya juga bila kita memperhatikan dan membandingkan empat ayat diatas dalam redaksi Alquran terjemahan Departemen Agama, kita akan menemukan ke-tidakjelasan perbedaajn arti antara surah al-Baqarah ayat 24 dengan surah Yunus ayat 38. para penerjemah yang bekerja di bawah koordinasi Departmen Agama ini tidak memberikan arti yang begitu berbeda antara kedua ayat tersebut. Kaladu dalam surah al-Baqarah dikatakan: buatlah satu surah saja yang semisal Alqur’an itu”, sementara dalam surah Yunus diartikan:”maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya”. Kita tidak bisa membedakan yang mana yang merupakan tantangan yang paling berat diantara kedua surah ini jika hanya berpegangan kepada Alquran terjemahan Depratemen Agama.
No comments:
Post a Comment