Tuesday, 10 April 2018

Makalah Konsep Fitrah Dalam Al-Quran

0 Comments
Makalah Konsep Fitrah Dalam Al-Quran


Substansi ajaran Islam pada intinya adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Pada tataran aktualisasinya, martabat dan kemuliaan manusia akan terwujud manakala manusia tersebut mampu mendekatkan diri kepada Tuhan, karena memang dia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Islam merupakan agama fitrah yang mengusung kemaslahatan bagi umat manusia.

Al-Quran yang merupakan sumber utama dalam Islam tak jarang berbicara mengenai fitrah, yang secara normative sarat dengan nilai-nilai transendental-ilahiyah dan insaniyah. Artinya, di satu sisi memusatkan perhatian pada fitrah manusia dengan sumber daya manusianya, baik jasmaniah maupun ruhaniah sebagai potensi yang siap dikembangkan dan ditingkatkan kualitasnya melalui proses humanisering sehingga keberadaan manusia semakin bermakna. Di sisi lain, pengembangan kualitas sumber daya manusia tersebbut dilaksanakan selaras dengan prinsip-prinsip ketauhidan, baik tauhid rububiyah maupun tauhid uluhiyah.[1]

Pandangan Islam secara global menyatakan bahwa fitrah merupakan kecenderungan alamiah bawaan sejak lahir. Penciptaan terhadap sesuatu ada untuk pertama kalinya dan struktur alamiah manusia sejak awal kelahirannya telah memiliki agama bawaan secara alamiah yakni agama tauhid. Islam sebagai agama fitrah tidak hanya sesuai dengan naluri keberagamaan manusia tetapi juga dengan, bahkan menunjang pertumbuhan dan perkembangan fitrahnya. Hal ini menjadikan eksistensinya utuh dengan kepribadiannya yang sempurna.

makalah mini ini akan membahas sekelumit diskursus tentang fitrah dalam al Qur’an, baik menyangkut hubungannya dengan pendidikan Islam maupun signifikasinya. Semoga pembahasan singkat ini menjadikan kita lebih arif dalam menapaki perjalanan hidup ini.

Konsep Fitrah Dalam Al-Quran


A. Pengertian Fitrah

Secara lughatan (etimologi) berasal dari kosa kata bahasa Arab yakni fa-tha-ra yang berarti “kejadian”, oleh karena kata fitrah itu berasal dari kata kerja yang berarti menjadikan.[2] Pada pengertian lain interpretasi fitrah secara etimologis berasal dari kata fathara yang sepadan dengan kata khalaqa dan anyaa yang artinya mencipta. Biasanya kata fathara, khalaqa dan ansy’a digunakan dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan pengertian mencipta, menjadikan sesuatu yang sebelumnya belum ada dan masih merupakan pola dasar yang perlu penyempurnaan. Dalam Kamus al Munjid diterangkan bahwa makna harfiah dari fitrah adalah al Ibtida’u wa al ikhtira’u, yakni al shifat allati yattashifu biha kullu maujudin fi awwali zamani khalqihi. Makna lain adalah shifatu al insani al thabi’iyah. Lain daripada itu ada yang bermakna al dinu wa al sunnah.[3]

Abu a’la al-Maududi mengatakan bahwa manusia dilahirkan di bumi ini oleh ibunya sebagai muslim (berserah diri) yang berbeda-beda ketaatannya kepada Tuhan, tetapi di lain pihak manusia bebas untuk menjadi muslim atau non muslim.[4] Sehingga ada hubungannya dalam aspek terminologi fitrah selain memiliki potensi manusia beragama tauhid, manusia secara fitrah juga bebas untuk mengikuti atau tidaknya ia pada aturan-aturan lingkungan dalam mengaktualisasikan potensi tauhid (ketaatan pada Tuhan) itu, tergantung seberapa tinggi tingkat pengaruh lingkungan positif serta negatif yang mempengaruh diri manusia secara fitrah-nya.

Sehingga uraian Al-Maududi mengenai peletakan pengertian konsep fitrah secara sederhana yakni menunjukkan kepada kalangan pembaca bahwa meskipun manusia telah diberi kemampuan potensial untuk berpikir, berkehendak bebas dan memilih, namun pada hakikatnya ia dilahirkan sebagai muslim, dalam arti bahwa segala gerak dan lakunya cenderung berserah diri kepada Khaliknya.[5] Mengenai fitrah kalangan fuqoha telah menetapkan hak fitrah manusia, sebagaimana dirumuskan oleh mereka, yakni meliputi lima ha: 1). Din (agama), 2) jiwa, 3). Akal, 4). Harga diri, dan 5). Cinta

Menurut Armai, bila interpretasi lebih luas konsep fitrah dimaksud bisa berarti bermacam-macam, sebagaimana yang telah diterjemahkan dan didefenisikan oleh banyak pakar d iatas, di antara arti-artinya yang dimaksud adalah : 1) Fitrah berarti “ thuhr’ (suci), 2) fitrah berarti “Islam”, 3) fitrah berarti “Tauhid” (mengakui keesaan Allah), 4) fitrah berarti “Ikhlash” (murni), 5) fitrah berarti kecenderungan manusia untuk menerima dan berbuat kebenaran, 6) fitrah berarti “al-Gharizah” (insting), 7) fitrah berarti potensi dasar untuk mengabdi kepada Allah, 8) fitrah berarti ketetapan atas manusia, baik kebahagiaan maupun kesengsaraan.[6]

Kata ini juga dipakaikan kepada anak yang baru dilahirkan karena belum terkontaminasi dengan sesuatu sehingga anak tersebut sering disebut dalam keadaan fitrah (suci). Pengaruh dari pengertian inilah maka semua kata fitrah sering diidentikkan dengan kesucian sehingga 'id al-fitri sering pula diartikan dengan kembali kepada kesucian demikian juga zakat al-fitrah. Pengertian ini tidak selamanya benar kata fitrah itu sendiri digunakan juga terhadap penciptaan langit dan bumi dengan pengertian keseimbangan sebagaimana yang tertera dalam al-Qur'an

Kata-kata yang biasanya digunakan dalam al-Quran untuk menunjukkan bahwa Allah menyempurnakan pola dasar ciptaan-Nya untuk melengkapi penciptaan itu adalah kata ja’ala yang artinya “menjadikan”, yang diletakan dalam satu ayat setelah kata khalaqah dan ansy’a. Perwujudan dan penyempurnaan selanjutnya diserahkan pada manusia.[7]
ياايها الناس انا خلقناكم من ذكر وانثي وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا ان اكرمكم عند الله اتقاكم ان الله عليم خبير[8]
Artinya: Hai Manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan (khalaqna) kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan (ja’alna) kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal mengenal.
قل هو الذي انشأكم وجعل لكم السمع والابصار والافئدة قليلا ما تشكرون[9]
Artinya: Katakanlah; Dialah yang menciptakan kamu (ansya’akum) dan menjadikan (ja’ala) bagimu pendengaran, penghihatan dan hati (fuad), akan tetapi amat sedikit kamu bersyukur.
فاقم وجهك للدين حنيفا فطرت الله التى فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله ذلك الدين
القيمولكن اكثر الناس لا يعلمون[10]
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan (fathara) manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Mengenai kata fitrah menurut istilah (terminologi) dapat dimengerti dalam uraian arti yang luas, sebagai dasar pengertian itu tertera pada surah al-Rum ayat 30, maka dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa pada asal kejadian yang pertama-pertama diciptakan oleh Allah adalah agama (Islam) sebagai pedoman atau acuan, di mana berdasarkan acuan inilah manusia diciptakan dalam kondisi terbaik. Oleh karena aneka ragam faktor negatif yang mempengaruhinya, maka posisi manusia dapat “bergeser” dari kondisi fitrah-nya, untuk itulah selalu diperlukan petunjuk, peringatan dan bimbingan dari Allah yang disampaikan-Nya melalui utusannya (Rasul-Nya).[11]


Pengertian sederhana secara terminologi menurut pandangan Arifin; fitrah mengandung potensi pada kemampuan berpikir manusia di mana rasio atau intelegensia (kecerdasan) menjadi pusat perkembangannya,[12]dalam memahami agama Allah secara damai di dunia ini.



Quraish Shihab mengungkapkan dalam Tafsir al Misbah-nya, bahwa fitrah merupakan “menciptakan sesuatu pertama kali/tanpa ada contoh sebelumnya”. Dengan mengikut sertakan pandangan Quraish Shihab tersebut berarti fitrah sebagai unsur, sistem dan tata kerja yang diciptakan Allah pada makhluk sejak awal kejadiannya sehingga menjadi bawaannya, inilah yang disebut oleh beliau dengan arti asal kejadian, atau bawaan sejak lahir.[13]



Ungkapan senada mengenai pengertian fitrah juga dilontarkan oleh Arifin yakni secara keseluruhan dalam pandangan Islam mengatakan bahwa kemampuan dasar/pembawaan itu disebut dengan fitrah.[14]Ada yang mengemukakan bahwa fitrah merupakan kenyakinan tentang ke-Esaan Allah swt, yang telah ditanamkan Allah dalam diri setiap insan. Maka manusia sejak lahirnya telah memiliki agama bawaan secara alamiah, yaitu agama tauhid.[15] Istilah fitrah dapat dipandang dalam dua sisi. Dari sisi bahasa, maka makna fitrah adalah suatu kecenderungan bawaan alamiah manusia. Dan dari sisi agama kata fitrah bermakna keyakinan agama, yakni bahwa manusia sejak lahirnya telah memiliki fitrah beragama tauhid, yaitu mengesakan Tuhan.



Imam Nawawi mendefinisikan fitrah sebagai kondisi yang belum pasti (unconfirmed state) yang terjadi sampai seorang individu menyatakan secara sadar keimanannya. Sementara menurut Abu Haitam fitrah berarti bahwa manusia yang dilahirkan dengan memiliki kebaikan atau ketidakbaikan (prosperous or unprosperous) yang berhubungan dengan jiwa.[16] 



Bila tidak berlebihan dalam memahami terminologi Abu Haitam dapat dipahami, pada awalnya setiap makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dibekal dengan fitrah (keseimbangan) yang bilamana keseimbangan ini mampu dijaga dengan baik maka yang bersangkutan akan senantiasa berada dalam kebaikan. Sebaliknya bila keseimbangan ini sudah tidak mampu dipertahankan maka menyebabkan seseorang akan terjerumus kepada ketidakbaikan. Fitrah adalah kata yang selalu digunakan untuk menunjukkan kesucian sekalipun dalam bentuk abstrak keberadaannya selalu dikaitkan dengan masalah moral. Keabstrakan ini meskipun selalu dipakai dalam aspek-aspek tertentu namun pengertiannya hampir sama yaitu keseimbangan. 



B. Hubungan Fitrah Dengan Pendidikan Islam dalam al-Quran

Manusia dalam pandangan Islam adalah khalifah Allah di muka bumi. Sebagai duta Tuhan, dia memiliki karakteristik yang multidimensi, yakni pertama, diberi hak untuk mengatur alam ini sesuai kapasitasnya. Dalam mengemban tugas ini, manusia dibekali wahyu dan kemampuan mempersepsi, kedua, dia menempati posisi terhormat di antara makhluk Tuhan yang lain. Anugerah ini diperoleh lewat kedudukan, kualitas dan kekuatan yang diberikan Tuhan kepadanya, ketiga, dia memiliki peran khusus yang harus dimainkan di planet ini, yaitu mengembangkan dunia sesuai dasar dan hukum-hukum yang ditetapkan oleh Tuhan.[17]


Potensi akal secara fitrah mendorong manusia memahami simbol-simbol, hal-hal yang abstrak, menganalisa, memperbandingkan maupun membuat kesimpulan dan akhirnya memilih maupun memisahkan yang benar dan salah.[18] Di samping itu menurut Jalaluddin, akal dapat mendorong manusia berkreasi dan berinovasi dalam menciptakan kebudayaan serta peradaban. Manusia dengan kemampuan akalnya mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, mengubah serta merekayasa lingkungannya, menuju situasi kehidupan yang lebih baik, aman dan nyaman.[19] 



Sebelum terlalu jauh kita mengulas tentang hubungan konsep fitrah dan hubungannya dengan pendidikan Islam ada baiknya kita telusuri terlebih dahulu tujuan dari pendidikan Islam secara umum. Secara general tendensi dari pendidikan Islam itu sendiri adalah mengetahui hakikat kemanusiaan menurut Islam, yakni nilai-nilai ideal yang diyakini serta dapat mengangkat harkat dan martabat manusia. Sementara Achmadi meletakkan keterangan tujuan pendidikan Islam dalam “tiga karakteristik” yakni tujuan tertinggi/akhir, tujuan umum, tujuan khusus.[20] Tujuan tertinggi adalah bersifat mutlak, tidak mengalami perubahan karena sesuai dengan konsep Ilahi yang mengandung kebenaran mutlak dan universal. Tujuan tertinggi/akhir ini pada dasarnya sesuai dengan tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai ciptaan Allah. Salah satu prilaku itu identitas Islami itu sendiri pada hakikatnya adalah mengandung nilai prilaku manusia yang didasari atau dijiwai oleh iman dan taqwa kepada Allah sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus ditaati. Tujuan selanjutnya adalah tujuan umum yang berbeda substansinya dengan tujuan pertama yang cenderung mengarah kepada nilai filosofis. Tujuan ini lebih bersifat empirik dan realistic. Ahmad tafsir mengemukakan tujuan umum bersifat tetap, berlaku di sepanjang tempat, waktu, dan keadaan. Tujuan umum berfungsi sebagai arah yang taraf pencapaiannya dapat diukur karena menyangkut perubahan sikap, perilaku dan kepribadian subjek didik, sehingga mampu menghadirkan dirinya sebagai sebuah pribadi yang utuh. Itulah yang disebut realisasi diri (self realization).[21] Sementara tujuan khusus merupakan pengkhususan atau operasionalisasi tujuan tertinggi/akhir dan tujuan umum pendidikan Islam. Tujuan khusus bersifat relatif sehingga dimungkinkan untuk diadakan perubahan dimana perlu sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan, selama tetap berpijak pada kerangka tujuan tertinggi/akhir dan umum itu Pengkhususan tujuan pendidikan Islam tersebut menurut Achmadi didasarkan pada: kultur dan cita-cita suatu bengsa dimana pendidikan itu diselenggarakan, minat, bakat, dan kesanggupan subjek didil; dan tuntunan situasi, kondisi pada kurun waktu tertentu.[22]



Konsep fitrah dalam hubungannya dengan pendidikan Islam mengacu pada tujuan bersama dalam menghadirkan perubahan tingkah laku, sikap dan kepribadian setelah seseorang mengalami proses pendidikan. Menjadi masalah adalah bagaimana sifat dan tanda-tanda (indikator) orang yang beriman dan bertaqwa.



Maka konsep fitrah terhadap pendidikan Islam dimaksudkan di sini, bahwa seluruh aspek dalam menunjang seseorang menjadi menusia secara manusiawi adanya penyesuaian akan aktualisasi fitrah-nya yang diharapkan, yakni pertama, konsep fitrah mempercayai bahwa secara alamiah manusia itu positif (fitrah), baik secara jasadi, nafsani (kognitif dan afektif) maupun ruhani (spiritual). Kedua, mengakui bahwa salah satu komponen terpenting manusia adalah qalbu. Perilaku manusia bergantung pada qalbunya. Di samping jasad, akal, manusia memiliki qalbu. Dengan qalbu tersebut manusia dapat mengetahui sesuatu (di luar nalar) berkecenderungan kepada yang benar dan bukan yang salah (termasuk memiliki kebijaksanaan, kesabaran), dan memiliki kekuatan mempengaruhi benda dan peristiwa.


Menghubungkan keterangan ini secara ilmiah dengan adanya teori pendidikan Islam maka secara disiplin ilmu merupakan konsep pendidikan yang mengandung berbagai teori yang dapat dikembangkan dari hipotesa-hipotesa yang bersumber dari al Qur’an maupun hadis baik dari segi sistem, proses, dan produk yang diharapkan mampu membudayakan umat manusia agar bahagia dan sejahtera dalam hidupnya.[24]inilah yang disebut secara implikasi konsep fitrah kecenderungan peserta didik pada yang benar dalam memiliki secara pendekatan ilmiah kekuatan mempengaruhi benda dan peristiwa. Sedang pendidikan bila diberikan pengertian dari al-Qur’an maka kalangan pemikir pendidikan Islam meletakkan pada tiga karakteristik di antaranya rabb, ta’lim, , ta’dib dimaksud dalam al-Qur’an. 



Dari ketiga kata tersebut, Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqy dalam bukunya al-Mu’jam al Mufahras li Alfadz al-Qur’an al-Karim telah menginformasikan bahwa di dalam al-Qur’an kata Tarbiyah dengan berbagai kata yang serumpun dengan diulang sebanyak lebih dari 872 kali.[25] Kata tersebut berakar pada kata rabb. Kata ini sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata dari al-Raghib al-Ashfahany, pada mulanya berarti al-Tarbiyah yaitu insy’ al-syaihalan fa halun ila hadd al-tamam yang artinya mengembangkan atau menumbuhkan sesuatu setahap demi tahap sampai pada batas yang sempurna.[26]



C. Signifikansi Fitrah Dalam Pendidikan Islam

Konsep fitrah pada dasarnya mempercayai bahwa arah pergerakan hidup manusia (peserta didik) secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu taqwa dan fujur. Peserta didik pada dasarnya diciptakan dalam keadaan memiliki potensi positif dan ia dapat bergerak ke arah taqwa. Bila manusia berjalan lurus antara fitrah dan Allah, maka ia akan menjadi taqwa (sehat, selamat). Bila tidak selaras antara fitrah dan Allah, maka ia akan berjalan ke pilihan yang sesat (fujur). Secara fitrah manusia diciptakan dengan penuh cinta, memiliki cinta, namun ia dapat berkembang ke arah agresi. Akan tetapi implikasi dimaksud dalam penelitian ini mendapatkan bentuk konsep fitrah sesuai realita yang ada, bahwa nilai-nilai aktualisasi fungsi konsep fitrah sejalan dengan tujuan pendidikan, baik secara epistemologi pendidikan, mewujudkan peserta didik yang memiliki potensi kepribadian muslim yang berorientasi pada aktualisasi konsep fitrah manusia.


Jakfar Siddik mengungkapkan bahwa yang menjadi inti kemanusiaan itu adalah fitrah (agama) itu sendiri. Fitrah-lah yang membuat manusia (peserta didik) memiliki keluhuran jiwa secara alamiah berkeinginan suci dan berpihak pada kebaikan dan kebenaran Allah swt.[27] Menurut penulis membuat suatu tatanan proses perkembangan peserta didik terhadap lingkungan pendidikan sebagai lahan mengembangkan potensi kesucian peserta didik (konsep fitrah) dapat terpenuhi maka kebutuhan kepribadian peserta didik akan lebih sempurna.



Potensi kalangan peserta didik sebagai anak manusia pengemban amanat Allah swt dan juga sebagai khalifah di muka bumi ini, ia dilahirkan adanya nilai bertauhid Menurut Nurcholis Madjid merupakan sebuah peristiwa dengan adanya perjanjian mahkluk (manusia) dengan Tuhan Allah swt, maka dapat dikatakan bahwa manusia (peserta didik) tersebut terikat dengan perjanjian itu (pemaknaan bersifat religius). Demikian juga halnya dengan agama pun sebenarnya memang adalah perjanjian, yang dalam bahasa Arabnya disebut dengan mitsaq atau ‘ahdun, perjanjian dengan Allah swt. Seluruh hidup merupakan realisasi atau pelaksanaan untuk memenuhi perjanjian manusia dengan Allah. Intinya ialah ibadah, artinya memperhambakan diri kepada Allah. Karena Allah swt sendiri telah diakui sebagai Rabb. Maka implikasinya, akibat dari beribadah kepada Allah itu adalah, bahwa manusia yakni kalangan peserta didik yang haus akan kebutuhan pengembanagan kepribadian nilai fitrah-nya diharuskan menempuh jalan hidup yang benar.[28] 



Menurut al-Attas, yang dikutip oleh Baharuddin, fitrah merupakan ketundukan manusia sebelum kehadirannya di bumi yang dijelaskan dalam surah al-A’raf/ 7: 172 menunjukkan utangnya kepada Allah, begitu juga kerugiannya yang total, sehinga dia mungkin bisa membayarnya dan kembali kepada Allah dengan menyerahkan diri untuk mengabdi kepada-Nya. Kewajiban ini dirasakan oleh umat manusia sebagai suatu kecenderungan wajar dan alamiah, fitrah yang oleh al-Attas disepadankan dengan al-din, merujuk kepada surat al-Rum/30: 30-32 fitrah adalah sifat dasar ketundukan pada manusia dan al-din adalah bentuk ketundukan bagi manusia. Ketundukan sadar dan kehendak bebas memantapkan harmonisasi dan kosmos, sementara penolakan tunduk mengakibatkan ketimpangan dan kekacauan.[29] 



Hakikinya, konsep fitrah bila diaktualisasikannya dalam pendidikan, tidak sekedar "tranfern of knowlegde" atau pun "tranfers of training". tetapi jauh dari itu merupakan suatu sistem yang ditata di atas pondasi keimanan dan kesalehan; suatu sistem yang terkait langsung dengan Tuhan, dan inilah yang merupakan potensi tauhid bahagian konsep fitrah manusia. Tegasnya kebermaknaan konsep fitrah dalam hubungannya dengan wilayah pendidikan adalah melahirkan suatu kegiatan yang mengarah dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai dengan atau sejalan dengan nilai-nilai Islam. Konsep fitrah yang merupakan potensi dasar manusia dapat teraktualisasikan bila kondisi lingkungan serta proses pendidikan dapat membentuk nilai-nilai kepribadian tersebut. Secara global potensi-potensi tersebut mengarahkan bentuk induvidualis dan sosialis yang beragama, atau dengan kata lain potensi fitrah termanifestasikan pada diri seseorang adalah nilai-nilai obyektifitas trasendensi moral humanisme, terlebih lagi pada persoalan pengembangan keperibadian untuk menuju kepribadian muslim yang kaffah di mana hal itu merupakan bagian dari proses internalisasi nilai-nilai fitrah terhadap pendidikan yang berasaskan Islam.



Individu dalam pandangan konsep fitrah yakni Islam memandang bahwa manusia memiliki daya untuk berkembang dan siap pula untuk dikembangkan. Akan tetapi tidak berati individu tersebut dapat diperlakukan sebagai manusia pasif, melainkan memiliki kemampuan dan keaktifan yang mampu membuat dilihat dan penilaian, menerima, menolak atau menentukan alternatif-laternatif yang lebih sesuai dengan pilihannya sebagai perwujudan dari adanya kehendak dan kemauan bebasnya.[30]



Jadi signifikansi pendidikan Islam dalam kerangka konsep fitrah dapat dideskripsikan sebagai suatu sistem yang membawa manusia ke arah kebahagian dunia dan akhirat baik melalui ilmu maupun melalui ibadah, karena pada hakikatnya tujuan akhir dari pendidikan Islam itu sendiri adalah pencapaian kebahagian hidup di dunia dan kesejahteraan di akhirat. Maka selayaknya yang harus menjadi fokus utama dalam rangka menyikapi hal ini adalah memperhatikan nilai-nilai Islam tentang manusia; hakekat dan sifatnya, misi dan tujuan hidup di dunia dan akhirat nanti, hak dan kewajiban sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat. Sehingga secara fitrah, setelah seseorang mengetahui tentang hakikat kehidupan, maka dia tidak saja dapat memberikan inspirasi kepada manusia lain, akan tetapi juga dapat mentransfer nilai-nilai luhur yang ia kembangkan hingga menjadi manusia-manusia baru, yakni manusia yang cinta hidup damai, aman dan sejahtera karena fitrah mansuai yang sebenarnya adalah hidup dalam jalinan cinta sesama


Hakikat Konsep fitrah bila dikaitkan dengan pendidikan Islam sebenarnya sangat bersifat religius yang lebih menekankan pada pendekatan keimanan, sebab, setiap manusia yang dilahirkan dia membawa potensi yang disebut dengan potensi keimanan terhadap Allah atau dalam bahasa agamanya adalah tauhid. Pengertian fitrah di dalam al Qur’an adalah gambaran bahwa sebenarnya manusia diciptakan oleh Allah dengan diberi naluri beragama, yaitu agama tauhid. Karena itu manusia yang tidak beragama tauhid merupakan penyimpangan atas fitrahnya.



Setelah memahami konsep fitrah dalam arti luas, maka tujuan yang ingin dicapai adanya gerakan Islamisasi pendidikan berlandaskan sistem pendidikan Islam terhadap ajarannya. Adanya paradigma ideologi humanisme teosentris berdasarkan konsep fitrah, diharapkan tidak saja mampu menjadi alat ukur perkembangan produktifitas peserta didik secara fitrah, tetapi juga diharapkan implementasi operasionalnya tersusun secara sistematis, logis dan obyektif mengenai ajaran Islam. Bukan malah sebaliknya melahirkan produktifitas peserta didik berdasarkan filsafat Barat mengenai teori-teori kemanusiaan, yang belum tentu memberikan uraian kebutuhan nilai religiusitas peserta didik itu sendiri.



Perlu untuk dipertegas bahwa kebutuhan nilai religiusitas peserta didik sesuai tujuan pendidikan Islam harus berlandaskan teori konsep fitrah itu, sebab segala usaha dalam meningkatkan sistem pendidikan Islam haruslah memelihara dan mengembangkan fitrah peserta didik agar sumber daya manusia itu menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai pada norma-norma ke-Islaman.



Seiring dengan tujuan konsep fitrah dalam sistem pendidikan Islam, konsep fitrah yang ada pada diri peserta didik dapat diformulasikan secara benar dan sempurna sebagai pribadi muslim. Manusia yang beriman dan bertaqwa serta memiliki berbagai kemampuan aktualisasi hubungan dengan Allah swt, sesama manusia, dan alam secara positif konstruktif, inilah yang disebut transendent humanisme teosentris. Sehingga adanya pendidikan Islam berdasarkan konsep fitrah, hendaknya kalangan peserta didik pantas menjadi hamba pilihan sesuai uraian Allah swt dalam al-Qur’an.



Islam sebagai agama fitrah tidak hanya sesuai dengan naluri keberagamaan manusia tetapi juga sesuai dengan, bahkan menunjang pertumbuhan dan perkembangan fitrahnya, sehingga akan membawa kepada keutuhan dan kesempurnaan pribadinya. Di sisi lain, Islam sebagai way of life (pandangan hidup) yang berdasarkan nilai-nilai ilahiyah, baik yang termuat dalam al Qur’an maupun al hadist diyakini mengandung kebenaran mutlak yang bersifat transendental, universal dan eternal (abadi), sehingga secara akidah diyakini oleh pemeluknya akan sesalu sesuai dengan fitrah manusia, artinya memenuhi kebutuhan manusia kapan dan di mana saja ( likulli zamanin wa makanin)



Mudah-mudahan paparan kecil dari makalah mini ini dapat bermamfaat dan menjadi renungan bagi semua hamba ilmu yang selalu ingin mencari titik-titik kebenaran di antara bungkahan-bungkahan mutiara yang tercecer di altar kehidupan ini. Amin.


Makalah Barat dan Al-quran



Barat dan Al-Quran. term ini diangkat dalam ulasan makalah kali ini guna untuk membahas ilmu dan tendensi antara barat dan al-Qur`an. bagaimana ilmuan barat mengkajinya dan bagaimana al-Qur`an membahasnya. kesalahan penerjemahan yang dilakukan ilmuan barat terhadap alquran merupakan kajian analisis yang sangat dalam. Meskipun mengandung kesalahan penerjemahan dan kekeliruan tidak sedikit, tapi kehausan bangsa Eropa untuk mempelajari kitab suci kaum Muslim sangat gencar. Dalam sejarah, penerjemahan al-Qur’an pertama kali dilakukan oleh ketua gereja Cluny, Petrus Agung Peter The Venerable asal Prancis pada tahun 1143 M. Dengan bantuan pendeta Robert Ketton asal Inggris dan Herman Dalmash dari Jerman, demi mendapatkan pengetahuan tentang al-Qur’an kitab umat Islam –yang pada zamannya menjadi agama yang berkembang pesat di Andalusia, Spayol- penerjemahan al-Qur’an kemudian ia lakukan. Terjemahan tersebut sekitar empat abad lamanya hanya dimilki oleh gereja untuk dipelajari dan tidak diizinkan dicetak diluar gereja dengan alasan sepaya umat Kristen tidak mempunyai kesempatan mempelajari al-Qur’an terjemahan tersebut, hingga tidak aka ada penganut Kristen yang murtad dari agamanya.Pertengahan Abad 16 tahun 1543, di bawah pengawasan seorang Swiss bernama Teidoor, terjemahan ini kemudian dicetak. Tahun 1550 untuk kedua kalinya dicetak dalam tiga jilid.



Qur’an Karim, adalah satu-satunya kitab langit yang tidak mengalami perubahan. Bagi umat Islam merupakan dasar hukum dan nilai sekaligus sumber keilmuan dalam agama ini. Al-Qur’an yang telah meletakkan batu bangunan peradaban kurang lebih seper empat penduduk bumi yang mayoritas di daerah timur. Bagi barat, tentu saja pintu masuk untuk memahami pemikiran umat Islam adalah mengetahui kitab suci agama Islam ini. Atas dasar inilah, secara dini barat kemudian dengan keteguhan keras melakukan usaha penerjemahan melalui gelombang yang dikenal dengan Istisyraq (Westernisasi)[1] dari bahasa Arab ke dalam bahasa Latin. Tulisan akan mencoba mengulas usaha tersebut.


A. SEJARAH SINGKAT PENERJEMAHAN AL-QURAN
Dalam sejarah, penerjemahan al-Qur’an pertama kali dilakukan oleh ketua gereja Cluny, Petrus Agung Peter The Venerable asal Prancis pada tahun 1143 M. Dengan bantuan pendeta Robert Ketton asal Inggris dan Herman Dalmash dari Jerman, demi mendapatkan pengetahuan tentang al-Qur’an kitab umat Islam –yang pada zamannya menjadi agama yang berkembang pesat di Andalusia, Spayol- penerjemahan al-Qur’an kemudian ia lakukan. Terjemahan tersebut sekitar empat abad lamanya hanya dimilki oleh gereja untuk dipelajari dan tidak diizinkan dicetak diluar gereja dengan alasan sepaya umat Kristen tidak mempunyai kesempatan mempelajari al-Qur’an terjemahan tersebut, hingga tidak aka ada penganut Kristen yang murtad dari agamanya.


Pertengahan Abad 16 tahun 1543, di bawah pengawasan seorang Swiss bernama Teidoor, terjemahan ini kemudian dicetak. Tahun 1550 untuk kedua kalinya dicetak dalam tiga jilid. Meskipun mengandung kesalahan penerjemahan dan kekeliruan tidak sedikit,[2] tapi kehausan bangsa Eropa untuk mempelajari kitab suci kaum Muslim disamping ketakutan serta kekhawatiran melakukan penerjemahan terhadap kitab mereka bila kemudian menyebar di tengah-tengah masyarakat non-Muslim, karya Petrus ini bukan hanya diterima di tengah bangsa Eropa, lebih dari itu, menjadi referensi terjemahan al-Qur’an untuk bahasa-bahasa Latin lain seperti Italia, Jerman dan Belanda.[3] 



B. PENERJEMAHAN AL-QURAN

Melalui terjemahan Petrus inilah kemudian, barat melakukan alih bahasa ke beberapa bahasa Latin, di antaranya:



1. Terjemahan ke bahasa Latin

Bahasa Latin adalah induk bagi bahasa Eropa. Penerjemahan al-Qur’an untuk pertama kali ke dalam bahasa ini dilakukan pada abad 12 M oleh Gereja Kalony (Pitter Venerable) dan dicetak pada tahun 1543. Penerjemahan lain dilakukan oleh Hankelmann pada tahun 1594, juga oleh Marracci dengan mencetaknya langsung. Penerjemahan al-Qur’an paling masyhur dalam bahasa Latin adalah milik Marracci dan pendeta Inveknitus XI dengan menyertakan teks Arab, mengulas panjang sekaligus menulis ulasan penolakan terhadap Islam tahun 1691, pada tahun 1697 dicetak di Eropa.[4]



2. Terjemahan ke Bahasa Inggris

Dari tahun 1649 sampai tahun 1970, lebih dari 295 terjemahan sempurna dan 131 terjemahan terpencar atau pimilihan-pilihan dari al-Qur’an dilakukan ke dalam bahasa Inggris. Disebabkan memiliki beberapa keistimewaan, beberapa terjemahan ini dicetak beberapa kali dan puncaknya adalah terjemahan milik George Sale. Sebagaimana penuturan Dr. Ramyare, terjemahan ini sudah dicetak sebanyak 35 kali. Sedangkan dalam Inseklopedia Dunia Penerjemahan al-Qur’an, karya George Sale ini telah dicetak ulang sebanyak 105 kali.[5]



3. Terjemahan ke Bahasa Jerman

Gereja Noremberg (Salamon Schwigger) adalah yang pertama kali melakukan penerjemahan ke dalam bahasa Jerman dari terjemahan bahasa Italia, dengan sampul bertuliskan “al-Coranus Mohomedus” (Qur’an Muhammad) dan dicetak pada tahun 1616. Meskipun sering kali para penerbit atau yang berniat menerbitkan terjemahan ini seluruhnya mengalami penderitaan menjelang kematian, tapi pada tahun 1623, 1659 dan tahun 1664 terus dicetak dalam wajah baru. Pada tahun 1708 terjemahan baru al-Qur’an dilakukan oleh Joeseph Won Hammer. Terjemahan al-Qur’an yang paling bagus dan paling teliti dalam bahasa Jerman adalah miliki Rudy Fart dan telah dicetak dalam edisi revisi sebanyak 16 kali. Sampai sekarang sebanyak 43 terjemahan telah dilakukan ke dalam bahasa Jerman.[6] 



4. Terjemahan Bahasa Prancis

Penerjemahan al-Qur’an ke dalam Prancis dilakukan pertama kali oleh Andre Derwiah pada tahun 1647 yang sebelumnya tinggal lama di Istambul dan Mesir dengan penguasaan terhadap bahasa Arab secara baik. Judul terjemahannya diberi nama “Qur’an Muhammad” dan dicetak di Paris. Sampai tahun 1775 terjemahan ini telah dicetak ulang sebanyak 20 kali dan memiliki introduksi yang berjudul Sekilas Tentang Mazhab-mazhab Bangsa Turki. Termasuk dalam catatan terjemahan yang paling bagus adalah milik C. Savari, dicetak di Paris pada tahun 1750 dan 1788 sebanyak 28 kali. Yang terbaru adalah terjemahan yang dilakukan oleh salah seorang ahli budaya dan bahasa Arab dan dosen kawakan universitas Prancis yang menyertakan penjelasan dan ulasan terhadap karyanya, dicetak pada tahun 1990. [7]



C. BEBERAPA TOKOH DAN KARYA PENTING

Penyusunan kumpulan peneliti al-Qur’an barat yang memuat tokoh-tokoh penting Westerian juga orang timur non-Muslim dan karya-karya mereka, telah dilakukan dengan giat oleh pusat-pusat reseach Hauzah dan universitas di Republik Islam Iran, berikut ini kami ketengahkan tokoh dan karya penting mereka sesuai dengan urutan tahun.



a. Gustav Flugel (1802-1870)

Penulis berkebangsaan Jerman ini memiliki dari 20 karya seputar agama Islam, Sastra dan ilmu-ilmu mengenai bahasa Arab. Paling terkenalnya adalah Nujum al-Qur’an fi Atraf al-Qur’an, ditulis pada tahun 1842 di kota Leibzigh. Ulama-ulama universitas al-Azhar memberikan perhatian besar terhadap karya ini, mereka kemudian menunjuk Fuad Muhammad Abdul Baqi untuk menerjemahkan karya Flugel ke dalam bahasa Arab yang kemudian diberi nama al-Mu’jam al-Mufahraz Li al-Fadz al-Qur’an.[8] Jules Labum bisa dikategorikan sebagai penerjemahan dan peneliti al-Qur’an penting yang sezaman dengan Flugel dan Edward Moonitea. Juga dengan usul dan sponsor pihak al-Azhar, karyanya kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi dengan judul Tafsil Ayat al-Qur’an al-Karim.[9]



b. Theodor Noldeke (1836-1931)

Dikenal sebagai bapak Mustasyriqun dan peneliti Islam barat, Ia juga adalah pendiri ilmu Sejarah al-Qur’an dalam kalangan Weasterian. Theodor pada umur 20 tahun di awal Doktoralnya menulis Sejarah al-Qur’an dan setelah 10 tahun, ia melanjutkan penelitian lebih dalam terhadap tulisannya tersebut. Karya terpenting Theodor yang sekaligus menjadi referensi peneliti setelahnya adalah Geschicte des Qorans. Disayangkan, setelah berlalu 170 tahun sampai sekarang buku ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa arab.[10]





c. Ignaz Goldziher (1850-1921)

Karya terpentingnya adalah Metodologi Tafsir al-Qur’an. karena bukunya ini juga, kalangan Westerian kemudian menobatkannya sebagai Pounding Father Metodologi Tafsir al-Qur’an. Buku ini diterjemahkan dua kali oleh Dr. Ali Hasan Abdul Kadir dengan judul al-Mazahib al-Islamiyah fi Tafsir al-Qur’an dan oleh Dr. Abdul Halim Bakhar dengan judul Mazahib at-Tafsir al-Islamy.[11] 



d. Regis Blachere (1990-1973)

Tokoh kelahiran Paris ini, bersama ayahnya hijrah ke Aljazair dan Maroko yang ketika itu dalam wilayah jajahan Prancis, di kedua Negara ini jugalah ia mempelajari bahasa Arab dan ilmu-ilmu keislaman. Ia memiliki banyak karya dalam sastra Arab dan Islam, di antara yang paling penting adalah:



1. Dar Astaneh Qur’an

Diterjemahkan oleh Dr. Mahmud Ramyar. Dalam bukunya ini, Ia mengkritik matodologi tafsir al-Qur’an, kelemahan Westerian dalam memahami al-Qur’an. Selain itu, bukunya yang menertibkan al-Qur’an sesuai dengan susunan turunnya, adalah karyanya yang penting.



2. Dar Amadiy-e bar Quran

Diterjemahkan oleh Dr. Asadullah Mubassyri. Terdiri dalam pembahasan sejarah singkat bacaan-bacaan Qur’an, sejarah hidup Rasululla periode Makkah, tafsir dan mufassirun dll.



e. Artor Jeffri (Awal Abad ke 20)

Seorang guru universitas Amerika di Beirut dan universitas Kairo. Tokoh ini juga memeliki sejumlah karya tentang Islam dan Qur’an, yang terpenting di antaranya;



1. The Foreign Vocabulary of The Qur’an, dicetak pada tahun 1938, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Persia dengan judul Wachehay-e dakhily dar Qur’an oleh Dr. Faridun Badreh’ie. Dalam bukunya ini, Jeffri menyebutkan sebanyak 375 istilah non-Arab yang terdapat dalam al-Qur’an. sehingga –masih menurutnya- Muhammad kesulitan dalam memilih bahasa sehingga harus mengadopsi bahasa asing, dan ini telah menyebabkan kebanyakan sahabat kesulitan.



2. Koreksi atas kitab al-Mashahib karya Sajistany untuk kali pertama. Buku ini kemudian menjadi buku panduan untuk para mahasiswanya.[12]



f. Motogomery Watt (1909)

Ia mendapat gelar Doktoralnya di bidang filsafat dengan desertasi Jabr dan Ikhtiar dalam Islam. Setelah itu, ia kemudian aktif dalam meneliti Islam dan Qur’an bekerjasama dengan gereja Protestan Inggris. Pernah juga menjadi ketua badan reseach al-Qur’an di universitas London. Di antara tulisan Watt yang penting adalah;



1. Introduksi untuk alQur’an

Lain dari Westerian yang lain, dalam bukunya ini, Watt mengkritik nabi Muhammad lebih ilmiah dan menjauhi bahasa celaan pedas sebagaimana yang dilakukan kelompoknya. Karnyanya yang lain; Muhammad pada periode Makkah, Muhammad pada periode Madinah, Muhammad, Nabi dan Pemimpin, Wahyu Islam dalam Era Modern.[13] 



g. Toshihiko Izutshu (1914)

Profesor kelahiran Tokyo Jepang ini, setelah mengenal baik bahasa Arab, ia kemudian mulai meneliti buku-buku menyangkut Islam, universitas Mac Gill kemudian memanggilnya untuk mengajar. Izutshu, melalui kerjasama dengan Dr. Mahdi Muhaqqiq, silsilah pengetahuan sekitar Iran ia telusuri. Karya-karyanya yang terpenting adalah;

1. Menerjemahkan al-Qur’an pertama kali ke dalam bahasa Jepang
2. Tuhan dan Manusia dalam al-Qur’an, diterjemahkan oleh Ahmad Aram
3. Akhlak dalam al-Qur’an, diterjemahkan oleh Faridun Badreh’ie[14]

h. Aro Rippin (1950)

Salah satu dari peneliti Islam dan al-Qur’an ini adalah kelahiran London, ia lulusan fakultas ma’arif ad-Din universitas Toronto, sedang gelar master-nya ia raih di universitas Mac Gill jurusan Ilmu Islam. Paparan tesisnya tahun 1977 berjudul Istilahat al-Mutaradif wa Ma’aniha fi al-Qur’an memuai pujian sebagaimana desertasi doktoralnya tahun 1981 berjudul Mutun asbab Nuzul al-Qur’an.


Rippin, menjadi salah seorang anggota Akademi Agama di Kanada dan Amerika, Komunitas penelitian Timut-tengah di Inggris dan guru di universitas Michigan, dan universitas Victoria Kanada.Ia telah menulis puluhan makalah dalam bidang Qur’an, Ensiklopedia agama dan Injil serta puluhan lainnya seputar agama Islam.[15]



D. APAKAH TUJUAN DAN PENERJEMAHAN INI?

Tentu dengan menghindari penghukuman universal terhadap oknum dan usaha-usaha yang telah dilakukan, melainkan kami akan menukil beberapa komentar dari tujuan tersebut yang mayoritas penerjemahan al-Qur’an yang telah dilakukan barat adalah ‘pesanan’ dengan gereja atau penguasa Negara-negara Barat sebagai sponsorshifnya. Setidaknya dengan mengemukakan pengakuan-pengakuan dari mereka sendiri, tujuan-tujuan penerjemahn tersebut akan kita ketahui.



1. Abraham Hanclemann (1652-1692); seorang pendeta di Hamburg. Di mana setelah pelarang penerjemahan al-Qur’an pada tahun 1655 sampai 1667 oleh Kardinal Iskandiria, Ia menerjemahkan redaksi al-Qur’an tanpa menyertakan penjelasan apapun. Maksud dari usahanya ini –yang tentu saja memuai banyak protes- Ia ungkapkan demikian; “penyebaran kitab (terjemahan) ini sama sekali bukan karena tendensi agamis, melainkan hanya sekedar mempelajari bahasa Aran, selain itu, titik-titik kelemahan al-Qur’an melalui media terjemahan ini dapat kita ungkap”.[16]



2. Ledwig Figoo Morates; pada tahun 1698 menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Latin dengan mukadimah tujuan dan catatan kaki bahwa usaha itu dilakukan untuk kepentingan agama Kristen. Ia menulis: “keseluruhan dari tujuan penerjemahan dan penyebaran terjemahan ini adalah sebuah gerakan anti Islam dan defensif untuk kepentingan agama (Kristen) Katolik”.[17]



3. Petrus Agung; yang melakukan penerjemahan ke dalam bahasa Latin pada abad 12, menulis rahasia usahanya sebagai berikut; “….agama Islam merupakan bid’ah untuk agama Kristen, tapi yang terpenting dan paling berbahaya dari Islam harus dihapuskan. Bila aku ditanya; “penerjemahan ini tidak ada manfaatnya, sebab sedikitpun tidak akan merugikan Islam dan umatnya!” Aku akan menjawaq; “Meski dengan penerjemahan tersebut kita tidak akan bisa mengembalikan umat Islam ke dalam agama Kristen, minimal ulama Kristen mampu mengungkap kelemahan al-Qur’an, akan memperkuat iman umat Kristen menghadapi dakwah agama Islam, dan al-Qur’an yang tidak memiliki keistimewaan apa-apa tidak akan mampu mengubah akidah mereka (umat Kristen).[18] Walhasil, sebab tujuan utama Petrus dalam penerjemahan ini adalah untuk mengetahui dan mengungkap kelemahan al-Qur’an sekaligus menyiapkan penyerangan. Selain itu, pada tahun 1143 sekembalinya dari Spanyol, ia menulis buku anti Islam, dengan inti sebagai berikut; membuktikan ketiadaan perubahan dalam Taurat dan Injil, penyerangan terhadap nabi Muhammad, membuktikan ketiadaan mukjizat nabi dan kebid’ahan Islam.[19] Sayang memang, barat terlalu sering mengenakan topeng. Buntungnya, umat Islam bukan hanya terkesan keasyikan dengan tarian-tarian barat, mereka malah tidak mau sadar, bahwa yang ditampilkan adalah topeng, sebuah dagelan pembodohan sedang diperankan. Menyedihkan memang, umat islam sudah terbiasa dibodohi dan menerima pembodohan itu sebagai kebenaran.


MAKALAH PERTANYAAN DAN JAWABAN DALAM AL QURAN


PENDAHULUAN

Dalam suatu komunikasi atau dialog biasanya akan terjadi tanya jawab. Sebuah jawaban akan hadir bila ada pertanyaan dan biasanya setiap jawaban harus sesuai dengan apa yang ditanyakan. Dari sini dapat diketahui bahwa jawaban yang baik adalah yang sesuai dengan yang ditanyakan dan sesuai dengan konteks pembicaraan.

Sebagai ilustrasinya, kita sering dihadapkan pada situasi di mana kita harus berkomunikasi dengan orang lain, baik kepada orang yang kita kenal maupun dengan orang yang belum kita kenal. Bila kita ditanya, siapakah namamu? maka jawaban yang kita berikan adalah nama saya anu. Dari mana asalmu? Maka kita jawab, saya dari kota X, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang sejenis.

Dari ilustrasi di atas, maka bisa dipahami bahwa setiap pertanyaan yang diajukan pasti akan dijawab sesuai dengan pertanyaan. Atau dengan kata lain, bahwa setiap pertanyaan, membutuhkan jawaban yang sesuai dengan pertanyaannya. Dengan adanya kesesuaian antara pertanyaan dan jawaban, maka akan terpenuhilah apa yang menjadi keinginan si penanya. Inilah kaidah yang umumnya berlaku dalam suatu komunikasi.

Al-Qur’an sebagai kitab suci yang menjadi petunjuk umat manusia, di dalamnya terdapat ayat-ayat yang berupa pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban yang menunjukkan kepada manusia bahwa telah ada suatu dialog atau pembicaraan yang terjadi di masa lalu dan pada masa al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.

Bentuk-bentuk pertanyaan atau jawaban tersebut, baik yang diajukan oleh umat-umat terdahulu kepada nabi-nabi Allah atau pembicaraan lainnya direkam dan diabadikan oleh Allah SWT di dalam al-Qur’an untuk dijadikan i’tibar (pelajaran) bagi umat manusia dan sekaligus al-Qur’an menunjukkan sebuah gaya bahasa dialog yang baik, dilihat dari berbagai bentuk pertanyaan dan jawaban yang ada.

Makalah ini akan memaparkan beberapa bentuk atau model pertanyaan dan jawaban yang ada dalam al-Qur’an. Bentuk-bentuk tersebut oleh para mufassir telah dijelaskan dalam kitab-kitabnya yang menjadi rujukan dalam makalah ini sehingga memudahkan kita untuk mengetahui konteks pembicaraan yang terdapat di dalam al-Qur’an. Semoga makalah ini dapat bermanfaat. Amiin

BENTUK-BENTUK PERTANYAAN DAN JAWABAN
Secara defenitif, dinamakan sebuah pertanyaan (al-su’al) sebagai sebuah perkataan yang menjadi permulaan (ibtida’). Sedangkan jawaban (al-jawab) merupakan perkataan yang dikembalikan kepada si penanya atau kepada konteks pembicaraan. Syeikh Khalid Abd al-Rahman al-‘Akk dalam bukunya Ushul al-Tafsir wa Qawa’iduhu menjelaskan bahwa di dalam al-Qur’an terdapat bentuk-bentuk pertanyaan dan jawaban yang dapat dibagi atas beberapa bentuk, yaitu: Jawaban yang bersambung dengan pertanyaan; Jawaban yang terpisah dari pertanyaan; Jawaban yang tersembunyi; Jawaban yang hanya menyebutkan pertanyaan; Dua jawaban untuk satu pertanyaan; Satu jawaban untuk dua pertanyaan; Jawaban yang mahdzuf; Jawaban yang tidak berhubungan dengan pertanyaan; Jawaban yang terdapat pada konteks pembicaraan; Jawaban yang terdapat pada akhir pembicaraan; Jawaban yang masuk kedalam pertanyaan; Jawaban yang tergantung pada suatu masa atau waktu; dan Jawaban yang berupa larangan. (al-‘Ak, 1994: 318)

Jawaban yang bersambung dengan pertanyaan adalah pertanyaan dan jawaban yang terdapat pada satu ayat dan tidak terpisah dengan ayat selanjutnya. Contoh dari jawab maushul ini banyak terdapat pada surat al-Baqarah yaitu pada ayat 189, 215, 217, 219, 220, 222 dan pada surat-surat yang lain. Misalnya pertanyaan tentang madza yunfiqun:

ﻴﺴﺌﻠﻮﻧﻚﻤﺎﺫﺍ ﻳﻧﻔﻗﻭﻦ ﻗﻞﺍﻠﻌﻔﻭ

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan? Katakanlah: yang lebih dari keperluan….” (QS. al-Baqarah: 219).

Jawaban yang terpisah dengan pertanyaan. Jawaban ini dibagi menjadi dua jenis: pertama, pertanyaan dan jawaban yang berada pada satu surat. Sebagaimana firman Allah: “ Dan mereka berkata: mengapa rasul ini memakan makanan” (QS. Al-Furqan:7) dan jawabannya: “Dan kami tidak mengutus rasul-rasul sebelum kamu melainkan mereka sungguh memakan makanan” (QS. Al-Furqan: 20). Kedua, pertanyaan dan jawaban terpisah pada dua surat, sebagaimana firman Allah: “ Siapakah yang Maha pemurah” (QS. Furqan: 60), maka jawabannya terdapat dalam surat yang lain: “ Tuhan yang Maha pemurah. Yang telah mengajarkan al-Qur’an. Dia telah menciptakan manusia.”(QS. Al-Rahman: 1-3).

Jawaban yang tersembunyi yaitu adanya pertanyaan dalam sebuah ayat, namun tidak ditemukan jawabannya atau tersembunyi. Misalnya firman Allah: “ Dan sekiranya ada suatu bacaan (kitab suci) yang dengan bacaan itu gunung-gunung dapat diguncangkan, atau bumi jadi terbelah atau oleh karenanya, orang yang sudah mati dapat berbicara..” (QS. Al-Ra’du: 31). Pada ayat tersebut tidak terlihat atau tersembunyi jawabannya, sedangkan jawaban dari pertanyaan tersebut tak lain adalah kitab suci al-Qur’an.

Jawaban yang hanya menyebutkan pertanyaan. Bentuk jawaban seperti ini terdapat dalam firman Allah:

ﻮﻤﺎﻛﺎﻦﺍﷲ ﻟﻴﺿﻴﻊﺍﻴﻤﺎﻧﻛﻡ

“Dan tidaklah Allah akan menyia-nyiakan iman kamu” (QS. Al-Baqarah: 143)

Jawaban ini merupakan jawaban dari orang-orang yang menanyakan kepada Nabi Muhammad saw: bagaimana dengan mereka yang salat ke arah Baitul Maqdis sebelum pemindahan kiblat ke Baitullah?.

Dua jawaban untuk satu pertanyaan. Seperti firman Allah: “Mengapa al-Qur’an tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif)” (QS. Zukhruf: 31). Terdapat dua jawaban atas pertanyaan tersebut: pertama, “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhan-mu” (QS. Zukhruf: 32) kedua, “Dan Tuhan-mu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya” (QS. Qashash: 68)

Satu jawaban untuk dua pertanyaan. Seperti firman Allah: “Dan sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua, dan Allah maha penyantun lagi maha penyayang (niscaya kamu mendapat azab yang besar)” (QS. Nur: 20). Ayat tersebut merupakan jawaban dari dua pertanyaan yang terdapat pada hadis ifqi.

Jawaban yang mahdzuf. Contohnya seperti firman Allah: “Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan dari Tuhannya..” (QS. Muhammad:14). Jawabannya adalah mahdzuf, yakni keadaan seseorang tersebut sama seperti keadaan orang yang menginginkan perhiasan kehidupan dunia. (al-‘Ak, 1994: 319) Jika dilihat lanjutan ayat disebutkan bahwa: ..sama dengan orang yang (syaitan) menjadikan dia memandang baik perbuatannya yang buruk itu dan mengikuti hawa nafsunya?. Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah membandingkan antara orang yang berpegang dengan keterangan Allah dengan orang yang mengikuti syaithan dan hawa nafsunya. Mahdzuf dari pertanyaan ini bahwa pertanyaan pertama sudah cukup untuk menggugurkan pertanyaan yang kedua.

Jawaban yang tidak berhubungan dengan pertanyaan. Sebagaimana firman Allah: “Dan Ibrahim ketika ia berkata kepada kaumnya: Sembahlah Allah dan bertaqwalah kepada-Nya, yang demikian itu lebih baik bagimu” (QS. Al-Ankanbut: 16) jawabannya: “Maka tidak ada jawaban dari kaum Ibrahim kecuali mengatakan, bunuhlah! Atau bakarlah dia.” (QS. Al-Ankanbut: 24)

Jawaban yang terdapat pada konteks pembicaraan. Sebagaimana firman Allah: “Shad. Demi al-Qur’an sebagai pengingat” (QS. Shad: 1) jawaban tersebut merupakan jawaban atas dugaan kaum kafir bahwa Nabi Muhammad saw., bukanlah rasul yang haq, maka turunlah ayat ini yang dikuatkan dengan sumpah sebagai penguat atas risalah Nabi saw.

Jawaban yang terdapat pada akhir pembicaraan. Sebagaimana firman Allah: “Sungguh ada yang mengatakan (jumlah mereka) adalah tiga.” Jawabannya terdapat pada akhir ayat: “Katakanlah, Tuhan-ku yang lebih mengetahui jumlah mereka” (QS. Khafi: 22) Jawaban yang masuk kedalam pertanyaan. Sebagaimana firman Allah: “…barang apakah yang hilang dari kamu? Mereka berkata: kami kehilangan tempat minum raja” (QS. Yusuf: 71-72)

Jawaban yang tergantung pada suatu waktu atau masa. Sebagaimana firman Allah: “Berdoalah, niscaya akan Ku-kabulkan bagimu”(QS. Mukminun: 60). Kemudian para sahabat bertanya: kapan waktu dikabulkannya doa? Maka turunlah firman Allah: “Dan apabila hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwa aku sangat dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memenuhi segala perintahku, dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka tetap dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah: 186). Jadi apabila bila seseorang ingin dikabulkan doanya kepada Allah, maka waktu dikabulkannya doa tersebut adalah pada saat seseorang benar-benar beriman dan mematuhi segala perintah dari Allah SWT.

Jawaban yang berupa larangan. Sebagaimana firman Allah: “Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam dirinya.” (QS. Al-Ahzab: 32) ini merupakan jawaban sekaligus larangan terhadap para istri nabi dan rasul untuk tidak menundukkan wajah ketika berbicara pada orang lain karena akan menimbulkan mudharat bagi istri-istri nabi dan rasul tersebut. (al-A’kk, 1994: 320)

KAIDAH PERTANYAAN DAN JAWABAN
Menurut kaidah umum, setiap jawaban harus sesuai dengan pertanyaan dan terkadang jawaban tersebut harus diulang terhadap pertanyaan atau persoalan yang merupakan peringatan. Pertanyaan yang baik adalah pertanyaan yang paling sesuai dan cocok untuk dipertanyakan. (al-Qathan, 1988: 205). Begitu juga sebaliknya, jawaban yang baik adalah harus sesuai dengan yang apa dipertanyakan oleh si penanya.

Kaidah yang berlaku umum apabila yang dipertanyakan tentang diri seseorang dengan menggunakan pertanyaan “siapa engkau” maka jawabannya adalah “saya anu”. Kaidah semacam ini adalah dapat dilihat dalam kisah perjumpaan Nabi Yusuf dengan saudara-saudaranya. (al-Zarkasyi, 1988:54) sebagaimana terdapat dalam surat Yusuf ayat 90:

ﺃﺌﻧﻚﻷﻧﺖﻳﻮﺴﻒ ﻗﺎﻞﺃﻧﺎﻴﻮﺴﻒ
Sekalipun kaidah umum mengatakan bahwa pertanyaan (al-su’al) harus sesuai dengan jawaban (al-jawab), namun dalam al-Qur’an ditemukan kaidah lain yang menyatakan bahwa bentuk jawaban yang diberikan tersebut menyimpang dari apa yang dimaksudkan oleh pertanyaan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan peringatan kepada si penanya bahwa jawaban itulah yang seharusnya dipertanyakan. Jawaban yang demikian oleh al-Sakakiy disebut sebagai uslub al-hakim. (al-Suyuthi, 1996: 199; al-Zarkasyi, 1988: 50). Dalam al-Qur’an, kasus semacam ini seperti ditunjukkan dalam QS. al-Baqarah: 189.

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit (hilal). Katakanlah: bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.” (QS. 2: 189)

Pada ayat di atas, redaksi yang digunakan adalah redaksi tanya jawab, yaitu dengan menggunakan bentuk lafazd sa’ala. Asbab al-Nuzul ayat ini adalah bahwa ada sekelompok orang menanyakan kepada Rasulullah saw tentang bulan sabit. (al-ahillah), kenapa ia semula tanpak kecil seperti benang, kemudian, lama-kelamaan berubah sedikit demi sedikit menjadi purnama, lalu ia menyusut kembali seperti keadaan semula?. (al-Naisabury, 1988: 32)


Secara logika, pertanyaan itu seharusnya dijawab dengan menerangkan proses perubahan yang terjadi pada bulan tersebut. Namun terhadap pertanyaan yang demikian itu, jawaban yang diberikan al-Qur’an kepada mereka adalah berupa penjelasan tentang hikmahnya, dengan alasan untuk mengingatkan mereka bahwa yang lebih penting untuk dipertanyakan adalah hikmah dari bulan sabit, bukan seperti yang mereka pertanyakan.

Jawaban al-Qur’an yang demikian itu, bisa jadi karena ada asumsi lain bahwa yang dipertanyakan tidak terpaku pada bulan sabit semata, tapi juga menginginkan manfaat atau hikmah dibalik kejadian yang demikian itu. Jika memang demikian halnya, maka jawaban al-Qur’an itu tidak menyalahi kaidah umum yang berlaku. Dengan demikian, ada kesesuaian antara pertanyaan dan jawaban.

Selanjutnya, terkadang sebuah jawaban bersifat lebih umum dari apa yang dipertanyakan, karena memang demikianlah yang dikehendaki. Seperti dalam QS. al-An’am: 64.

“Katakanlah: Allah menyelamatkan kamu daripada bencana itu dan dari segala macam kesusahan, kemudian kamu kembali menyekutukan-Nya” (QS. 5: 64)

Ayat di atas merupakan jawaban dari pertanyaan yang disebutkan pada ayat sebelumnya, yaitu: “Katakanlah, Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut..?” (QS. 5: 63)

Redaksi ayat ini secara eksplisit mempertanyakan tentang siapakah orang yang mampu menyelamatkan dari bencana yang ada di darat dan di laut. Artinya, bahwa teks ayat ini hanya menyebutkan dua bencana, yaitu di darat dan di laut. Namun jawaban yang diberikan al-Qur’an terhadap pertanyaan itu, sebagaimana ditunjukkan oleh ayat sesudahnya, bahwa Allah-lah yang akan menyelamatkan dari bencana tersebut, baik di darat maupun di laut, bahkan Allah juga akan menyelamatkannya dari segala macam bentuk kesususahan. Dengan demikian, jawaban yang diberikan al-Qur’an tersebut bersifat lebih umum dan lebih konprehensif dari apa yang dipertanyakan.

Contoh jawaban yang lebih umum dari pertanyaan, juga dapat dijumpai pada QS. Thaha: 18. (al-Zarkasyi, 1988: 53) “berkata Musa: Inilah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.” (QS. 20: 18)

Teks ayat di atas merupakan bentuk jawaban dari pertanyaan yang disebutkan pada ayat sebelumnya, yaitu: “apakah itu, yang di tangan kananmu, hai Musa?”. (QS. 20: 17)

Dalam teks ayat ini, sebenarnya Allah hanya mempertanyakan kepada Nabi Musa perihal apa yang ada di tangan kanannya. Kemudian, pertanyaan itu oleh Nabi Musa dijawab bahwa yang ada di tangan kanannya adalah tongkat. Dengan jawaban yang demikian, sebenarnya sudah mencukupi bagi si penanya dan sudah dapat dipahami. Namun, Nabi Musa menambahkan dalam jawabannya sesuatu yang terkait dengan fungsi tongkat tersebut, yaitu untuk bertelekan, memukul daun, dan beberapa fungsi lainnya. Hal yang demikian, dilakukan Nabi Musa karena ia merasa senang dengan pertanyaan Allah yang dilontarkan kepadanya. (Ichwan, 2002: 77)

Kadang-kadang bentuk jawaban terhadap suatu pertanyaan yang diajukan bersifat lebih sempit cakupannya dari apa yang dipertanyakan, karena memang demikianlah yang dikehendaki. Bentuk jawaban semacam ini terdapat dalam surat Yunus ayat 5:

“katakanlah: tidak patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri.” (QS. 10:15)

Ayat ini sebagai jawaban terhadap pertanyaan yang disebutkan sebelumnya yang masih dalam ayat yang sama, yaitu: “Datangkanlah al-Qur’an yang lain dari ini atau gantilah dia.”

Dalam teks ayat di atas, setidaknya ada dua pertanyaan pokok, yaitu perintah untuk mendatangkan al-Qur’an yang lain, selain al-Qur’an yang sudah ada, dan jikalau tidak dapat, maka disuruh untuk menggantinya. Terhadap pertanyaan ini, jawaban yang diberikan al-Qur’an tidak mencakup kedua hal dimaksud, tetapi hanya terpokus pada satu hal, yaitu yang terkait dengan perintah menggantinya. Jawaban yang diberikan al-Qur’an memang demikian. Hal ini mengingat bahwa mengganti itu lebih mudah daripada menciptakan kembali. Jika mengganti saja sudah tidak mampu, apalagi untuk menciptakan, pasti akan lebih sulit.

Al-Qur’an juga menyebutkan beberapa pertanyaan yang tidak perlu untuk dijawab, karena sudah jelas bahwa yang mengetahui jawabannya hanya Allah. Misalnya pertanyaan yang diajukan kaum musyrikin tentang hari kiamat dan kapan terjadinya (QS. al-A’raf: 187) dan tentang hari berbangkit (QS. al-Ahzab: 63). Selain itu, ada beberapa bentuk pertanyaan yang diulang-ulang oleh mereka, padahal sebenarnya tidak ada manfaatnya, maka kita akan temukan jawabannya: Sesungguhnya hanya Allah-lah yang tahu. Contoh lain dari pertanyaan yang kurang berarti, seperti tentang gunung atau jabal. (Qardhawi,1998: 245)

ﻭﻴﺴﺌﻠﻮﻧﻚﻋﻦﺍﻠﺟﺒﺎﻞ ﻓﻗﻞﻴﻧﺴﻓﻬﺎﺮﺒﻲﻧﺴﻓﺎ

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang gunung-gunung, maka katakanlah: Tuhan-ku akan menghancurkannya (di ahri kiamat) sehancur-hancurnya.” (QS. Thaha: 105)

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sebagian datang kaum Yahudi, seperti pertanyaan tentang roh, atau tentang Dzulkarnain.

Akan tetapi, sebagian besar pertanyaan yang datang dari orang-orang Islam atau para sahabat Rasulullah saw., meski sangat sedikit, namun semuanya mempunyai bobot ilmiah yang baik. Baik pertanyaan itu yang berkaitan dengan kehidupan manusia maupun tantang alam sekitar. Seperti pertanyaan tentang perhitungan bulan (hilal), pertanyaan yang apa yang harus diinfaqkan (madza yunfiqun). Pertanyaan ini terulang dua kali dalam surat al-Baqarah dan jawaban dari dua pertanyaan ini berbeda. Pertama, menunjukkan ukuran harta yang harus diinfaqkan. Kedua, apa yang harus diinfaqkan.

Contoh lain pertanyaan-pertanyaan dalam al-Qur’an, adalah pertanyaan tentang arak (khamar) dan judi (QS. al-Baqarah: 219). Karena pada waktu itu sebagian umat muslim masih meminum khamar dan berjudi, sehingga turun ayat yang secara tegas mengharamankannya, yaitu pada surat al-Maidah. (al-Shan’ani, 1989: 88). Selain pertanyaan tersebut, khususnya dalam surat al-Baqarah dapat dijumpai pertanyaan-pertanyaan lainnya, seperti pertanyaan tentang haid, anak yatim, apa yang dihalalkan dan sebagainya.

CIRI-CIRI AYAT-AYAT PERTANYAAN
Pertanyaan-pertanyaan dalam al-Qur’an banyak dijumpai dengan menggunakan kata tanya (ism al-istifham). Ism istifham yang digunakan dalam konteks ayat pertanyaan tersebut menggunakan beberapa kalimat, seperti: hal ﻫﻝ , maa ﻤﺎ , madza ﻤﺎﺬﺍ , ‘amma ﻋﻢ, ayyu ﺍﻱ , man ﻤﻦ dan sebagainya. (Nadwi, 1996: 276). Adapun ayat-ayat pertanyaan yang menggunakan huruf istifham, atara lain:

ﻫﻝﺍﺘﺎﻚ ﺣﺪﻳﺚﺍﻠﻐﺎﺷﻴﻪ
ﺃﻔﺭﺃﻴﺘﻢ ﻣﺎﺗﺤﺭﺜﻮﻥ
ﻤﺎﺬﺍﺃﺮﺍﺪﺍﷲ ﺑﻬﺬﺍ ﻣﺜﻶ
ﻋﻢ ﻴﺗﺴﺎﺀﻟﻮﻦ
ﺍﻴﻜﻢ ﺰﺍﺪﺗﻪﻫﺬﻩ ﺇﻴﻣﺎﻧﺎ
ﻤﻦﺧﻟﻖﺍﻠﺳﻣﻮﺍﺕ ﻮﺍﻷﺮﺾ

Selain memakai ism al-istifham, al-Qur’an juga menggunakan kalimat sa’ala yang menunjukkan secara langsung bahwa konteks ayat tersebut adalah berupa pertanyaan. Ibnu Abbas menyebutkan bahwa pertanyaan kaum Muslimin kepada Nabi Muhammad saw, dengan menggunakan kalimat sa’ala atau yas’alunaka ada empat belas tempat, yaitu: QS. al-Baqarah: 186, 189, 215, 217, 219, 220, 222; QS. al-Maidah: 4; QS. al-Anfal: 1; QS. al-Isra’ 85; QS. al-Kahfi: 83; QS. Thaha: 105; dan QS. al-Nazi’at: 42. (al-Zarkasyi, 1988: 62)

Sementara al-Qardhawi, menyebutkan terdapat sebelas pertanyaan sahabat di dalam al-Qur’an. Tujuh di antaranya terdapat dalam surat al-Baqarah, satu dalam surat al-Maidah, dan yang lain dipermulaan surat al-Anfal. Kesemuanya menggunakan kalimat yas’alunaka, dan dua pertanyaan tentang wanita dengan kalimat yastaftunaka, ditambah satu pertanyaan dalam surat al-Baqarah ayat 186 dengan kalimat sa’alaka.

ﻭﺍﺬﺍ ﺴﺄﻠﻚﻋﺑﺎﺪﻱﻋﻧﻲﻓﺈﻧﻲﻗﺮﻴﺐ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasannya Aku adalah dekat…”(QS. al-Baqarah: 186)

Adapun lafadz pertanyaan, bila digunakan untuk meminta suatu pengertian, maka terkadang ia bermuta’addi kepada maf’ul kedua (maf’ul tsaniy) secara langsung dan terkadang menggunakan kata bantu ‘an ﻋﻦ seperti dalam surat al-Isra’ ayat 85, yaitu pertanyaan tentang ruh. Dan apabila dipergunakan untuk meminta sesuatu benda atau yang sejenis, maka ia bermuta’addi kepada maf’ul kedua secara langsung dengan menggunakan kata bantu min ﻤﻦ , namun cara yang disebutkan pertama lebih banyak dipakai. (al-Qathan, 1988: 206)

Terdapat beberapa bentuk pertanyaan dan jawaban dalam al-Qur’an. Bentuk dan pola-pola tersebut menunjukkan bahwa al-Qur’an memberikan gambaran kepada umat manusia tentang berbagai dinamika dalam suatu tanya jawab dan dialog. Dari berbagai dialog atau pembicaraan yang terjadi di masa lalu, tentunya umat manusia dapat mengambil hikmah dan pelajaran, baik dalam segi konteks atau maksud pembicaraannya maupun dalam segi gaya berkomunikasi dan respon yang diberikan terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sangat pantas disebutkan bahwa salah satu segi kemukjizatan al-Qur’an adalah dari segi cara al-Qur’an memberikan atau menjawab pertanyaan tersebut dengan sangat sempurna sekaligus memiliki gaya bahasa yang tinggi.


No comments:

Post a Comment

 
back to top