Tentang Filsafat
SEJARAH MASUKNYA FILSAFAT KEDALAM ISLAM
Transkrip Kajian “Bahaya Filsafat” Ustadz Ja’far Umar Thalib
Filsafat. Yang terbayang dipikiran adalah Aristoteles, Socrates, Plato, lalu patung manusia dalam keadaan berpikir/merenung plus ungkapan “Aku berpikir maka aku ada”. Bagaimana filsafat bisa masuk dan meracuni Islam? Begini ceritanya :
KETIKA MASA BANI UMAYAH
Pada Masa Bani Umayah bangsa arab ketika itu bersikap keras terhadap orang orang ‘Ajm (non arab) yang ketika itu kebanyakan dari mereka adalah budak dari negeri yang diduduki tentara muslim. Paling banyak ketika itu adalah orang orang Persia dan Romawi. Mereka punya sejarah masa lalu yaitu filsafat yang sangat mereka agungkan. Agama mereka dibangun diatas dasar falsafah yakni agama yang dibangun hasil dari pikiran dan perasaan, dan gabungan keduanya diolah sedemikian rupa kemudian di suguhkan dalam bentuk yang menipu mereka.
Dua bangsa ini bisa dikatakan bangsa yang dibesarkan oleh filsafat. Filsafat Persia dan Filsafat yunani. Dua duanya mempunyai latar belakang sendiri-sendiri. Dan ternyata keduanya bersatu dalam hal paganisme. Keduanya adalah kaum paganisme yang menyembah berhala. Kalau orang yunani menyembah bintang bintang dilangit, kalau Persia mereka menyembah api. Mereka bahwa alam ini adalah kekekalan. Mereka yakin bahwa alam ini tidak diciptakan pihak manapun tetapi ia menciptakan dirinya sendiri, yang azali (tak bermula) dan abadi (tak berakhiran). Dua bangsa ini menjepit kedudukan posisi dari bangsa arab yang darinya muncul manusia paling mulia, penutup para nabi yang Allah mengkehendaki dari agama nabinya (Islam) itu menjadi agama yang besar.
Ketika Islam ini baru dikenal dalam lingkungan yang kecil, maka lingkungan kecil ini merasa terancam dengan keberadaan agama ini. Setelah lingkungan kecil ini dengan hidayah dan pertolongan dari Allah berhasil ditundukkan kepada agama Allah, maka lingkungannya pun semakin besar. Lalu dua bangsa besar, Romawi dan Persia pun merasa terancam dan senantiasa mereka membuat makar untuk mengubur Islam di negeri asalnya sebelum menyebar di tempat lain. Namun Allah telah berjanji, bahwa agama ini akan Dia menangkan atas agama agama lainnya dan Allah tidak akan menyalahi janjinya.
Kembali ke Bani Umayah, mereka memiliki sikap yang keras terhadap bidah, syirik dan kufur dan tidak boleh turun temurun khilafah mengangkat pejabat dari orang orang ‘ajm (non arab) karena kekhawatiran kalau kalau pemahaman para tokoh tokoh zindiq dan kufur itu meracuni pemahaman kaum muslimin.
KETIKA ZAMAN BANI ‘ABBASIYAH
Lalu datanglah zaman ‘Abbasiyah, yang pada masa ini mereka merasa bahwa orang orang yang berjasa terhadap berdirinya orde abbasiyyah adalah orang orang ‘ajm, dan mereka cenderung curiga kepada orang orang arab. Maka Allah pun menaqdirkan apa yang dikehendaki-Nya. Hal ini ternyata menjadi pintu masuk yang besar bagi masuknya pejabat pejabat non arab. Bahkan ketika masa pemerintahan Harun AlRasyid, ‘menteri’ keuangannya adalah seorang yang beragama majusi.
Sampai kemudian datang, semacam ‘menristek‘ (demikian ustadz Ja’far menyebutnya) Yahya ibn Khalid al-Barmaki, seorang Parsi dari Persia dan seorang zindiq yang merupakan pengagum filsafat yunani. Karena dia adalah seorang pejabat negara, maka ia mengajukan agar diberikan dana yang besar sebesar dana untuk urusan militer. Belum sempat khalifah Harun Al Rasyid mengganti beliau, beliau meninggal dunia. Lalu kekalifahan pun diganti oleh Al Amin dan di ganti lagi, oleh adiknya Al Amiin, putra Harun Al Rasyid hingga datang khalifah yang kurang amanah.
KERUSAKAN DIMULAI
Selanjutnya, orang ini, Yahya ibn Khalid al-Barmaki terus mendapatkan dana yang besar beliau, mengerahkannya, mengirim para ilmuan ilmuan peneliti bidang filsafat keberbagai negeri asal yunani kuno hingga mereka menemukan suatu negeri yang dikatakan bahwa disitu terdapat bangunan tertutup tembok tebal, tanpa pintu, dan secara turun temurun orang orang romawi disekitarnya sepakat untuk tidak akan membuka bangunan itu.
Didalam bangunan itu kabarnya, ketika mereka menguasai kota Athena, mereka mendapati kitab kitab warisan dari kerajaan Alexander The Great yang perdana menterinya adalah seorang zindiiq yaitu Aristoteles, muridnya Plato, muridnya Socrates. Tapi disini Aristoteles kemudian mengembalikan pikiran Socrates yang hampir mencocoki tauhid Asma’ wa Shifat yang ada di kalangan para Nabi dan Rasul, kepada Agama Paganisme Yunani.
Maka kitab kitab itu dikumpulkan oleh tentara Romawi karena para uskub2 ketika itu menganggap kalau bangsa romawi membaca kitab ini, maka mereka akan meninggalkan agama nashoro dan menjadi Atheis. Maka mereka kumpulkan kitab itu didalam bangunan tersebut. Demikianlah Allah taqdirkan mereka mengumpulkannya, tidak membakarnya, ditutup dengan bangunan saja. Dan Yahya ibn Khalid al-Barmaki mengirim orang hingga ke bangunan itu dan melakukan negosiasi kepada pejabat romawi dalam rangka persahabatan kenegaraan, maka diizinkanlah untuk membongkar bangunan itu, untuk meminjam isinya.
Akhirnya raja mengumpulkan para uskub dan bermusyawarah pada mereka, dan mereka bersepakat. Salah seorang uskub berkata,
“Wahai raja, bagaimana kalau tidak usah di pinjamkan.. tapi diberikan saja sebagai hadiah kepada mereka jika mereka menyukainya. Sesungguhnya tidaklah masuk kitab kitab itu ke suatu negeri melainkan akan hancurlah negeri itu karena kitab kitab itu..”
Maka gembiralah raja dengan usulan salah seorang ‘uskub’ disitu. Maka diputuskanlah untuk memberikan kitab tersebut secara cuma cuma.
Maka diambilah oleh Yahya ibn Khalid al-Barmaki ke Baghdad, dan dilakukan penerjemahan kitab kitab tersebut kedalam bahasa arab secara besar besaran. Dan disitulah dimulai berbagai kerusakan kerusakan.
KERUSAKAN YANG TAK TERBENDUNG
Sebenarnya, Berbagai bibit bid’ah sudah muncul sejak zaman Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam. Misalnya bid’ah khawarij yang sudah muncul sejak beliau masih hidup. Nenek moyangnya yang berkata “Wahai Muhammad, adillah, sesungguhnya kau tidak berbuat adil.. ” “Kalau aku dikatakan tidak adil, maka siapakah lagi yang adil dimuka bumi ini…” Akan keluar dari dia bibit bibit. Ibadahnya dibandingkan dirimu tidak ada apa apanya. Lalu muncul bid’ah rofidhoh di zaman ‘Ali.. maka mereka mereka ini ibaratkan api di dalam sekam. Tidak padam dan terus bergerak. Namun di zaman itu, mereka berhasil dipukul mundur.
Namun di zaman abasiyyah ini, zaman Yahya ibn Khalid al-Barmaki, mereka bagaikan ledakan penyakit yang dasyad seolah-olah mereka mendapatkan hujjah untuk membela bidahnya masing masing. Bahkan beliau (yahya) sebagai seorang tokoh intelektual Islam yang sangat berjasa untuk membangkitkan kembali filsafat yunani kuno yang telah di kubur di negerinya, sehingga seolah-olah ia menjadi mujaddid dikalangan mereka.
Muncul setelah itu Al Farabi, dan seterusnya..
TENTANG AGAMA FILSAFAT
Semuanya sampai pada satu kesimpulan, bahwa kelimpahan hikmah yang paling agung, akal inilah sumber kebenaran. Oleh sebab itu, semua harus tunduk kepada akal, demikianlah itiqod(keyakinan) mereka.
Hujjahnya adalah qiyas (analogi) untuk mengqiyaskan perkara gaib, dengan perkara haadir (perkara yang dapat dicapai dengan panca indra). Sehingga mengukur perkara ghaib dengan perkara yang tampak (haadhir).
Selanjutnya, pengenalan kepada sifat sifat Allah menjadi rusak. Mereka lalu mengukur sifat-sifat Allah berdasarkan sifat sifat makhluq, meng-qiyaskan dan menyerupakan Allah dengan makhluk, menganggap adanya unsur keserupaan antara mereka, sehingga muncul pengingkaran terhadap sifat sifat Allah, dan meyakini bahwa sifat sifat Allah serupa dengan makhluk. Ifrot(melampaui meyakini sifat sifat Allah dengan makhluq hingga mengingkari sifat2 Allah) dan tafrid (melampaui batas dalam pengingkaran, meremehkan hingga mengingkari seluruh sifat sifat Allah..).
Dalilnya agama filsafat ini adalah qiyas. Akhlaqnya adalah perdebatan dengan prinsip objektivitas.
Bahwa
“… Jika kamu ingin objektif, maka kamu harus tidak terlibat sama sekali dengan keyakinan itu kemudian kamu menilainya.. baru kamu bisa objektif. jika kamu masih memiliki keyakinan terhadap perkara itu, maka kamu akan selalu subjektif …”
Thus,
“… Jika kamu ingin objektif terhadap Islam, maka kamu harus tidak mempunyai keterlibatan apa apa dengan Islam. Kemudian kamu menilai dari luar Islam, apakah Islam itu benar atau tidak, setelah itu baru kamu bisa objektif. Jika orang Islam tidak mungkin bisa menilai Islam karena mereka tidak mungkin keluar dari Islam. Maka yang paling objektif menilai Islam adalah orang non muslim …”
Ibadah mereka adalah tafakkur dan takhayyun.. merenung dan merenung yang sesungguhnya ini adalah upaya setan untuk menimbulkan angan-angan kepada mereka, seolah-olah kalau dia menilai sesuatu betul-betul menilai dari dirinya sendiri, maka ini adalah merupakan kekuatan kepribadian, inilah kesempurnaan seseorang.
Hingga dia lebih senang menjadi pemikir, daripada menjadi seorang ‘aalim. Lebih bangga kalau yang dikemukakan adalah produk akalnya sendiri, terobosannya, untuk melakukan studi studi, dan menghasilkan produk hasil pikiran nya itu, dan menghasilkan ‘Kepastian kepastian rasional’ maka ia semakin hebat. Maka semakin dekat ia kepada Allah katanya. Inilah agama filsafat.
Dan kesudahan agama ini adalah Kebingungan. Tetapi mereka katakan kebingungan itu sebagai liberalisasi; membuka pintu ijtihad hingga mereka menyimpulkan, kebenaran adalah hal nisbi.. tidak ada yang mutlaq di alam nyata ini. Lingkaran setan terus saja menjebak mereka. Karena ‘gengsi’ mengakui kebingungan itu, mereka mengajak banyak orang kedalam kebingungan itu dengan istilah istilah mentereng, untuk menutup kebingungannya itu.
[Selesai Transkrip rekaman kajian ‘Bahaya Filsafat’ oleh ustadz Ja’far Umar Thalib]
Sumber : irilaslogo.wordpress.com
Tentang Filsafat (2) – Bahaya Filsafat Ilmu Sekuler
HATI-HATI BELAJAR FILSAFAT ILMU SEKULER
Oleh : Dr. Adian Husaini
Di berbagai perguruan tinggi, khususnya di tingkat Pasca Sarjana, para mahasiswa biasanya diajarkan mata kuliah “Filsafat Ilmu”. Sejauh ini, sudah banyak diterbitkan buku tentang Filsafat Ilmu. Sayangnya, kuatnya dominasi sekularisme (yang menolak campur tangan agama) dalam bidang keilmuan kontemporer turut berpengaruh dalam perumusan konsep Filsafat Ilmu yang diajarkan di perguruan tinggi saat ini. Beberapa kutipan isi buku Filsafat Ilmu berikut ini bisa disimak.
Sebagai contoh, sebuah buku yang sangat terkenal berjudul “Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer”, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995, cetakan kesembilan), mengutip pendapat Auguste Comte (1798-1857) yang membagi tiga tingkat perkembangan pengetahuan manusia, yaitu religius, metafisik, dan positif. Selanjutnya, diuraikan:
“Dalam tahap pertama maka asas religilah yang dijadikan postulat ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran dari ajaran religi. Tahap kedua orang mulai berspekulasi tentang metafisika (keberadaan) wujud yang menjadi objek penelaahan yang terbebas dari dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan di atas dasar postulat metafisik tersebut. Sedangkan tahap ketiga adalah tahap pengetahuan ilmiah, (ilmu) dimana asas-asas yang dipergunakan diuji secara positif dalam proses verifikasi yang obyektif.” (Hal. 25)
Karakteristik berpikir “filsafat” dijelaskan dalam buku ini, yaitu : Pertama, menyeluruh; kedua, mendasar; ketiga, spekulatif. Tentang bidang telaah filsafat, ditulis dalam buku ini : “Selaras dengan dasarnya yang spekulatif, maka dia menelaah segala masalah yang mungkin dapat dipikirkan oleh manusia. Sesuai dengan fungsinya sebagai pionir dia mempermasalahkan hal-hal yang pokok: terjawab masalah yang satu, dia pun mulai merambah pertanyaan lain.” (hlm. 23-25).
Ada lagi sebuah buku berjudul “Filafat Ilmu” yang disusun Tim Dosen Filsafat Ilmu sebuah Universitas terkenal di Yogyakarta (1996, cetakan pertama). Ditulis dalam pendahuluan buku ini:
“Ada beberapa pendekatan yang dipilih manusia untuk memahami, mengolah, dan menghayati dunia beserta isinya. Pendekatan-pendekatan tersebut adalah filsafat, ilmu pengetahuan, seni, dan agama. Filsafat adalah usaha untuk memahami atau mengerti dunia dalam hal makna dan nilai-nilainya. Filsafat berusaha untuk menyatukan hasil-hasil ilmu dan pemahaman tentang moral, estetika, dan agama. Para filsuf telah mencari suatu pandangan tentang hidup secara terpadu, menemukan maknanya serta mencoba memberikan suatu konsepsi yang beralasan tentang alam semesta dan tempat manusia di dalamnya. (Yogyakarta: Liberty, 1996), hlm. 1)
***
Itulah beberapa contoh materi kuliah Filsafat Ilmu yang diajarkan kepada para mahasiswa. Jika ditelaah beberapa uraian pada dua buku “Filsafat Ilmu” tersebut, akan dijumpai problematika yang serius.
Teori positivisme Comte – dalam perspektif Islam – jelas sangat bermasalah. Sebab, ia meletakkan agama sebagai jenis pengetahuan yang paling primitif dan akan punah saat manusia memasuki era positivisme atau empirisisme, dimana yang diakui sebagai ilmu hanyalah pengetahuan yang didapat dari panca indera manusia. Teori Comte ini pun sekarang tak terbukti. Sebab, manusia –di Barat dan di Timur– di tengah perkembangan yang fantastis dari sains dan teknologi tetap memegang kepercayaan pada hal-hal yang metafisik dan juga agama. Di negara-negara Barat sendiri, banyak manusia percaya kepada “dukun ramal” (fortune teller).
Juga, faktanya, saat ini, dunia ilmu pengetahuan pun sudah menerima kebenaran di luar positivisme. Seorang mahasiswa tidak mungkin mengklarifikasi semua pernyataan keilmuan yang diajarkan kepadanya oleh dosennya. Misalnya, saat dosen menjelaskan, bahwa kecepatan cahaya adalah sekitar 270.000 km/detik, maka si mahasiswa hanya diminta untuk percaya, tanpa perlu membuktikan secara empiris. Ketika si dosen menjelaskan, bahwa suatu rumus adalah rumus buatan Phytagoras, maka si mahassiwa juga harus percaya saja, dan tidak mungkin membuktikan secara empiris.
Bahkan, seorang Profesor filsafat akan puas menjadi “muqallid” (pentaqlid); hanya percaya saja kepada segala macam penjelasan pramugari, saat bepergian menggunakan pesawat terbang. Ia begitu mudah percaya kepada orang yang mungkin sama sekali tidak pernah dikenalinya. Ia percaya kepada orang yang dikatakan sebagai pilot, meskipun ia sama sekali tidak kenal. Sang profesor tadi juga tidak minta pembuktian, apa benar pilot pesawat itu, benar-benar seorang pilot. Ia hanya percaya pada cerita orang yang mungkin tak dikenalnya. Alhasil, si professor menerima “kebenaran ilmiah”, bukan berdasarkan metode empiris, tetapi menerima kebenaran ilmiah dari jalur pemberitaan. Inilah yang dalam konsep epistemologi Islam disebut sebagai jalur kebenaran ilmiah melalui “khabar shadiq” (true report).
Bagi seorang Muslim, pengetahuan yang didapat dari jalur khabar shadiq ini juga merupakan ilmu. Sebab, ia diperoleh dari sumber-sumber terpercaya, semisal al-Quran dan hadits Nabi Muhammad SAW. Ilmu yang diraih dari jalur khabar shadiq ini juga diterima secara universal. Misal, dalam soal pengakuan anak terhadap kedua orang tuanya. Sangat jarang terjadi, ada anak yang meminta pembuktian secara rasional dan empiris berkenaan dengan status hubungannya dengan kedua orang tuanya. Misalnya, anak meminta bukti ilmiah berupa tes DNA. Kita biasanya menerima saja cerita-cerita dari orang yang kita percayai, bahwa orang tua kita adalah A dan B. Pengetahuan semacam ini – dalam konsep epistemologi Islam – juga disebut sebagai “ilmu”, yang juga diraih dengan metode ilmiah.
Karena itu, dalam perspektif Islam, tidaklah tepat jika dikatakan, suatu ilmu hanya dapat diraih dari metode empiris dan rasional. Pengetahuan tentang Allah, tentang para Nabi, tentang akhirat, tentang keutamaan bulan Ramadhan, keutamaan ibadah haji, dan sebagainya, juga dikatakan sebagai “ilmu” sebab didapatkan dari sumber-sumber terpercaya (khabar shadiq), meskipun hal itu di atas jangkauan akal (supra rasional). Masalah “cara-cara meraih ilmu” (epistemologi) saat ini telah banyak dibahas oleh para pakar keilmuan Islam.
Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, Direktur Center for Advanced Studies on Islam, Science, and Civilization — Universiti Teknologi Malaysia, dalam makalahnya yang berjudul Konsep Ilmu dalam Tinjauan Islam, menjelaskan, bahwa dalam Tradisi Islam, ilmu pengetahuan tiba melalui pelbagai saluran, yaitu pancaindera (al-hawass al-khamsah), akal fikiran sihat (al-’aql al-salim), berita yang benar (al-khabar al-sadiq), dan intuisi (ilham).
Tentang akal fikiran sehat, Prof. Wan Mohd Nor menjelaskan, bahwa aspek akal manusia merupakan saluran penting yang dengannya diperoleh ilmu pengetahuan tentang sesuatu yang jelas, yaitu perkara yang dapat difahami dan dikuasai oleh akal, dan tentang sesuatu yang dapat dicerap dengan indera.
Akal fikiran (al-’Aql) bukan hanya rasio. Akal adalah “fakultas mental” yang mensistematisasikan dan mentafsirkan fakta-fakta empiris menurut kerangka logika, yang memungkinkan pengalaman inderawi menjadi sesuatu yang dapat difahami. Akal adalah entitas spiritual yang rapat dengan hati (al-qalb), yaitu menjadi tempat intuisi. Dengan demikian, akal adalah perantara yang menghubungkan akal-fikiran dengan intuisi.
“Oleh sebab itu, sesiapa yang membatasi fungsi akal-fikiran sebagai aspek yang rasional dan dapat dicerap oleh indera, maka ia telah menyelewengkan akal fikiran daripada kualiti yang sebenarnya dan, dengan demikian, menjadikan akal fikirannya tidak sEhat. Perlu diketahui bahwa hati yang dikatakan sebagai sumber intuisi bukanlah hati fisik, melainkan realiti yang terdapat di alam roh yang menggunakan semua daya yang lain sebagai instrument,” tulis Prof. Wan Mohd Nor.
‘Berita yang benar’, jelas Prof. Wan Mohd Nor, adalah sumber lain ilmu pengetahuan yang terdiri daripada dua jenis. Jenis yang pertama adalah berita yang terbukti secara terus-menerus dan disampaikan oleh mereka yang kebaikan akhlaknya tidak mengizinkan akal fikiran kita untuk membayangkan bahwa mereka akan melakukan dan menyebarkan kesalahan. Hadis mutawatir adalah contoh yang sangat tepat tentang jenis berita ini. Kesepakatan umum para ahli, ilmuwan, dan sarjana juga dianggap sebagai bagian daripada jenis ini. Meskipun memiliki autoriti, kesepakatan tersebut masih dapat dipersoalkan menurut kaedah rasional dan empirikal, sebagaimana yang terjadi dalam kes laporan sejarah, geografi, dan sains. Jenis yang kedua adalah berita mutlak, yang dibawa oleh Nabi berdasarkan wahyu.
Demikian paparan Prof. Wan Mohd Nor tentang sumber-sumber ilmu dalam Islam, yang tidak membatasi hanya dari sumber panca indera (empiris) dan akal (rasional). Pandangan Islam tentang sumber ilmu – yang bisa disebut sebagai metode ilmiah – ini berbeda dengan penjelasan pada sebagian buku Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian sekular yang membatasi kategori “ilmiah” hanya pada hal-hal yang rasional dan empiris. (Dikutip dari Makalah yang pernah dibentangkan oleh Prof Wan Mohd Nor Wan Daud saat bertindak sebagai Pembicara Utama dalam Workshop Dasar-Dasar Epistemologis Dalam Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi, Universitas Muhamadiyah Yogyakarta, Indonesia, 11 April 2005. Dengan sedikit editing, makalah ini telah dipublikasikan di Jurnal Ta’dibuna, Jurnal Program Doktor Pendidikan Islam, UIKA Bogor, Nomor 2, Vol. I, 2012.)
****
Konsep ilmu dalam Islam itu berbeda dengan banyak buku Filsafat Ilmu yang kini diajarkan kepada para mahasiswa. Dalam buku “Filsafat Ilmu” yang telah disebut terdahulu, dinyatakan: “Dapat disimpulkan bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara konsisten dan kebenarannya telah diuji secara empiris. Dalam hal ini harus disadari bahwa proses pembuktian dalam ilmu tidaklah bersifat absolut. Ilmu tidak bertujuan untuk mencari kebenaran absolut melainkan kebenaran yang bermanfaat bagi manusia dalam tahap perkembangan tertentu.” (1995:131-132).
Jika konsep dan definisi “ilmu” itu diterapkan untuk Ilmu Ushuluddin, Ilmu Tafsir al-Quran, atau Ilmu Ushul Fiqih, maka akan menimbulkan kerancuan yang sangat serius. Sebab, pengetahuan bahwa Allah itu Satu adalah ilmu yang mutlak yang didasarkan pada sumber yang mutlak benar, yaitu al-Quran. Begitu juga ilmu tentang keharaman babi, zina, dan khamr, adalah ilmu yang mutlak juga.
Penafsiran bahwa Nabi Isa a.s. tidak wafat di tiang salib, juga merupakan ilmu yang mutlak benarnya, yang tidak akan berubah sampai Akhir Zaman.
Adalah sangat keliru jika orang belajar ilmu bukan untuk meyakini kebenaran suatu ajaran, atau bahkan tidak ditujukan untuk mengenal Tuhan yang sebenarnya. Prof. Wan Mohd Nor, dalam makalahnya yang dirujuk pada bagian terdahulu, menjelaskan, bahwa dari segi linguistik, perkataan ‘ilm berasal daripada akar kata ‘ain-lam-mim yang diambil daripada perkataan ‘alamah, yaitu “tanda, penunjuk, atau petunjuk yang dengannya sesuatu atau seseorang dikenal; kognisi atau label; ciri; petunjuk; tanda”. Dengan demikian, ma’lam (jamak: ma’alim) berarti “tanda jalan” atau “sesuatu yang dengannya seseorang membimbing dirinya atau sesuatu yang membimbing seseorang”. Seiring dengan itu, ‘alam juga dapat diartikan sebagai “penunjuk jalan”. Maka bukan tanpa alasan jika penggunaan istilah âyah (jamak: ayat) dalam al-Qur’an yang secara literal berarti “tanda” merujuk pada ayat-ayat al-Qur’an dan fenomena alam.
Demikian, penjelasan Prof. Wan Mohd Nor. Dan memang, kata ilmu, alam, dan ‘ilm (‘ilm dengan makna “yakin”), memiliki akar kata yang sama. Ini menarik, karena “alam” jika dipahami sebagai ayat Allah, maka akan menghasilkan ilmu yang mengantarkan manusia kepada keyakinan pada Allah SWT. Karena itulah, Allah SWT memperingatkan bahwa nanti di akhirat, neraka jahanam akan dijejali dengan manusia-manusia dan jin yang mereka memiliki mata tetapi tidak sampai dapat memahami ayat-ayat Allah; juga telinga dan akal mereka tak sampai mengantarkan mereka kepada pemahaman dan keimanan kepada Allah. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat. (QS al-A’raf: 179).
Orang yang berilmu diletakkan pada derajat yang tinggi, karena dengan ilmunya itu dia mengenal Tuhannya dan mengenal agama Tuhan yang sebenarnya. ”Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan demikian). Tiada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan (’ilm) kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) diantara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (QS 3:18-19).
Tentu, agar manusia menjadi mulia, tidak boleh ia sembarangan menerima ilmu. Ilmu-ilmu yang baiklah yang perlu dipelajari. Sebab, ilmu-ilmu yang baik itulah yang akan mengantarkan manusia kepada keimanan dan kebahagiaan. Sangatlah keliru, jika manusia justru bangga dengan ilmu yang mengantarkan kepada keraguan dan pengingkaran kepada al-Khaliq. Imam Malik rahimahullah berkata: “Haqqun ‘alaa man thalaba al-ilma an-yakuuna lahuu waqaarun wa-sakiinatun wa-khasyyatun.” (Orang yang mencari ilmu seharusnya memiliki sifat ketenangan, ketenteraman, dan rasa takut kepada Allah SWT). (Dikutip dari buku, Mengapa Saya Harus Mondok, terbitan Pesantren Sidogiri, Pasuruan, 1431 H).
Karena begitu penting dan strategisnya kedudukan ilmu dalam Islam, maka seyogyanya Perguruan Tinggi tidak lagi mengajarkan mata kuliah Filsafat Ilmu yang sekular, yang menafikan wahyu sebagai sumber ilmu. Kini, menjadi tugas berat dan mulia bagi para cendekiawan Muslim untuk merumuskan mata kuliah Filsafat Ilmu yang benar. Wallaahu a’lam bil-shawab.*/Jakarta, 11 Januari 2013
Penulis Ketua Program Doktor Pendidikan Islam – Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan [CAP] adalah hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com
Sumber : Lppimakassar.com
Tentang Filsafat (3) – Perlukah Belajar Filsafat?
APAKAH PERLU BELAJAR ILMU FILSAFAT?
(Soal-Jawab: Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII)
Pertanyaan :
Apakah diharamkan mempelajari ilmu filsafat secara mutlak atau masih ada perinciannya dalam masalah ini ?
Kami mendengar dari salah seorang dosen bahwa ilmu filsafat terbagi menjadi empat :
- Riyadhiyyat (Ilmu Hitung),
- Thabi’iyyat (Ilmu Pengetahuan Alam),
- Uluhiyyat (Ilmu Ketuhanan) dan
- Manthiq (Ilmu Logika).
Sudah banyak orang memperoleh manfaat melalui keberadaan ilmu riyadhiyyât dan ilmu thabi’iyyat. Sebagaimana para ulama Ushul juga telah merasakan manfaat dari ilmu manthiq.
Mohon dijelaskan …
Jawaban :
Ketika kami membicarakan tentang ilmu filsafat [ilmu jadal (metode perdebatan) dan ilmu manthiq secara mutlak], bukanlah ilmu riyadhiyyat (ilmu hitung) atau ilmu thabi’iyyat (pengetahuan alam) yang kami maksudkan. Akan tetapi, ilmu-ilmu ‘aqliyyat murni yang dikaitkan dengan syariat baik dalam masalah uluhiyyat maupun masalah lainnya yang telah dijelaskan oleh syariat.
Oleh karena itu, mengenai pembagian di atas, kami ingin mengatakan: Apakah hasil (buah) di balik pembagian tersebut? (Tidak ada, pent).
Saat ini saya jadi ingat ungkapan penulis as-Sullam Fi ‘Ilmil Manthiq. Dalam syair-nya, ia mengatakan tentang ilmu filsafat :
Ibnu Shalah dan Nawawi mengharamkannya..
Sebagian orang berkata seharusnya dipelajari..Pendapat yang shahih lagi kuat adalah..
Bolehnya perkara itu bagi orang yang ahli..Yang telah mendalami Sunnah dan al Qur’ân..
Supaya dapat petunjuk menuju kebenaran..
Melalui bait-bait syair di atas, seolah-olah orang yang mendalami al-Qur’an dan Sunnah belum mendapatkan hidayah menuju kebenaran. Belum dapat memperoleh hidayah kecuali dengan dukungan ilmu filsafat.
Tidak demikian adanya! Orang yang mendalami Sunnah tidak membutuhkan ilmu filsafat untuk menguasainya. Orang yang sudah mendalami Sunnah membutuhkan ilmu Ushul Fiqh, rumusan generasi Salaf dan ilmu musthalah hadits yang memuat ilmu riwayat, ilmu dirayah dan ilmu ri’ayah.
Tentang ilmu Manthiq ini, memang Ibnu Taimiyyah rahimahullah mendalami dan menulis di dalamnya. Namun, hal ini beliau lakukan supaya bisa menyanggah kaum Manthiqiyyin melalui ilmu mereka. Beliau menyebutkan ini dalam muqadimah kitab Dar‘u târudhil Aql bin Naql.
Ringkasnya, mempelajari ilmu filsafat dan manthiq bagi orang yang sudah mendalami al Qur’ân dan Sunnah untuk mencari tahu tentang kekeliruan-kekeliruan ilmu tersebut dan untuk menyanggah orang-orang yang membelanya, menurut kami tidak mengapa. Akan tetapi, bila ada sangkaan bahwa mempelajari al-Kitab dan as-Sunnah tidak berhasil kecuali dengannya, ungkapan ini mengandung pertentangan dengan firman Allah Ta’ala:
Sesungguhnya Al-Qur‘ân ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus. (Qs al-Isra‘/17:9)
Wallahu a’lam.
Syaikh ‘Ali bin Hasan al Halabi
Sumber : Majalah-assunnah.com
============================================================
MENYOAL ILMU KALAM DAN FILSAFAT
Assalamu’alaikum, apa yang dimaksud dengan ilmu kalam atau ilmu filsafat? Dan bagaimana hukum mempelajarinya? Jazakumullohu khairan.
[tiarxxxxxx@yahoo.com]
Jawab : Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh. Ilmu kalam adalah suatu ilmu yang membahas perkara tauhid dengan metodologi filsafat. Hukum mempelajari ilmu kalam ini haram karena berimplikasi kepada superioritas akal dan kesombongan intelektual. Dengan kata lain akal lebih dikedepankan daripada Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam memahami keberadaan Allah, perbuatan-Nya, nama-nama-Nya serta sifat-sifat-Nya yang Mahasempurna dan tidak serupa dengan-Nya sesuatupun.
Allah ta’ala berfirman:
يا أيها الذين آمنوا لا تقدموا بين يدي الله ورسوله واتقوا الله إن الله سميع عليم
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya, bertaqwalah kalian kepada Allah, karena sesungguhnya Dia Mahamendengar lagi Mahamengetahui.” [Al-Hujurat: 1]
Dalam konteks spesifikasi, ilmu kalam ataupun ilmu filsafat tidak mungkin diintegrasikan dengan ilmu agama, apalagi sampai dijadikan acuan dalam beragama. Berhubung metodologinya berbeda antara satu dengan yang lainnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam meletakkan satu prinsip dalam metodologi pemikiran ilmu-ilmu agama, sebagaimana sabda beliau:
و ما امرتكم به فأتوا منه مااستطعتم
“Apa yang aku perintahkan kepada kalian tentang suatu perkara, maka tunaikanlah dengan semampu kalian.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد
Beliau juga bersabda, “Barangsiapa yang beramal dengan satu amalan yang bukan dari ajaran kami, maka tertolak.” [Muttafaqun ‘alaihi – Al-Bukhari 2697 dan Muslim 3243]
Maka segala sesuatu yang tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam dalam perkara agama ini hukumnya tertolak, sesat dan batil. Lebih tegas lagi sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam:
“Barangsiapa yang menafsrikan Al-Qur’an dengan akal pikirannya semata, meskipun hasilnya kebetulan mencocoki kebenaran, maka dia tetap dikatakan salah (berdosa).” [HR. At-Tirmidzi]
Dikatakan berdosa karena metodologi atau cara pemahamannya yang salah, meskipun secara kebetulan hasilnya mencocoki kebenaran. Namun tidak berarti Islam datang untuk mengkarantinakan akal, akan tetapi meletakkan akal pada tempatnya sehingga dapat berfungsi secara proporsional.
Maka pantas jika para Ulama Salaf melarang kaum Muslimin mempelajari ilmu kalam karena dapat merusakkan akal dan agama seseorang. Di antaranya adalah Al-Imam As-Syaafi’i rahimahullah, beliau menyatakan:
“Sungguh seandainya salah seorang itu ditimpa dengan berbagai amalan yang dilarang oleh Allah selain dosa syirik, lebih baik baginya daripada ia mempelajari ilmu kalam.” [HR. Abu Nu’aim Al-Asfahaani dalam Hilyatul Awliyaa’ 9/111]
Beliau juga menyatakan, ‘Seandainya manusia itu mengerti bahaya yang ada pada Ilmu Kalam dan hawa nafsu, niscaya ia akan lari daripadanya seperti lari dari singa.”
Fikri Abul Hasan
Sumber : Madrasahjihad.wordpress.com
Tentang Filsafat (4) – Perusak Aqidah Islam
ILMU FILSAFAT, PERUSAK AQIDAH ISLAM
Sebagian ahlul ahwa wal bida’ (orang-orang yang dikendalikan oleh hawa nafsu dan pelaku bid’ah, golongan menyimpang dalam Islam) mengklaim bahwa ilmu-ilmu ilahi (akidah) itu masih ghâmidhah (kabur dan tak terpahami). Menurut mereka, tidak mungkin dimengerti kecuali melalui jalan ilmu manthiq dan filsafat. Bertolak dari sinilah kemudian mereka (kaum Mu’tazilah dan yang sepaham dengan mereka sampai era sekarang) mengadopsi ilmu filsafat untuk dijadikan sebagai perangkat pendukung untuk mendalami akidah Islam. [Tahâful Falâsifah 84. Nukilan dari Tanâquzhu Ahlil Ahwâ wal Bida’ fil ‘Aqîdah’ 1/103. Penulis menyertakan ilmu filsafat sebagai sumber pengambilan hukum kedelapan oleh kalangan ahli bid’ah]
ASAL MUASAL KATA FILSAFAT
Jelas-jelas kata filsafat bukan asli dari bahasa Arab. Apalagi dalam kamus syariat Islam. Ia berasal dari Yunani, negeri ‘para dewa’ yang disembah oleh manusia. Terbentuk dari dua susunan, filo yang bermakna cinta dan penggalan kedua sofia yang bermakna hikmah. Pengertian yang terbentuk dari paduan dua kata itu memang cukup menarik.
Sebagian mendefinisikan sebagai upaya pencarian tabiat (karakter) segala sesuatu dan hakekat maujûdât (hal-hal yang ada di dunia ini). Filsafat fokus pada pengerahan usaha dalam mengenali sesuatu dengan pengenalan yang murni. Apapun obyeknya, baik perkara ilmiah, agama, ilmu hitung atau lainnya. [Asbâbul Khatha` fit Tafsîr, DR. Thâhir Mahmûd Muhammad Ya’qûb 1/260]
Akan tetapi, perkara terpenting yang tidak boleh dilupakan, bahwa tempat asal lahirnya kata itu adalah negeri Yunani dan keyakinan kufur generasi pertama ahli filsafat yang menjadi rujukan filsafat dunia, sudah cukup bagi kaum Muslimin untuk berhati-hati dan mengesampingkannya dari tengah umat, karena berasal dari negeri dan kaum yang tidak beriman kepada Allâh, kaum yang menyembah ‘para dewa’. Kecurigaan terhadap output filsafat mesti dikedepankan. Doktor ‘Afâf binti Hasan bin Muhammad Mukhtâr penulis disertasi berjudul Tanâquzhu Ahlil Ahwâ wal Bida’ fil ‘Aqîdah’ menyatakan, dari sini menjadi jelas bahwa filsafat merupakan pemikiran asing yang bersumber dari luar Islam dan kaum Muslimin, sebab sumbernya berasal dari Yunani [At-Tanâquzh 1/103]
ILMU FILSAFAT TIDAK ADA DALAM GENERASI SALAFUL UMMAH
Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah menceritakan, “Orang-orang yang muncul setelah tiga masa yang utama terlalu berlebihan dalam kebanyakan perkara yang diingkari oleh tokoh-tokoh generasi Tabi’in dan generasi Tabi’it Tabi’in. Orang-orang itu tidak merasa cukup dengan apa yang sudah dipegangi generasi sebelumnya sehingga mencampuradukkan perkara-perkara agama dengan teori-teori Yunani dan menjadikan pernyataan-pernyataan kaum filosof sebagai sumber pijakan untuk ‘meluruskan’ atsar yang berseberangan dengan filsafat melalui cara penakwilan, meskipun itu tercela. Mereka tidak berhenti sampai di sini, bahkan mengklaim ilmu yang telah mereka susun adalah ilmu yang paling mulia dan sebaiknya dimengerti”. [Fathul Bâri (13/253)]
Karena itulah, kaum Mu’tazilah dan golongan yang sepemikiran dengan mereka tidak bertumpu pada kitab tafsir ma’tsur, hadits dan perkataan Salaf. Perkataan al-Hâfizh merupakan seruan yang tegas untuk berpegang teguh dengan petunjuk Salaf dan menjauhi perkara baru yang diluncurkan oleh generasi Khalaf yang bertentangan dengan petunjuk generasi Salaf. [Manhaj al-Hâfizh Ibni Hajar fil ‘Aqîdah, Muhammad Ishâq Kandu 3/1446]
Syaikhul Islam rahimahullah mendudukkan, bahwa penggunaan ilmu filsafat sebagai salah satu dasar pengambilan hukum adalah karakter orang-orang mulhid dan ahli bid’ah. Karena itu, terdapat pernyataan Ulama Salaf yang menghimbau umat agar iltizam dengan al-Qur`ân dan Sunnah dan memperingatkan umat dari bid’ah dan ilmu filsafat (ilmu kalam). [Majmû Fatâwa 7/119]
ULAMA BICARA TENTANG BAHAYA ILMU FILSAFAT
Melalui ilmu filsafatlah, intervensi pemikiran asing masuk dalam Islam. Tidaklah muncul ideologi filsafat dan pemikiran yang serupa dengannya kecuali setelah umat Islam mengadopsi dan menerjemahkan ilmu-ilmu yang berasal dari Yunani melalui kebijakan pemerintahan di bawah kendali al-Makmûn masa itu.
Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan, “Adapun sumber intervensi pemikiran dalam ilmu dan akidah adalah berasal dari filsafat. Ada sejumlah orang dari kalangan ulama kita belum merasa puas dengan apa yang telah dipegangi oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu merasa cukup dengan al-Qur`ân dan Sunnah. Mereka pun sibuk dengan mempelajari pemikiran-pemikiran kaum filsafat. Dan selanjutnya menyelami ilmu kalam yang menyeret mereka kepada pemikiran yang buruk yang pada gilirannya merusak akidah”. [Shaidul Khâthir hlm. 226]
Ketika orang sudah memasuki dimensi filsafat, tidak ada kebaikan sedikit pun yang dapat ia raih. Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Jarang sekali orang mempelajarinya (ilmu kalam dan filsafat) kecuali akan terkena bahaya dari mereka (kaum filosof)”. [Fadh ‘Ilmis Salaf ‘ala ‘Ilmil Khalaf hlm. 105]
Karena itu, tidak heran bila Ibnu Shalâh rahimahullah memvonis ilmu filsafat sebagai biang ketololan, rusaknya akidah, kesesatan, sumber kebingungan, kesesatan dan membangkitkan penyimpangan dan zandaqah (kekufuran). [Fatâwa wa Rasâil Ibni ash Shalâh 1/209-212. Nukilan dari Asbâbul Khatha` fit Tafsîr 1/266]
Begitu banyak ungkapan Ulama Salaf yang berisi celaan terhadap ilmu warisan bangsa Yunani ini dan selanjutnya mereka mengajak untuk berpegang teguh dengan wahyu.
AL-QUR’AN DAN SUNNAH SUMBER PENGAMBILAN AQIDAH
Kebenaran dengan segala perangkatnya telah dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selanjutnya, tanggung jawab penyampaian kebenaran dari Allâh Azza wa Jalla itu diemban oleh insan-insan pilihan sepeninggal beliau, generasi Sahabat Radhiyallahu anhum.
Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullah berkata, “Sebab munculnya kesesatan ialah berpaling dari merenungi kalâmullâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya dan menyibukkan diri dengan teori-teori Yunani dan pemikiran-pemikiran yang macam-macam” (hal. 176, tahqiq Ahmad Syâkir rahimahullah)
Allâh Azza wa Jalla mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang haq. Tidak ada petunjuk yang benar kecuali dalam risalah yang beliau bawa. Akal manusia mustahil sanggup berdiri sendiri untuk mengenal nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Rabbnya, Dzat yang ia ibadahi. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam didelegasikan kepada umat manusia untuk memperkenalkan mereka kepada Allâh Azza wa Jalla dan menyeru mereka beribadah kepada-Nya. Karenanya, kebanyakan orang yang terjerumus dalam kesesatan dalam memahami akidah yang benar adalah orang yang melakukan tafrith [*] dalam mengikuti risalah yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Imam Ibnu Abil ‘Izzi dalam mukadimah Syarh ‘Aqîdah Thahâwiyah telah menyinggung perkara ini]
Dengan demikian, siapa saja menginginkan hidayah, utamanya dalam masalah keyakinan, hendaknya menempatkan al-Qur`ân dan petunjuk Nabi di depan mata, sehingga menjadi obor yang menerangi jalan hidupnya. Syaikhul Islam telah menyampaikan pintu menuju hidayah dengan berkata, “Jika seorang hamba merasa butuh kepada Allâh Azza wa Jalla, kemudian senantiasa merenungi firman Allâh Azza wa Jalla dan sabda Rasul-Nya, perkataan para Sahabat, Tâbi’în dan imam kaum Muslimin, maka akan terbuka jalan petunjuk baginya.” [Majmû Fatâwa 5/118]
Orang yang menghantam nash al-Qur`ân dan Sunnah dengan akal, ia belum mengamalkan firman Allâh Ta’ala berikut ini:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [an-Nisâ/4:65]
PENUTUP
Tampak dengan jelas betapa bahaya ilmu filsafat di mata Ulama sehingga mereka memperingatkan umat agar menjauh darinya. Anehnya, ilmu yang telah mengintervensi akidah Islam ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam dan kajian-kajian Islam kontemporer, bahkan menjadi mata kuliah yang wajib dipelajari. Seolah-olah seorang Muslim belum dapat memahami al-Qur`ân dan Sunnah (terutama masalah akidah) kecuali dengan ilmu filsafat. Jelas hal ini bertentangan dengan firman Allâh Azza wa Jalla:
إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ
Sesungguhnya al-Qur`ân ini memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih lurus [al-Isra/17:9]
Mari simak pernyataan Syaikh as-Sa’di rahimahullah dalam menerangkan ayat di atas, “Dalam masalah akidah, sesungguhnya akidah yang bersumberkan al-Qur`ân merupakan keyakinan-keyakinan yang bermanfaat yang memuat kebaikan, nutrisi dan kesempurnaan bagi kalbu. Dengan keyakinan tersebut, hati akan sarat dengan kecintaan, pengagungan dan penyembahan serta keterkaitan dengan Allâh Azza wa Jalla“[Al-Qawâidul Hisân al-Muta`alliqah bi Tafsîril Qur`ân, hlm. 122] .
Sementara Syaikh asy-Syinqîthi rahimahullah menyimpulkan kandungan ayat di atas dengan menyatakan bahwa pada ayat yang mulia ini, Allah k menyampaikan secara global mengenai kandungan al-Qur`ân yang memuat petunjuk menuju jalan yang terbaik, paling lurus dan paling tepat kepada kebaikan dunia dan akherat.[Adhwâul Bayân 3/372]
Semoga Allâh Azza wa Jalla mengembalikan umat Islam kepada hidayah-Nya. Wallâhu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
Artikel Almanhaj.Or.Id
Footnote
[*] Pengertian tafrîth atau taqshîr, kurang memberikan perhatian yang layak panduan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan petunjuknya baik dengan tidak mempelajarinya atau menganggap petunjuk yang lain lebih baik.
Tentang Filsafat (5) – Aqidah Imam Syafi’i
AQIDAH IMAM SYAFI’I
Segala puji bagi Alloh yang membangkitkan para ulama pada setiap zaman di saat kekosongan para rosul, mereka menunjuki orang yang tersesat jalan, sabar menghadapi rintangan, menghidupkan orang mati dengan al-Qur‘an, dan menyalakan cahaya Alloh kepada orang-orang yang lelap dalam kebutaan. Betapa banyak korban Iblis yang mereka sembuhkan dan betapa banyak orang tersesat kebingungan yang mereka selamatkan!
Alangkah besarnya jasa mereka terhadap manusia, tetapi alangkah jeleknya balasan manusia kepada mereka! Mereka menepis segala penyelewengan orang-orang yang berlebih-lebihan, kedustaan pembela kebatilan, dan penafsiran orang-orang jahil yang kebingungan — yang melepaskan tali fitnah dan mengibarkan bendera kebid’ahan, mereka berselisih dalam al-Qur‘an, menyelisihi kandungan al-Qur‘an, dan bersatu untuk meninggalkan al-Qur‘an, mereka berkata tentang Alloh dan kitab-Nya tanpa dasar ilmu, menyebarkan syubhat untuk menipu manusia yang dungu. Kita berlindung kepada Alloh dari fitnah yang menyesatkan. [1]
Di antara deretan para ulama tersebut—insya Alloh—adalah Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullah, yang namanya tidak asing lagi bagi kita semua. Alloh telah mengangkat derajat beliau dan mengharumkan nama beliau sampai detik ini.
Imam Syafi’i rahimahullah termasuk ulama pembaharu agama yang menyeru manusia untuk kembali kepada al-Qur‘an dan Sunnah serta meninggalkan ilmu kalam. Oleh karenanya, dalam setiap karya beliau bertaburan ayat-ayat dan hadits-hadits dengan ditunjang oleh dalil-dalil akal dan bantahan terhadap setiap yang menyelisihinya.
Nah, termasuk nikmat Alloh kepada penulis pada saat ini adalah menyumbangkan salah satu tulisan sederhana tentang ilmu Imam Syafi’i rahimahullah yang kita berdo’a kepada Alloh agar menjadikan tulisan ini ikhlas karena mengharapkan pahala Alloh dan bermanfaat bagi semua.
PENTINGNYA PEMBAHASAN
Ada beberapa faktor yang mendorong hati kami untuk menulis pembahasan ini, minimal ada empat alasan penting:
- Imam Syafi’i adalah seorang imam madzhab empat yang pendapat-pendapatnya menjadi pedoman banyak umat Islam, di antaranya adalah negeri kita Indonesia ini yang mayoritas penduduknya bermadzhab Syafi’i. Maka menjelaskan landasan-landasan agama Imam Syafi’i sangatlah penting sekali agar mereka mengetahuinya dan mencontohnya.
- Meluruskan klaim kebanyakan orang yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Syafi’i dalam fiqih, tetapi dalam aqidah berpaham Asy’ari, karena ini termasuk kontradiksi yang amat nyata, sebab Imam Syafi’i tidaklah berpaham Asy’ariyyah, bahkan beliau adalah seorang salafi yang mengikuti dalil, baik dalam masalah aqidah dan lainnya.
- Banyak orang menganggap bahwa manhaj salaf hanyalah dicetuskan oleh Ibnu Taimiyyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, atau al-Albani dan Ibnu Baz. Maka penjelasan ini membantah dugaan tersebut karena semua imam panutan umat—termasuk Imam Syafi’i—mereka satu aqidah dan manhaj.
- Membantu saudara-saudara kami para da’i dan para penuntut ilmu ketika berdakwah di masyarakat hendaknya sering menukil ucapan Imam Syafi’i kepada mereka, sebab termasuk cara hikmah dalam berdakwah adalah mengutip perkataan ulama Ahli Sunnah yang dikenal baik di masyarakat luas, serta menghindari penyebutan nama ulama tertentu yang mereka fobia dengan nama-nama tersebut.[2] Maka dengan terkumpulnya ucapan-ucapan Imam Syafi’i dalam tulisan semacam ini, diharapkan dapat memudahkan saudara-saudara kami menerapkan metode hikmah ini.
SUMBER AQIDAH MENURUT IMAM SYAFI’I
Sesungguhnya pedoman hukum dalam beragama adalah al-Qur‘an, hadits shohih, dan ijma’. Tentang hujjahnya al-Qur‘an dan hadits, Alloh berfirman:
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَـٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍۢ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌۭ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا ﴿٥٩﴾
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah Rosul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (al-Qur‘an) dan Rosul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisa’ [4]: 59)
Imam Abdul Aziz al-Kinani rahimahullah berkata,
“Tidak ada perselisihan di kalangan orang yang beriman dan berilmu bahwa maksud mengembalikan kepada Alloh adalah kepada kitab-Nya dan maksud mengembalikan kepada Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau wafat adalah kepada sunnah beliau. Tidak ada yang meragukan hal ini kecuali orang-orang yang menyimpang dan tersesat. Penafsiran seperti yang kami sebutkan tadi telah dinukil dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dan sejumlah para imam yang berilmu. Semoga Alloh merahmati mereka semua.” [3]
Adapun dalil bahwa ijma’ (kesepakatan ulama) merupakan hujjah adalah firman Alloh[4]:
وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ ٱلْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا ﴿١١٥﴾
Dan barang siapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.(QS. an-Nisa’ [4]: 115)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
لَا يَجْمَعُ اللّٰهَ أُمَّتِيْ عَلَى ضَلَالَةٍ أَبَدًا
“Sesungguhnya Alloh tidak akan menjadikan umatku bersepakat dalam kesesatan.” [5]
Dan inilah yang dijadikan landasan oleh Imam Syafi’i rahimahullah juga sebagaimana beliau tegaskan dalam banyak ucapannya, di antaranya adalah sebagai berikut:
Imam Syafi’i rahimahullah berkata:
وَلَمْ يَجْعَلِ اللّٰهُ لِأَحَدٍ بَعْدَ رَسُوْلِ اللّٰهِ أَنْ يَقُوْلَ إِلَّا مِنْ جِهَةِ عِلْمٍ مَضَى قَبْلَهُ وَجِهَةُ الْعِلْمِ بَعْدُ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالإِجْمَاعُ وَالآثَارُ وَمَا وَصَفْتُ مِنَ الْقِيَاسِ عَلَيْهَا
“Alloh tidak memberikan kesempatan bagi seorang pun selain Rosululloh n\ untuk berbicara soal agama kecuali berdasarkan ilmu yang telah ada sebelumnya, yaitu Kitab, Sunnah, ijma’, atsar sahabat, dan qiyas (analogi) yang telah kujelaskan maksudnya.” [6]
Imam Syafi’i rahimahullah berkata:
كُلُّ مُتَكَلِّمٍ عَلَى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَهُوَ الْجِدُّ، وَمَا سِوَاهُمَا فَهُوَ هَذَيَانُ
“Setiap orang yang berbicara berdasarkan al-Qur‘an dan Sunnah maka dia sungguh-sungguh. Adapun selain keduanya maka dia mengigau.” [7]
Imam Syafi’i rahimahullah berkata:
فَقَدْ جَعَلَ اللّٰهُ الْحَقَّ فِيْ كِتَابِهِ، ثُمَّ سُنَّةِ نَبِيِّهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَّ
“Sungguh Alloh menjadikan al-haq (kebenaran) berada di dalam al-Kitab dan Sunnah Nabi-Nya.” [8]
IMAM SYAFI’I MENDAHULUKAN DALIL DARIPADA AKAL
Termasuk pokok-pokok Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah bahwa akal bukanlah pedoman untuk menetapkan hukum dan aqidah. Namun, patokannya adalah dalil yang bersumber dari al-Qur‘an dan Sunnah. Adapun akal hanyalah alat untuk memahami.
Maka amatlah salah jika manusia menjadikan akal sebagai hakim terhadap dalil al-Qur‘an dan hadits sebagaimana dilakukan oleh sebagian kalangan, karena akal manusia terbatas. Inilah yang ditegaskan oleh Imam Syafi’i rahimahullah tatkala berkata:
إِنَّ لِلْعَقْلِ حَدًّا يَنْتَهِيْ إِلَيْهِ كَمَا أَنَّ لِلْبَصَرِ حَدًّا يَنْتَهِيْ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya akal itu memiliki batas sebagaimana pandangan mata juga memiliki batas.” [9]
IMAM SYAFI’I DAN ILMU KALAM/FILSAFAT
Disebut ilmu kalam karena ilmu ini hanyalah dibangun di atas ucapan, pendapat, dan logika semata, tanpa dibangun di atas dalil al-Qur‘an dan Sunnah yang shohih. Ilmu kalam sangat banyak dipengaruhi oleh ilmu manthiq dan filsafat Yunani yang muncul berabad-abad sebelum datangnya Islam.
Islam tidak membutuhkan ilmu ini sama sekali karena ilmu ini hanyalah berisi kejahilan, kebingungan, kesesatan, dan penyimpangan.[10] Oleh karena itu, para ulama telah mengingatkan kepada kita agar waspada dan menjauhi ilmu ini sejauh-jauhnya.[11] Di antara deretan para ulama tersebut adalah Imam Syafi’i.[12]
Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata: “Telah mutawatir dari Imam Syafi’i bahwa beliau mencela ilmu kalam dan ahli kalam. Beliau adalah seorang yang semangat dalam mengikuti atsar(sunnah) baik dalam masalah aqidah atau hukum fiqih.” [13]
Ucapan Imam Syafi’i begitu banyak, di antaranya:
الْعِلْمُ بِالْكَلَامِ جَهْلٌ
“Mempelajari ilmu kalam adalah kejahilan (kebodohan).” [14]
حُكْمِيْ فِيْ أَهْلِ الْكَلاَمِ أَنْ يُضْرَبُوْا بِالْجَرِيْدِ، وَيُحْمَلُوْا عَلَى الإِبِلْ، وَيُطَافُ بِهِمْ فِي الْعَشَائِرِ، يُنَادَى عَلَيْهِمْ: هٰذَا جَزَاءُ مَنْ تَرَكَ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الْكَلَامِ
“Hukumanku bagi ahli kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, dan dinaikkan di atas unta, kemudian diarak keliling kampung seraya dikatakan pada khayalak: ‘Inilah hukuman bagi orang yang berpaling dari al-Qur‘an dan Sunnah lalu menuju ilmu kalam/filsafat.’ ” [15]
Imam as-Sam’ani rahimahullah berkata — setelah membawakan ucapan-ucapan seperti di atas: “Inilah ucapan Imam Syafi’i tentang celaan ilmu kalam dan anjuran untuk mengikuti Sunnah. Dialah imam yang tidak diperdebatkan dan tidak terkalahkan.” [16]
Penulis : Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
www.abiubaidah.com
www.abiubaidah.com
Tentang Filsafat (6) – Haramnya Ilmu Filsafat
Ilmu kalam (ilmu filsafat) adalah ilmu yang sangat dibenci oleh para ulama, bahkan sebagian ulama menulis buku khusus tentang pencelaan terhadap ilmu ini. Seperti kitab ذَمُّ الْكَلاَمِ وَأَهْلِهِ (Pencelaan terhadap ilmu kalaam dan pemiliknya) karya Syaikhul Islam Abu Isma’il Al-Harowi rahimahullah (wafat 481 H).
Adz-Dzahabi rahimahullah berkata :
قل من أمعن النظر في علم الكلام إلا وأداه اجتهاده إلى القول بما يخالف محض السنة، ولهذا ذم علماء السلف النظر في علم الاوائل، فإن علم الكلام مولد من علم الحكماء الدهرية، فمن رام الجمع بين علم الانبياء عليهم السلام وبين علم الفلاسفة بذكائه لابد وأن يخالف هؤلاء وهؤلاء
“Hampir tidak ada orang-orang yang memperdalam ilmu filsafat kecuali ijtihadnya akan mengantarkannya kepada pendapat yang menyelisihi kemurnian sunnah. Karenanya para ulama salaf mencela mempelajari ilmu orang-orang kuno (seperti orang-orang Yunani-pen) karena ilmu filsafat lahir dari para filosof yang berpemikiran dahriyah (atheis). Barang siapa yang dengan kecerdasannya berkeinginan untuk mengkompromikan antara ilmu para Nabi dengan ilmu para filosof, maka pasti ia akan menyelishi para Nabi dan juga menyelisihi para filosof” (Mizaanul I’tidaal 3/144)
Ibnu Abdil Barr berkata :
أجمع أهل الفقه والآثار من جميع الأمصار أن أهل الكلام أهل بدع وزيغ، ولا يعدون عند الجميع في جميع الأمصار في طبقات العلماء، وإنما العلماء أهل الأثر والتفقه فيه
“Telah ijmak para ahli fikih dan hadits dari seluruh negeri bahwasanya ahlul kalam adalah ahlu bid’ah dan ahlu kesesatan, dan mereka seluruhnya tidak dianggap dalam jejeran para ulama. Para ulama hanyalah para ahli hadits dan fikih” (Jaami’ Bayaan al-‘Ilmi wa Fadlihi 2/195)
Ilmu filsafat diambil dari para tokoh Yunani seperti Aristoteles dan yang lainnya, yang notabene mereka adalah orang-orang yang tidak beragama. Mereka tidak dibimbing oleh wahyu. Jika pembicaraan para tokoh Yunani tersebut berkaitan dengan fisika dan kimia (materi yang ditangkap oleh panca indra) maka permasalahannya mudah. Akan tetapi yang menjadi permasalahan besar tatkala mereka membicarakan tentang ilmu ghoib apalagi yang berkaitan dengan Tuhan..!! Tentunya merupakan kesalahan yang sangat fatal adalah menganalogikan sesuatu yang ghaib dengan sesuatu yang nyata dilihat..!!
Orang-orang yang berbicara tentang agama dengan berlandaskan ilmu kalam (filsafat) telah terjerumus dalam dua kesalahan besar :
Pertama : Menjadikan akal lebih didahulukan dari pada nash-nash wahyu
Kedua : Menjadikan akalnya para tokoh Yunani sebagai barometer kebenaran
Kedua : Menjadikan akalnya para tokoh Yunani sebagai barometer kebenaran
Kerasnya celaan para ulama terhadap ilmu kalam tidak lain karena akibat yang sangat buruk dari mempelajari ilmu tersebut. Sebagaimana yang kita lihat sekarang ini yang dialami oleh para pengikut paham liberal, yang mereka sangat merendahkan al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata :
لاَ يُفْلِحُ صَاحِبُ كَلاَمٍ أَبَدًا عُلَمَاءُ الْكَلاَمِ زَنَادِقَةُ
“Pemilik ilmu filsafat tidak akan beruntung selamanya. Para ulama filsafat adalah para zindiq” (Talbiis Ibliis 1/75).
Sungguh benar perkataan Al-Imam Ahmad ini, semakin seseorang memperdalam ilmu filsafat dan mengamalkannya maka akan semakin zindiq. Bukti nyata para pakar filsafat dari kaum liberal !!!
Sikap Keras Al-Imam Asy-Syafi’i Terhadap Ilmu Filsafat
Al-Imam Al-Baihaqi dalam Manaqibnya membawakan sebuah bab :
باب : ما جاء عن الشافعي رحمه الله في مجانبة أهل الأهواء وبغضه إياهم وذمه كلامهم وإزرائه بهم ودقه عليهم ومناظرته إياهم
“Bab tentang hal-hal yang diriwayatkan dari Asy-Syafi’i rahimahullah tentang sikap beliau dalam menjauhi ahlul ahwaa’ dan kebencian beliau kepada mereka, celaan beliau terhadap perkataan mereka, perendahan/penghinaan beliau kepada mereka, kerasnya beliau terhadap mereka, dan perdebatan beliau dengan mereka” (Manaaqib Asy-Syaafi’i li Al-Baihaqi 1/452)
Lalu Al-Imam Al-Baihaqi membawakan banyak riwayat yang menunjukan sikap keras Al-Asy-Syafi’i terhadap bid’ah dan pelakunya, diantaranya :
Ar-Robii’ berkata, “Aku melihat Asy-Syafi’i turun dari tangga sementara sebagian orang di majelis sedang berbicara tentang sedikit ilmu filsafat, maka Asy-Syafi’i pun berteriak seraya berkata : “Hendaknya mereka berdekatan dengan kita dengan kebaikan atau hendaknya mereka pergi meninggalkan kita” (Manaaqib Asy-Syaafi’i 1/459)
“Hukumanku bagi para ahli filsafat agar mereka dipukul dengan pelepah kurma lalu di diangkut di atas unta lalu di arak (dikelilingkan) di kampung-kampung dan kabilah-kabilah, lalu diserukan atas mereka : “Inilah balasan orang yang meninggalkan al-Qur’an dan Hadits lalu menuju ilmu filsafat” (Manaaqib Asy-Syaafi’i 1/462)
Al-Imam Asy-Syaafi’i juga berkata :
“Tidak ada sesuatu yang lebih aku benci daripada ilmu filsafat dan ahli filsafat” (Taariikh Al-Islaam li Adz-Dzahabi 14/332)
Yang sangat menyedihkan adalah mulai banyak pemuda yang mengaku bermadzhab Syafi’i yang tertarik dengan ilmu filsafat, sehingga akhirnya terjebaklah mereka dalam pemahaman liberal !!!
Sikap keras para ulama terhadap ilmu filsafat memang sangat beralasan, mengingat ilmu filsafat inilah yang menimbulkan banyak malapetaka dan bid’ah dalam aqidah.
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah digelari dengan “نَاصِرُ السُّنَّة” (Penolong sunnah/hadits) tatkala beliau di Baghdad karena saat itu di Baghdad berkembang madzhab Jahmiyah dan Mu’tazilah. Yang tentunya mereka telah menolak hadits-hadits Nabi atau mentakwil hadits-hadits tersebut dengan akal mereka yang telah teracuni dengan ilmu filsafat.
Diantara tokoh Mu’tazilah di Baghdad tatkala itu adalah Bisyr Al-Mirrisy. Abu Bakar Al-Junaid berkata, “Bisyr Al-Mirrisy berhaji lalu kembali (ke Baghdad), lalu ia berkata kepada para sahabatnya :
رَأَيْتُ شَابًّا مِنْ قُرَيْشٍ بِمَكَّةَ مَا أَخَافُ عَلَى مَذْهَبِنَا إِلاَّ مِنْهُ
“Aku melihat seorang pemuda dari Quraisy di Mekah, aku tidak mengkhawatirkan madzhab kita kecuali dari pemuda tersebut” Maksudnya adalah Al-Imam Asy-Syafi’i” (Taariikh Baghdaad 2/65)
No comments:
Post a Comment