Tuesday, 10 April 2018

MAKALAH STUDI SEJARAH

0 Comments

STUDI SEJARAH

Sejarah ditulis untuk mengingat dan mengetahui peristiwa masa lalu, untuk mengambil ibrah (pengajaran) yang dapat disingkap melalui pembacaan yang komprehensif. Dalam lintasan sejarah waktu, Islam sebagai suatu entitas religius dalam komunitas insani telah meninggalkan warisan panjang berupa historiografi. Sejarah merupakan sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang berdasarkan kepada fakta dan peristiwa. Tanpa adanya fakta maka suatu peristiwa tidak dapat diketahui kebenarannya dan tidak dapat dibuktikan. Sejak dikenal sebagai suatu bidang ilmu pengetahuan, sejarah dimulai dengan berdasarkan teori, pengertian, falsafah dan kaedahnya,maka sejarah menjadi suatu kajian yang ilmiah berdasarkan kepada fakta dan peristiwa sehingga memiliki objek kajian penelitian untuk meneliti suatu kejadian yang telah terjadi. Secara umum, terdapat masalah-masalah yang dihadapi dari berbagai aspek istilah dan disiplin ilmu tersebut. Persoalan-persoalan tersebut menggambarkan adanya peristiwa sejarah. Dan juga melambangkan keistimewaan dan keunikan sejarah tertentu. Keberadaan sejarah tersebut menjadi istimewa karena sejarah merangsang manusia untuk terus membicarakan tentang keberadaannya, kedudukannya, serta kesejarahannya dan harapan untuk mendapatkan sesuatu manfaat dari padanya. 

Penulisan tentang sejarah merupakan rekontruksi peristiwa yang terjadi di masa lalu. Penulisan ini baru dapat dilaksanakan apabila telah dilakukan penelitian. Karena tanpa adanya penelitian maka peristiwa sejarah tidak akan terungkap tanpa ada bukti-bukti yang dapat dipertanggung jawabkan. Dalam penelitian dibutuhkan kemampuan untuk mencari, menemukan dan menguji sumber-sumber yang ada dan menguji kebenarannya. Sedangkan dalam penulisan sejarah dibutuhkan kemampuan menyusun fakta-fakta yang bersifat fragmentaris, keadaan suatu uraian yang sistematis, utuh dan komunikatif. Keudanya membutuhkan kesadaran teoritis yang tinggi serta imajinasi yang tinggi pula tentang historis. Sehingga sejarah yang dihasilkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang “apa, siapa, dimana, dan apabila, juga termasuk dalam menjawab pertanyaan bagaimana, mengapa dan apa jadinya”.[1]

Begitu juga dalam histotiografi Islam, sejak masa awal Islam hingga saat sekarang ini, yang juga merupakan peristiwa sejarah. Untuk itu perlu dikaji tentang studi sejarah untuk dapat memahami konsepsi keilmuan sejarah dalam khazanah intelektual Islam. Dalam makalah ini akan dibahas tentang istilah-istilah kunci yang dipakai dalam sejarah, historiografi Islam priode awal, sejarah Islam dan sejarah muslim, pendekatan utama dalam studi sejarah, sejarawan terkemuka dan karya-karyanya, dan perkembangan terakhir historiografi Islam.


A. Istilah-istilah Kunci

Ayyam

Untuk mengetahui secara mendalam sejarah perjalanan dan warisan asli penduduk jazirah Arab pada masa dahulu (masa jahiliyah). Perhatian ini diarahkan kepada tradisi-tradisi yang menyerupai sejarah, itulah yang disebut dengan al-ayyam. Al-Ayyam secara bahasa, ayyam berarti hari-hari, namun maksud dan kandungannya adalah cerita tentang kepahlawanan seseorang, kemenangan di medan perang. [2]

Sirah

Secara etimologi sirah diambil dari kata Saara, maksudnya adalah berjalan atau merantau. Sirah maksudnya perjalanan hidup seseorang. Hal ini terkait dengan sejarah seseorang dimulai sejak kelahirannya, karakternya, perjuangannya, sumbangsihnya dan seterusnya hingga kematian. Di dalam syariat sirah ini sering terkait dengan sejarah kehidupan nabi Muhammad saw. Dari segi bahasa, sirah bisa juga diartikan sebagai biografi seseorang. Dalam makna yang lebih luas, sirah adalah karya sejarah tentang kehidupan nabi Muhammad, sahabat-sahabatnya, keluarganya dan pengikutnya, dalam rangka menegakkan agama dan menyebarkan risalah ajaran Islam.

Orang yang pertama membuat kerangka yang jelas bagi penulisan sirah (riwayat hidup nabI) adalah Al-Zuhri. Inilah yang menjadi acuan bagi sejarawan berikutnya. Muhammad Ibn Ishaq adalah salah seorang murid Al-Zuhri yang meneruskan penulisan al-Sirah al-Nabawiyah, yang lebih dikenal dengan sirah Ibn Ishaq. Yang dipersembahkan kepada Abu Zafar Al-Mansur, yaitu Khlaifah Bani Abbas yang kedua. Karyanya ini tidak sampai kepada generasi sekarang, tetapi sebagian besar diantaranya dikutip oleh sejarawan yang datang sesudahnya. Terutama sekali oleh Ibn Hisyam di dalam karyanya “Al-Sirah Nabawiyah” yang lebih dikenal dengan nama Sirah Ibn Hisyam. [3]

Thabaqat

Thabaqat berarti lapisan. Transisi masyarakat dari satu lapisan atau kelas dalam penggantian kronologis generasi mudah dilakukan. Sebagaimana qarn yang mendahului arti thabaqat, yang dalam penggunaannya berarti generasi. Ahli-ahli leksikografi mencoba menetapkan ukuran panjang yang pasti dari thabaqat. Sebagian mereka menentukan suatu lapisan generasi itu 20 tahun sedang lainnya 40 tahun. Ada juga yang berpendapat thabaqat itu 10 tahun.

Pada mulanya, sebagai contoh dalam karya Ibn Sa’ad, penyusun thabaqat dipergunakan sebagai biografi para penguasa yang penting dalam pemindahan hadits. Dalam sejarah lokal, semacam karya Washal Sejarah Wasith di dalamnya hanya dibatasi para perawi hadits. Kemudian dapat diperguanakan untuk kelas-kelas kelompok pribadi terutama yang tergolong ulama. Selanjutnya juga digunakan untuk klasifikasi kejadian-kejadian sebagaimanay yang terdapat dalam kitab al-Dzahabi yang berjudul Tarikh al-Islam wa Thabaqati Masyahir al-‘Alam. [4]

Yang penting dalam karya thabaqat ini ialah untuk memperoleh suatu gambaran yang nyata tentang apa yang sebenarnya harus dicari dan diteliti. Dalam karya Abu Ishaq yang berjudul Thabaqat al-Fuqaha' seseorang menginginkan sebanyak mungkin informasi, sehingga memungkinkan mereka untuk mendapatkan biografi tokoh dalam suatu wilayah dan lokasi.[5] Cara alfabetis penyusunan biografi ini banyak memberikan kemudahan bagi generasi selanjutnya. Dalam kitab al-Dibaj yang disusun oleh Ibn Farhun (abad 14 M), ulama-ulama Malikiyah diuraikan sesuai nama mereka, dan ini dibagi ke dalam thabaqat kemudian thabaqat disusun menurut geografis.[6]

Hikayat

Hikayat berasal dari bahasa Arab yang berarti kisah, cerita dan dongeng.[7] Istilah ini masuk kedalam sastra Indonesia yang kemudian diartikan sebagai suatu cerita yang berbentuk prosa dengan alur cerita yang panjang dengan menggunakan gramatikal syair klasik dan biasanya mengisahkan tentang cerita rekaan atau dongeng kepahlawanan atau orang suci yang memiliki kesaktian atau keramat.

Manaqib

Manaqib diartikan dengan biografi disusun dalam kelompok yang disebut tabaqah. Karya ini mencakup sejarah hidup orang-orang besar, tokoh-tokoh terkemuka serta orang-orang penting yang telah meninggal dunia dalam waktu yang kira-kira sama. Didalam masyarakat Islam ada beberapa biografi yang dominan , yaitu biografi nabi Muhammad saw. Yang merupakan sumber utama bagi pembangunan masyarakat lama, biografi meriwayatkan kehidupan nabi Muhammad saw.

Tarajim

Tarajim , secara bahasa diartikan sebagai perjalanan dari rangkaian silsilah atau nasab tertentu.[8] Berdasarkan pengertian ini maka dapat dipahami bahwa tarajim adalah bentuk dari masa tertentu yang memiliki hubungan dengan masa sebelumnya. Masa itu tersusun secara kronologis dalam bentuk-bentuk peristiwa. Oleh karena itu yang menjadi landasan utamanya adalah mengetahui peristiwa yang terjadi pada masa lampau.

Tarikh

Taraikh dari segi bahasa berarti tanggal, masa atau waktu, namun dari segi istilah tarikh juga dapat berarti sejarah yang diambil dari kata “arkh” yang bermakna kepada catatan waktu sebuah peristiwa, dan tarikh secara aktual diindikasikan kepada waktu sebuah peristiwa khusus yang terjadi. Maksudnya adalah peristiwa silam yang berkaitan dengan suatu tokoh atau bangsa atau kaum atau negara. Namun perkataan tarikh dalam sifat umumnya, menunjukkan sebuah ilmu yang berusaha menggali peristiwa-peristiwa masa lalu agar tidak dilupakan, sepadan dengan pengertian history yang menunjukkan ilmu yang membahas peristiwa-peristiwa masa lalu, dan dalam pengertian itulah perkataan tarikh. Hasil dari penulisan sejarah atau tarikh inilah yang disebut dengan historiografi.


B. Historiografi Islam pada Periode Awal

Historiografi Islam merupakan penulisan tentang sejarah Islam yang dilakukan oleh orang Islam, baik oleh kelompok maupun perorangan dari berbagai aliran dan pada masa tertentu. Tujuan penulisannya adalah untuk menunjukkan perkembangan konsep sejarah, baik didalam pemikiran maupun didalam pendekatan ilmiah yang dilakukannya disertai dengan uraian-uraian mengenai pertumbuhan, perkembangan dan kemunduran serta bentuk-bentuk ekspresi yang dipergunakan dalam penyajian bahan-bahan sejarah. Kebanyakkan karya-karya Islam ditulis dalam bahasa Arab, dan banyak pula yang berbahasa lain seperti Persia dan Turki.

Sejarah Islam dapat dibagi kedalam beberapa periode, yaitu : periode klasik, periode pertengahan dan periode modern. Berdasarkan pembagian periodesasi sejarah Islam tersebut, maka untuk melihat awal perkembangan penulisan sejarah (historiografi) Islam, mau tidak mau harus dimulai pada periode awal. Pada awal mulanya umat Islam, karena keperluan dan kepentinga agama meriwayatkan hadis-hadis nabi, termasuk perang-perang yang pernah diikuti oleh nabi dan para sahabat yang yang juga berpartisipasi didalamnya. Penulisan hadis-hadis inilah yang dapat dikatakan sebagai cikal bakal penulisan sejarah Islam.

Historiografi Islam berkaitan erat dengan perkembangan ilmu pengetahuan agama Islam, dan kedudukkan sejarah didalam pendidikan Islam telah memberikan pengaruh yang menentukan tingkat intelektual penulisan sejarah. Historiografi Islam lebih mudah dipelajari dan dipahami dalam kerangka umum peradaban Islam. Dari beberapa penelitian kebudayaan menunjukkan bahwa Islam sebagai suatu agama dunia yang telah menunjukkan suatu perkembangan yang mengagumkan didalam sejarah dunia. Lebih jauh lagi Islam sebagai sebuah agama telah memancarkan pada suatu peradaban. Didalam perkembangan peradaban Islam, tradisi-tradisi kebudayaan asing diserap dan kemudian dimodifikasi dengan kebudayaan Islam, sedangkan yang tidak sesuai dihilangkan. Peradaban Islam menyajikan suatu sistem yang lengkap mengenai pemikiran dan tingkah laku yang berkembang sebagi suatu dorongan utama yang meliputi hubungan manusia dengan Tuhan,alam dan hubungan dengan manusia itu sendiri.

Adapun hal-hal yang mendorong perkembangan bagi penulisan sejarah Islam adalah :
Konsep Islam sebagai agama yang mengandung sejarah nabi Muhammad saw. Adalah sebagai puncak dan pelaksanaan suatu proses sejarah yang dimulai dengan terciptanya alam dunia ini. Nabi Muhammad juga merupakan pembaharu sosial agama yang melaksanakan kenabiannya dan untuk memberikan tuntunan bagi masa depan. Jadi nabi telah menyediakan suatu kerangka bagi suatu wadah sejarah yang sangat luas untuk diisi dan ditafsirkan oleh para sejarawan. Adanya kesadaran sejarah yang dipupuk oleh Muhammad saw. Peristiwa sejarah masa lalu dalam seluruh manifestasinya, sangat penting bagi perkembangan peradaban Islam. Apa yang dicontohkan oleh Muhammad saw. Semasa hidupnya merupakan kebenaran sejarah yang harus menjadi suri tauladan bagi umat Islam selanjutnya. Kesadaran sejarah yang besar ini, menjadi pendorong untuk penelitian dan penulisan sejarah.

Ada beberapa tahap perkembangan dalam menciptakan mekanisme sejarah, yaitu awalnya informasi disampaikan secara lisan, dan kemudian metode penyampaian lisan (oral transmission) dilengkapi dengan catatan tertulis yang tidak dipublikasikan, yaitu semacam pelapor catatan. Sebagian besar karya-karya Islam terdahulu banyak yang hilang, hal ini disebabkan karena tidak adanya lembaga penerbitan dan bahan-bahan tulis yang tahan lama, kemudian juga disebabkan pergantian kekuasaan sehingga karya-karya yang ditulis dibawah kekuasaan bani Umayyah (660-750 H) banyak dimusnahkan.

Dalam konteks perkembangan penulisan sejarah, perkembangan ini akhirnya menyebabkan semakin mendekatnya satu aliran dengan aliran yang lain, dan pada akhinya menjadi lebur. Hal itu disebabkan oleh gesekan budaya antara Islam yang baru lahir dan berkembang dengan bangsa oukimene (berperadaban) yang lain menyebabkan historiografi Islam mangambil corak dari filsafat dan budaya intelektual yang diterjemahkan maupun dikutip oleh penulis-penulis sejarah muslim. Pada masa kekhalifahan al makmun, ketika penerjemahan naskah Yunani dengan materi filsafat dan sejarah digalakkan melalui institusi Dar al-Hikmah , maka penulisan sejarah semakin marak.

Tokoh-tokoh historiografi pada abad kedua Hijrah adalah Muhammad Ibn Ishaq Ibn Yasir (W.150 H), ia sangat terkenal sebagai seorang ahli bidang sirah, karyanya yang sangat dikenal ialah al-sirah Nabawiyah juga lebih dikenal dengan sirah Ibn Ishaq yang dipersembahkan kepada Abu Ja’far al mansyur, khalifah bani Abbas kedua. Namun sirah Ibn Ishaq ini tidak sampai pada generasi sekarang. Tetapi sebagian besar diantaranya dikutip oleh sejarawan sesudahnya, terutama Ibn Hisyam dalam karyanya al-sirah al-Nabawiyah yang lebih dikenal dengan nama sirah Ibn Ishaq, al-Waqidi (W.207 H) dan Muhammad Ibn Sa’ad (W.230 H).

Setelah aliran aliran penulisan sejarah di masa awal Islam melebur dengan karya-karya Ibn Ishaq,al Waqidi, Muhammad Ibn Sa’ad.para sejarawan besar Islam semakin banyak bermunculan, hanya saja seorang sejarawan itu tidak dapat dikategorikan sebagai penganut aliran tertentu. Diantara sejarawan besar tersebut diantaranya adalah Ibn Qatadah al-dinawari (W.276 H), Al Ya’qubi (W.284 H), Al-badzury (W.310 H), Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir al Thabary (W.310 H), Al-Mas’udi (W.975 M).

Tugas utama ahli sejarah adalah menyusun apa yang benar-benar terjadi dan masalah pokok yang mereka hadapi adalah menyelidiki kebenaran informasi yang diperoleh baik secara lisan maupun melalui sumber-sumber tertulis. Pengamatan pribadi dalam pengertian sejarah kontemporer merupakan dasar dari pengetahuan sejarah dan cara yang paling ampuh untuk mengecek kebenaran sejarah. Selanjutnya sistem yang lebih lengkap dikembangkan oleh sarjana hadis, yaitu cara untuk menguji keaslian dan kebenaran hadis,telah dianggap dapat diterapkan untuk penelitian sejarah. Sejarah ditulis telah memberikan suatu wewenang pembuktian.

Ada beberapa sejarawan yang membicarakan metodologi historiografi Islam diantaranya adalah :
Karya Muhammad ibn Ibrahim al-iji, yaitu Tuhfatu al-Faqier ila Shahibi al-sarier, ditulis tahun 1381-1383 m. Ia adalah seorang sarjana Persia dengan kitabnya ini ia bertujuan untuk menyajikan informasi sejarah sebagaimana filsafat spekulatif telah melakukan untuk ilmu hadis, yaitu suatu pendekatan yang sistematis untuk menentukan kepastian kebenaran sejarah yang benar.
Muhyiddin Muhammad ibn Sulaiman al-Kafiyani (1386-1474 H). Ia menulis karya komprehensif tentang historiografi Islam, metode, masalah-masalahnya, dan sejarah . hal ini dituangkan dalam kitabnya Mukhtashar fi ilm al-tarikh,terbit di Kairo pada tahun 1463 H.


C. Sejarah Islam dan Sejarah Muslim

Sejarah Islam adalah peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lalu yang berkaitan dengan agama Islam. Islam memiliki ruang lingkup yang sangat luas, oleh karena itu maka penelitiannya harus dimulai dari proses pertumbuhannya, perkembangannya dan penyebarannya serta juga tokoh pembawa, pengembang dan penyebar Islam serta kemajuan dan kemunduran yang dicapai umat Islam dalam berbagai bidang. Korelasinya dalam hal ini maka banyak literature yang menguraikan sejarah Islam dengan spesifikasi tema tertentu seperti sejarah ummat Islam yang dikarang oleh Prof. Dr. Hamka.
Sedangkan sejarah muslim adalah peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lalu yang berkaitan dengan eksistensi umat Islam, sehingga secara kontekstual, sejarah muslim ini merupakan bagian yang integral dari sejarah Islam.


D. Pendekatan Utama Dalam Studi Sejarah

Pendekatan sejarah menjelaskan dari segi mana kajian hendak dilakukan, dimensi mana yang diperhatikan, unsur-unsur mana yang diungkapkannya, dan sebagainya. Deskripsi dan rekontruksi yang diperoleh akan banyak ditentukan oleh jenis pendekatan yang dipergunakan. Oleh karena itu ilmu sejarah tidak segan-segan melintasi serta menggunakan berbagai bidang disiplin atau ilmu untuk menunjang studi dan penelitiannya, yang didalam ilmu sejarah sudah sejak awal telah dikenalnya dan disebut sebagai ilmu-ilmu bantu sejarah (sciences auxiliary to histori). Diantara pendekatan dalam penelitian sejarah adalah sebagai berikut :

1. Pendekatan Manusia

Penelitian sejarah senantiasa berarti penelitian sejarah manusia. Fungsi dan tugas penelitian sejarah ialah merekonstruksi masa lampau manusia (the human past) sebagaimana adanya (as it was). Harus disadari sepenuhnya bahwa betapapun cermatnya suatu penelitian sejarah, dengan rekonstruksi semacam itu seorang sejarawan akan masih tetap menghadapi sejumlah problem yang tidak mudah. Dengan memberikan aksentuasi “sejarah manusia” untuk mengingatkan bahwa penelitian dan rekonstruksi sejarah hendaknya lebih berperspektif pada konsep manusia seutuhnya. Manusia adalah makhluk yang memiliki rohani dan jasmani. Rohani dengan manifestasinya dalam bentuk akal, rasa dan kehendak yang menjadi sumber eksistensi hanya nyata dalam realitas didalam alam jasmani. Perkembangan rohani manusia menjadi nampak dalam wadah agama, kebudayaan, peradaban, ilmu pengetahuan, seni dan teknologi. Manusia juga beraspek individu sekaligus bersosial, unik (particular), sekaligus umum (general). Keduanya sekaligus merupakan keutuhan (integritas), kesatuan (entitas), dan keseluruhan (totalitas). Rekonstruksi sejarahpun hendaknya utuh dan menyeluruh.

2. Pendekatan ilmu-ilmu sosial

Melalui pendekatan ilmu-ilmu sosial di mungkinkan ilmu sejarah memperoleh pemahamam yang lebih utuh mengenai makna-makna peristiwa sejarah.

a. Pendekatan Sosiologi

Pendekatan sosiologi dalam ilmu sejarah, menurut Max Weber, dimaksudkan sebagai upaya pemahaman interpretatif dalam kerangka memberikan penjelasan (eksplanasi) kausal terhadap perilaku-perilaku sosial dalam sejarah. Sejauh ini perilaku-perilaku sosial tersebut lebih dilekatkan pada makna subjektif dari seorang individu (pemimpin atau tokoh), dan bukannya perilaku massa. Pendekatan sosiologi dalam ilmu sejarah menghasilkan sejarah sosial. Bidang garapannya pun sangat luas dan beraneka ragam. Kebanyakan sejarah sosial berkaitan erat dengan sejarah sosial-ekonomi.

b. Pendekatan Antropologi

Antropologi dan sejarah pada hakikatnya memiliki objek kajian yang sama, ialah manusia dan pelbagai dimensi kehidupannya. Hanya bedanya sejarah lebih membatasi diri kajiannya pada peristiwa-peristiwa masa lampau, sedang antropologi lebih tertuju pada unsur-unsur kebudayaan. Kedua disiplin ilmu itu dapat dikatakan hampir tumpang tindih, sehingga seorang antropolog terkemuka, Evans-Pritchard, menyatakan bahwa ‘’Antropologi adalah sejarah’’. Hal yang sama dikemukakan pula oleh Arnold J. Toynbee(1889-1975) yang menyatakan bahwa tugas seorang sejarawan tidak jauh berbeda dari seorang antropolog, ialah melalui studi komparasi berusaha mempelajari siklus kehidupan masyarakat, kemudian dari masing-masing kebudayaan dan peradaban mereka ditarik sifat-sifatnya yang universal (umum).

Fakta yang dikaji dari kedua disiplin ilmu, antropologi dan sejarah, adalah sama. Terdapat tiga jenis fakta, ialah : artefak, socifact, dan mentifact. Fakta menunjuk kepada kejadian atau peristiwa sejarah. Sebagai suatu konstruk, fakta sejarah pada dasarnya sebagai hasil strukturisasi seseorang terhadap suatu peristiwa sejarah. Maka artefak sebagai benda fisik adalah konkret dan merupakan hasil buatan. Sebagai proses artefak menunjuk hasil proses pembuatan yang telah terjadi di masa lampau. Analog dengan hal itu maka socifact menunjuk kepada peristiwa sosial yang telah mengkristalisasi dalam pranata, lembaga, organisasi dan lain sebagainya. Sedang mentifact menunjuk kepada produk ide dan pikiran manusia. Ketiganya, artifact, socifact, dan mentifact, adalah produk masa lampau atau sejarah, dan hanya dapat dipahami oleh keduanya, antorpologi dan sejarah, dengan melacak proses perkembangannya melalui sejarah. Studi ini jelas menunjukkan titik temu dan titik konvergensi pendekatan antropologi dan pendekatan sejarah.

c. Pendekatan Ilmu Politik

Pengertian politik dapat bermacam-macam sesuai dari sudut mana memandangnya. Namun pada umumnya definisi politik menyangkut kegiatan yang berhubungan dengan negara dan pemerintahan. Fokus perhatian ilmu politik, karenanya, lebih tertuju pada gejala-gejala masyarakat seperti pengaruh dan kekuasaan, kepentingan dan partai politik, keputusan dan kebijakan, konflik dan konsessus, rekrutmen dan perilaku kepemimpinan, masa dan pemilih, budaya politik, sosialiasasi politik, masa dan pemilih, dan lain sebagainya. Apabila politik diartikan sebagai polity (kebijakan), maka definisi politik lebih dikaitkan dengan pola distribusi kekuasaan. Jelas pula bahwa pola pembagian kekuasaan akan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti sosial, ekonomi, dan kultural. Posisi sosial, status ekonomi, dan otoritas kepemimpinan seseorang dapat memberi peluang untuk memperoleh kekuasaan.

3. Pendekatan Psikologi dan Psikoanalisis

dengan menggunakan pendekatan psikologi dan psikoanalisis studi sejarah tidak saja sekedar mampu mengungkap gejala-gejala di permukaan saja, namun labih jauh mampu menembus memasuki ke dalam kehidupan kejiwaan, sehingga dapat dengan lebih baik untuk memahami perilaku manusia dan masyarakatnya di masa lampau. Terobosan pertama yang paling terkenal dalam menerapkan psikologi dalam (depth psychology) pada studi ilmu sejarah dilakukan oleh Erik H. Erikson. Ternyata konsep-konsep mengenai krisis identitas di masa remmaja dapat digunakan untuk mengeksplanasi perilaku tokoh-tokoh sejarah terkemuka. Mengenai mengapa Martin Luther tampil sebagai reformator, Mahatma Gandhi menjadi seorang pemimpin gerakan anti kekerasan (non violence) di India, dan Adolf Hitler tampil sebagai seorang yang anti Semitis, serta Sukarno sebagai orang anti kolonialisme dan imperialisme, dapat dilacak kembali melalui analisis kehidupan tokoh-tokoh tersebut di masa remaja mereka. Dengan demikian pendekatan psycho history yang dirintis oleh Erik H Erikson telah membuka suatu dimensi baru dalam studi sejarah.

4. Pendekatan Kuantitatif

Dengan pendekatan kuantitatif dimaksudkan sebagai upaya untuk mendeskripsikan gejala-gejala alam dan sosial dengan menggunakan angka-angka. Quantum, quantitas dalam bahasa latin berati jumlah. Oleh sebab menggunakan angka-angka, maka pendekatan kuantitatif mempersyaratkan adanya pengukuran (measurement) terhadap tingkatan ciri-ciri tertentu dari suatu gejala yang diamati. Pengamatan kuantitatif berupaya menemukan ciri-ciri tersebut, untuk kemudian diukur berdasarkan kriteria-kriteria pengukuran yang telah ditentukan. Hasil pengukuran itu berupa angka-angka yang menggambarkan kuantitas atau derajat kualitas dari kenyataan dan eksistensi gejala alam yang diukurnya. Data-data angka hasil pengukuran dari gejala-gejala alam ayang diamati itulah yang kemudian dianalisis, dicari derajat kuantitas, atau kualitasnya, dipelajari hubungannya antara gejala yang satu dengan yang lain, dikaji pengaruhnya terhadap suatu gejala, hubungan sebab-akibatnya, pendek kata dianalisis sesuai dengan tujuan peneliti.

Metode sejarah hingga sekarang lebih cenderung menggunakan pendekatan kualitatif. Harus diakui pendekatan kualitatif mengandung banyak kelemahan. Kelemahan-kelemahan itu adalah bersumber pada tiadanya kriteria yang jelas dalam penyusunan instrumentasi yang digunakan untuk mengukur kebenaran data dan fakta, serta tiadanya kaidah-kaidah umum, apalagi khusus, dalam metode dan teknik menganalisis hubungan antar berbagai peristiwa sejarah, hingga dengan demikian dalam menganalisis hubungannya, lebih banyak ditentukan oleh intuisi dan imaginasi peneliti yang kadar kebenarannya tidak dapat diuji secara empirik. Generalisasi sejarah tak pernah mendasarkan diri pada infreerensi dari hubungan antara besarnya sampel dengan jumlah populasi.

Penggunaan pendekatan kuantitatif dalam metode sejarah dapat memperkecil kelemahan-kelemahan tersebut di satu pihak, dan dapat memperbesar bobot ilmiahnya dalam analisis peristiwa-peristiwa sejarah di lain pihak. Penalaran berdasarkan tata-pikir dan prosedur statistik setidak-tidaknya dapat mengendalikan (mengontrol) analisis dan interprestasi berdasarkan pada pendapat-pendapat pribadi. Lebih jauh tata-fikir dan prosedur statistik dalam metode sejarah dapat membantu metodologi sejarah dalam mengefektifkan tugas-tugas ilmiahnya, ialah untuk memberikan penjelasan (eksplanasi), meramalkan (prediksi), dan mengendalikan (kontrol) terhadap gejala-gejala atau peristiwa-peristiwa sejarah. Dalam melakukan generalisasi, dengan demikian, sejarawan harus menjadi lebih berhati-hati dan dalam menganalisis hubungan kausal yang kompleks dan rumit dari berbagai peristiwa kiranya tidak mungkin lagi dapat diselesaikan dengan baik tanpa bantuan pendekatan kuantitatif. Pendek kata penggunaan pendekatan kuantitatif dapat mempertajam wawasan metode sejarah.


E. Sejarawan Terkemuka dan Karya-karyanya

Sebagian besar karya hisroriografi Islam adalah berkat jasa sarjana-sarjana terdidik dalam ilmu agama. Kegiatan penulisan mereka menyangkut pula penulisan sejarah seperti Bukhori (870), seorang pengumpul Hadits,ia menyusun pula biografi-biografi tokoh-tokoh agama dan menamakan bukunya dengan judul Al-Tarikh al-kabir dengan karya Sejarah tersebut,maka dengan demikian ia membentuk dirinya menurut kesadaran Islam sebagai seorang sejarawan.[9]

Sejarawan islam di istana merupakan bagian penting di beberapa istana, seperti istana dinasti yang lebih muda dari Persia dan Ottoman yang menyediakan fasilitas yang sangat mendorong untuk melakukan studi sejarah. Jumlah mareka tidak banyak, dan mereka berjasa dalam menghasilkan karya-karya terbaik dalam sejarah lisan. Misalnya :

a. Pada akhir abad ke-10, sejarawan seperti Mishkawayh (1030M) dan Hilal as-Sabi (1036M) merupakan pejabat pemerintah yang tidak hanya memiliki pengetahuan mendalam dalam urusan politik tapi juga berhasil dan sangat memahami filsafat dan ilmu-ilmu non agama.

b. Imad ad-Din al-Isfahani (1201M), karyanya Barg ash’sha’bi merupakan contoh terbaik dari suatu memori sejarah yang ditulis oleh seorang pejabat tinggi dengan menggunakan dokumen-dokumen dan buku harian. Karya ini merupakan model dari suatu karya besar historiografi diplomatis dalam Islam.[10]

Sejarawan Profesional, Merupakan orang-orang yang mengabdikan dirinya dalam menyusun karya-karya sejarah dan menganggap diri mereka atau dianggap oleh tradisi Islam sebagai sejawaran. Sejarawan profesional dalam pengertian modern hampir tidak ada dalam lingkungan abad pertengahan. Sejarawan ini misalnya Al-Mas’udi dan Al-Magrizi (1442M), pada masa kekuasaan dinasti Mamluk di Mesir.[11]

Tradisi Arab sebelum Islam telah menekankan unsur fakta konkret dalam sejarah, terlepas dari lingkungannya dan sedapat mungkin tidak mengalami perubahan oleh proses berfikir manusia. Bentuk dasar karya Islam adalah berupa pernyataan sederhana, peristiwa-peristiwa lepas, tanpa bobot, walaupun aneka ragam, penonjolan watak, semuanya disusun sekaligus tanpa suatu penjelasan mengenai sebab musababnya. Kebenaran sejarah, sebagaimana kebenaran agama telah dianggap terjamin oleh sifat jujur dari sejumlah orang yang menyampaikan suatu informasi secara berantai sehingga mereka disebut “rangkaian pemberi khabar” atau isnad.

Islam Dan Peradaban: 
Relasi Wahyu Ilahiyyah dan Budaya Insaniyyah

PENDAHULUAN

Sejarah peradaban Islam merupakan salah satu bidang kajian studi Islam yang banyak menarik perhatian para peneliti baik dari kalangan Muslim maupun non Muslim. Dengan mempelajari sejarah Islam, kita memungkinkan mengetahui masa-masa atau zaman kejayaan Islam, sehingga memungkinkan kita untuk bangga dan percaya diri sebagai umat Islam dan mengambil I’tibar. Demikian pula masa-masa kemunduran Islam dapat kita ketahui, dan kita dapat mengambil pelajaran dan pengalaman agar tidak terulang kembali (al muhafadzah ala qadim ash shalih wal ahdzu bi al jadid al ashlah) serta kita dapat menentukan langkah ke depan demi menemukan jalan alternatif demi kejayaan Islam. Kita semua sadar tentunya bahwa al-Islam ya’lu wala yu’la ‘alaihi.

Menyadari hal di atas, bidang kajian sejarah peradaban Islam merupakan suatu bidang kajian yang cukup signifikan untuk dipelajari. Untuk itu sebagai kerangka awal di paper ini dicoba dibahas tentang beberapa konsepsi dasar dari sejarah peradaban Islam, disini diuraikan tentang relasi islam sebagai wahyu ilahiyyah disatu sisi dan peradaban yang didalamnya juga termasuk kebudayaan--- pada sisi yang lain dan itu merupakan ranah kemanusiaan (insaniyah). 


B. Konsepsi Sejarah Islam

Sejarah adalah kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa yang lampau atau peristiwa penting yang benar-benar terjadi[1]. Definisi ini lebih menekankan pada materi peristiwa tanpa mengaitkan dengan aspek yang lainnya. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, sejarah adalah gambaran masa lalu tentang aktivitas kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang disusun berdasarkan fakta dan interpretasi terhadap objek peristiwa masa lampau

Dari sisi epistimologis sejarah yang dalam bahasa arabnya disebut tarikh, mengandung arti ketentuan masa atau waktu. Ada pula sebagian orang yang mengajukan pendapat bahwa sejarah sepadan dengan kata syajarah yang berarti pohon (kehidupan), riwayat, atau kisah, tarikh, ataupun history dalam bahasa Inggris. Dengan demikian sejarah berarti gambaran masa lalu tentang aktivitas kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang disusun berdasarkan fakta dan interpretasi terhadap obyek peristiwa masa lampau , yang kemudian itu disebut sejarah kebudayaan.

Sedangkan secara terminologi sejarah diartikan sebagai sejumlah keadaan dan peristiwa yang terjadi dimasa lampau dan yang benar-benar terjadi pada individu dan masyarakat. Adapun inti pokok dari persoalan sejarah pada dasarnya selalu berhubungan dengan pengalaman-pengalaman penting yang menyangkut perkembangan keseluruhan keadaan masyarakat. Untuk itu sejarah bukanlah peristiwa-peristiwa itu sendiri melainkan tafsiran-tafsiran dari peristiwa, dan pengertian mengenai hubungan-hubungan nyata dan tidak nyata yang menjadi seluruh bagian serta memberikan dinamisme dalam waktu dan tempat tertentu.

Sejarah Islam adalah peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang sungguh terjadi pada masa lampau yang seluruhnya berkaitan dengan agama Islam. Agama Islam terlalu luas cakupannya, maka sejarah Islam pun menjadi luas cakupannya. Di antaranya berkaitan dengan sejarah proses pertumbuhan, perkembangan, dan penyebaran Islam, tokoh-tokoh yang melakukan perkembangan dan penyebaran agama Islam, sejarah kemajuan dan kemunduran yang dicapai umat Islam dalam berbagai bidang, seperti dalam bidang ilmu pengetahuan agama dan umum, kebudayaan, arsitektur, politik, pemerintahan, peperangan, pendidikan, ekonomi, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, sejarah Islam adalah berbagai peristiwa atau kejadian yang benarbenar terjadi yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan Islam dalam berbagai aspek. Dalam kaitan ini, maka muncullah berbagai istilah yang biasanya digunakan untuk sejarah itu, di antaranya: Sejarah Islam, Sejarah Kebudayaan Islam dan Sejarah Peradaban Islam .


C. Identitas Kebudayaan Islam

Dalam ilmu antropologi, kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat yang mendalam dari suatu masyarakat. Sedangkan manifestasi-manifestasi dari kemajuan mekanis dari teknologi hal demikian lebih berkaitan dengan konsepsi peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak direfleksikan dalam seni, sastra, agama dan moral, maka peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi dan teknologi. Kebudayaan mempunyai tiga wujud: Pertama, Wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu komplek individu, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Kedua, Wujud kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu komplek aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. Ketiga, Wujud benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya.

Para pakar sepakat bahwa kebudayaan adalah semua hasil karya, karsa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat akan menghasilkan tekhnologi dan kebudayaan kebendaan yang diperlukan manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan untuk keperluan masyarakat. Karsa merupakan daya penggerak (Drive) untuk memotivasi manusia dalam memikirkan segala sesuatu yang ada dihadapan dan lingkungannya. Disamping itu Karsa masyarakat dapat merlahirkan norma dan nilai-nilai yang sangat perlu untuk tata tertib dalam pergaulan kemasyarakatan. Untuk menghadapi kekuatan-kekuatan buruk, manusia terpaksa melindungi diri dengan cara menciptakan kaidah-kaidah yang pada hakekatnya merupakan petunjuk-petunjuk tentang cara bertindak dan berlaku dalam pergaulan hidup.

Kebudayaan pada setiap bangsa atau masyarakat terdiri atas unsur-unsur besar dan unsur-unsur kecil yang merupakan bagian dari satu keutuhan yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Selo Soemarjan dan Soelaiman unsur-unsur kebudayaan meliputi: alat-alat teknologi, sistem ekonomi, keluarga dan kekuasaan politik. Sedang unsur-unsur kebudayaan menurut C.Kluckhon ---sebagaimana dikutip oleh Koentjaraningrat --- adalah:

· Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, rumah, alat-alat transportasi)
· Mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi
· Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi, politik, hukum)
· Bahasa (lisan dan tulisan)
· Kesenian (seni rupa, seni suara, dan seni gerak)
· Sistem pengetahuan
· Religi (sistem kepercayaan).

Effat al-Sharqawi mengatakan bahwa kebudayaan adalah bentuk ungkapan semangat mendalam dari sebuah nilai yang terdapat dan mendarah daging pada suatu masyarakat. Sedangkan manifestasi­manifestasi kemajuan mekanis dan tekhnologi lebih berkait dengan peradaban. Selanjutnya Sharqowi berpendapat bahwa kebudayaan adalah apa yang kita rindukan (ideal), sedangkan peradaban adalah apa yang kita pergunakan (real). Dengan kata lain, kebudayaan terefleksi dalam seni, sastra, religi dan moral. Sedangkan peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi, dan tekhnologi.

Dalam kajian anthropologi, kita mengenal pengertian kebudayaan secara khusus dan secara umum. Menurut pengertian khusus, kebudayaan adalah produk manusia di bidang kesenian dan adat istiadat yang unik. Sedangkan kebudayaan dalam pengertian umum adalah produk semua aspek kehidupan manusia yang meliputi: sosial, ekonomi, politik, pengetahuan filosofi, seni dan agama.

Taylor seorang ilmuwan Inggris, merumuskan kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks yang meliputi pengetahuan, dogma seni, nilai-nilai moral, hukum, tradisi, sosial, dan semua produk manusia dalam kedudukannya sebagai anggota-anggota masyarakat, termasuk dalam realitas ini adalah agama.

Adapun yang dimaksud dengan Kebudayaan Islam adalah cara berpikir dan merasa Islam yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan dari segolongan manusia yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan suatu waktu inilah pemahaman integralistik, menempatkan Islam sebagai sumber nilai dan motivasi bagi tumbuhnya kebudayaan Islam. Dengan demikian yang dimaksud Sejarah Kebudayaan Islam adalah gambaran produk aktivitas kehidupan ummat Islam pada masa lampau yang bersumberkan pada nilai–nilai Islam. Hanya saja dalam berbagai risalah teks-teks literatur yang ada seringkali penulisnya memberi narasinya dari segi politik. Ini diasumsikan bahwa secara konseptual, dari sisi politik inilah sumber kebudayaan Islam berputar.


D. Makna Peradaban Islam

Asumsi dasar yang bisa kita bangun, bahwa peradaban berasal dari kata adab yang dalam pengertian ini mengandung pengertian tata krama, perilaku atau sopan santun. Dengan demikian peradaban adalah segenap prilaku sopan santun dan tata krama yang diwujudkan oleh umat Muslim dari waktu ke waktu baik dalam realitas politik, ekonomi dan sosial lainnya.

Secara harfiah peradaban Islam itu terjemahan dari bahasa Arab al-khadlarah al-Islamiyah, atau al-madaniyah al Islamiyah[5] atau al-tsaqofah al Islamiyah, yang sering juga diterjemahkan dengan kebudayaan Islam. Dalam bahasa Inggris ini disebut culture, adapula yang menyebutnya civilization. Di Indonesia, Arab dan Barat masih banyak yang mensinonimkan antara peradaban dengan kebudayaan.

Disisi yang lain, akar kata madana lahir kata benda tamaddun yang secara literal berarti peradaban (civilization) yang berarti juga kota berlandaskan kebudayaan (city base culture) atau kebudayaan kota (cultural of the city). Di kalangan penulis Arab, sendiri.perkataan tamaddun digunakan-kalau tidak salah-untuk pertama kalinya oleh Jurji Zaydan dalam sebuah judul buku Tarikh al-Tamaddun al-Islami (Sejarah Peradaban Islam), terbit tahun 1902-1906. Sejak itu perkataan tamaddun digunakan secara luas dikalangan umat islam.[6]

Di dunia Melayu tamaddun digunakan untuk pengertian peradaban. Di Iran orang dengan sedikit berbeda menggunakan istilah tamaddon dan madaniyat. Namun di Turki orang dengan menggunakan akar madinah atau madana atau madaniyyah menggunakan istilah medeniyet dan medeniyeti. Orang-orang Arab sendiri pada masa sekarang ini menggunakan kata hadharah untuk peradaban, namun kata tersebut tidak banyak diterima umat Islam non-Arab yang kebanyaan lebih menyukai istilah tamaddun. Di benua Indo-Pakistan tamaddun digunakan hanya untuk pengetian kultur, sedangkan peradaban menggunakan istilah tahdhib.

Kata peradaban sering kali dikaitkan dengan kebudayaan, bahkan banyak penulis barat yang mengidentikan “kebudayaan” dan “peradaban” islam. Sering kali peradaban islam dihubungkan dengan peradaban Arab, meskipun sebenarnya antara Arab dan Islam tetap bisa dibedakan. Adapun yang membedakan antara kebudayaan tersebut adalah dengan adanya peningkatan peradaban pada masa jahiliyah yang berasal dari kebodohan. Hal ini pada akhirnya berubah ketika Islam datang yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW di Arab. Sehingga pada masanya kemudian islam berkembang menjadi suatu peradaban yang menyatu dengan bangsa Arab, bahkan berkembang pesat kebagian belahan dunia yang lainnya, Islam tidak hanya sekedar agama yang sempurna melainkan sumber peradaban islam.Peradaban merupakan kebudayaan yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimana kebudayaan tersebut tidak hanya berpengaruh di daerah asalnya, tapi juga mempengaruhi daerah-daerah lain yang menjadikan kebudayaan tersebut berkembang

Dengan merujuk pada narasi diatas, maka dapat dikonsepsikan bahwa Sejarah Peradaban Islam adalah gambaran produk aktivitas kehidupan umat Islam pada masa lampau yang benar-benar terjadi dalam aspek politik, ekonomi, dan tekhnologi yang bersumberkan pada nilai-nilai ajaran Islam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Peradaban Islam merupakan identitas ummat Islam sejak masa lampu.


E. Islam sebagai Sumber Budaya dan Peradaban

Sejumlah pihak mengatakan bahwa agama Islam setingkat dengan kebudayaan Islam. Dalam frame tertentu ini dinilai para pakar Muslim hal yang dapat menyesatkan dan mengacaukan citra dan kemurnian Islam. Dengan menyetingkatkan antara Agama Islam dengan Kebudayaan Islam, maka ini berarti mereka telah menyetingkatkan antara agama (yang berasal dari Allah) dengan kebudayaan (yang merupakan hasil cipta orang Islam), yang berarti pula menyetingkatkan antara wahyu dengan akal. Berpendapat bahwa kebudayaan Islam merupakan bagian dari din Islam ini berarti menunjukkan bahwa ia telah memasukkan unsur-unsur yang aqli (hasil cipta orang Islam) ke dalam din Islam, dan ini berarti pula bahwa mereka telah mencampur adukkan antara wahyu dengan akal manusia.

Dalam pandangan kelompok fundamentalis, pola pemikiran dan ide demikian dianggap sangat berbahaya dan menyesatkan, karena dalam akidah Islam telah dijelaskan bahwa Islam seluruhnya adalah wahyu, tidak ada bagian-bagian kebudayaan Islam didalamnya. Agama atau wahyu tidak setingkat dengan kebudayaan Islam, karena agama atau wahyu berasal dari Allah sedangkan kebudayaan Islam merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Oleh karena itu, pemikiran dan ide itu harus ditolak dan tidak dapat dibenarkan.

Sementara itu, para pemikir Barat juga memandang Islam sebagai produk kebudayaan, misalnya disampaikan oleh H.A.R. Gibb yang mengatakan bahwa “Islam is indeed much more than a sistem of theology it is a complete civilization” .(Islam sesungguhnya lebih dari satu sistem teologi. Ia adalah satu peradaban yang lengkap). Pendapat Gibb ini patut apabila dikemukakan oleh kelompok orientalis, tetapi apabila begitu saja ditelan mentah–mentah oleh ilmuan Islam akan melahirkan pemahaman yang cukup rancu,

Memang diakui bahwa antara agama dan budaya adalah dua bidang yang berhubungan dan tidak dapat dipisahkan, akan tetapi keduanya berbeda. Agama bernilai mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkan budaya , sekalipun berdasarkan agama dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Sebagian besar budaya didasarkan pada agama, namun tidak pernah terjadi sebaliknya, agama berdasarkan pada budaya. Oleh karena itu bisa dikatakan agama adalah primer dan budaya adalah sekunder. Budaya bisa merupakan ekspresi hidup keagamaan, karena itu kebudayaan sub ordinat terhadap agama, dan tidak pernah sebaliknya.

Agama pada hakekatnya mengandung dua kelompok ajaran yaitu:
  • Ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan melalui para Rasulnya kepada manusia yang ajarannya terdapat dalam kitab-kitab suci. Karena merupakan wahyu dari Tuhan, maka ajaran tersebut bersifat absolut, mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah. 
  • Ajaran yang berupa penjelasan dari kitab suci (baik mengenai arti maupun cara pelaksanaan) yang dilakukan oleh pemuka atau ahli agama. Karena merupakan penjelasan dan hasil pemikiran pemuka atau ahli agama, maka ajarannya bersifat relatif, nisbi, berubah dan dapat diubah sesuai dengan perkembangan zaman. 

Dalam Islam, kelompok pertama terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist Mutawatir. AlQur’an terdiri dari 6.300 ayat, tetapi yang mengatur tentang keimanan, ibadah, muamalah dan hidup kemasyarakatan manusia, menurut penelitian ulama tidak lebih dari 500 ayat. Ajaran dasar Islam (al-Qur’an dan al-Sunnah yang periwayatannya shahih) bukan termasuk budaya, tetapi pemahaman ulama terhadap ajaran dasar agama merupakan hasil karsa ulama. Oleh karena itu ia merupakan bagian dari kebudayaan. Akan tetapi umat Islam meyakini bahwa kebudayaan yang merupakan hasil upaya ulama dalam memahami ajaran dasar agama Islam, dituntun dan memperoleh petunjuk dari Tuhan, yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai kebudayaan Islam.

Islam dikemukakan oleh Bassam Tibi [7] yaitu bahwa Islam merupakan sistem budaya. Menurutnya Islam sebagai sistem budaya terdiri atas berbagai simbol yang berkorespondensi dan bergabung untuk membentuk suatu model untuk realitas. Meski demikian dalam posisi tersebut agama tidak dapat dipenetrasikan secara eksperimental, tetapi hanya sebatas interpretatif. Dalam agama, konsepsi manusia mengenai realitas tidak didasarkan pada pengetahuan tetapi pada keyakinan terhadap suatu otoritas ketuhanan yang terkonsepsikan dalam kitab suci (Al-Qur’an). Al-Qur’an inilah yang mendasari semua bentuk realitas. Selanjutnya konsep– konsep realitas yang dihasilkan manusia ini mengalami perubahan yang paralel. Adaptasi dari konsep–konsep religiokultural dengan realitas yang berubah kemudian membentuk suatu komponen sentral dalam asimilasi budaya untuk perubahan. Dengan cara itulah perubahan terarah, karena orang tidak begitu saja memberikan reaksi terhadap proses perubahan dengan menggunakan inovasi budaya.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa hakekat agama memiliki aspek ganda yakni :
  • Memberikan arti terhadap berbagai aspek realitas sosial dan psikologis bagi para penganut-penganutnya, sehingga mendapatkan suatu bentuk konseptual yang obyektif. 
  • Agama dapat berwujud oleh realitas dan pada saat yang sama membentuk realitas yang sesuai dengan realitas. Artinya interpretasi simbol-simbol religiokultural membentuk bagian realitas, karena simbol–simbol tersebut juga mempengaruhi realitas. Pada saat yang sama perwujudan (pengamalan) dari simbol–simbol kepada realitas empirik membentuk sebuah pola yang terstruktur dalam bentuknya yang biasa dikenal dengan kebudayaan dan peradaban. 
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Islam adalah sumber dari kebudayaan dan peradaban Islam yang ada. Landasan Peradaban Islam adalah Kebudayaan Islam, terutama wujud idealnya. Jadi, Islam bukanlah kebudayaan akan tetapi dapat melahirkan kebudayaan. Kalau kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, maka Islam adalah realitas pewahyuan dari Tuhan.

Dengan mengambil tema Peradaban Islam bukan berarti masalah Kebudayaan Islam menjadi tidak penting dalam studi Islam (Dirosah Islamiyyah). Masalah Kebudayaan Islam penting sekali, karena ia merupakan landasannya. Oleh karenanya mengkaji Peradaban Islam sama halnya juga mengakaji tentang Kebudayaan Islam.

Banyak penulis (Barat ataupun Timur) mengidentikkan antara Kebudayaan dan Peradaban Islam dengan Kebudayaan dan Peradaban Arab. Pada masa klasik, pendapat tersebut dapat dibenarkan, meskipun sebenarnya antara Arab dan Islam berbeda. Pada masa Klasik, pusat pemerintahan hanya satu (yaitu bangsa Arab) dan untuk beberapa abad sangat kuat. Peran bangsa Arab sangat dominan, sehingga ungkapan budaya yang ada semuanya diekspresikan melalui Bahasa Arab, pada akhirnya terwujud kesatuan budaya Islam.

Akan tetapi seiring berjalannya waktu, muncullah periode pertengahan dan periode modern, dimana bangsa non Arab mulai berpartisipasi dan membina suatu kebudayaan dan peradaban. Walaupun pada masa tersebut ummat Islam masih memandang wilayah kekuasaan Islam adalah sebagai tanah airnya. Agama Islam masih dilihat sebagai tanah air dan kekuasaan.

Berpartisipasinya bangsa non Arab dalam membina kebudayaan dan peradaban, bukan disebabkan karena terjadinya disintegrasi antara kekuatan politik Islam dengan beberapa kerajaan di dalam wilayah yang sangat luas, akan tetapi karena ungkapanungkapan kebudayaan dan peradaban tidak lagi diekspresikan melalui satu bangsa. Bahasa administratif pemerintahan Islam mulai berbeda-beda, seperti Persia, Turki, bahkan peran orang Arab sudah menurun. Tiga kerajaan besar Islam pada periode pertengahan tidak satupun yang dikuasai oleh bangsa Arab. Apalagi Islam sangat toleran memperlakukan kebudayaan masyarakat setempat. Sejauh tidak menyimpang dari prinsipprinsip ajaran Islam yang telah ada.

Orang Islam dalam proses menciptakan dan mengembangkan kebudayaan harus mampu mempelopori dan membimbing terwujudnya kebudayaan yang belandaskan Islam. Memelihara dan mempertahankan kebudayaan yang sudah ada selama menunjukkan nilai yang positif dan berguna bagi kehidupan manusia, membuang nilai-nilai yang bertentangan dengan ajaran Islam dan menggantikannya dengan yang baru yang sesuai dengan ajaran Islam (al-muhafadzah ‘ala al-qadim as-shalih, wal akhdzu bil jadid al–Ashlah). Inilah nilai dasar yang cukup signifikan untuk dipedomani bagi seorang Muslim yang menaruh simpatik terhadap kajian Sejarah Islam.

Sejarah Peradaban Islam diartikan sebagai perkembangan atau kemajuan kebudayaan islam dalam perspektif sejarahnya, dan peradaban islam mempunyai berbagai macam pengertian lain diantaranya, pertama: sejarah peradaban islam merupakan kemajuan dan tingkat kecerdasan akal yang dihasilkan dalam satu periode nabi Muhammad SAW sampai perkembangan kekuasaan islam sekarang. Kedua: sejarah peradaban islam merupakan hasil-hasil yang dicapai oleh umat islam dalam lapangan kesustraan, ilmu pengetahuan dan kesenian. Ketiga: sejarah peradaban islam merupakan kemajuan politik atau kekuasaan islam yang berperan melindungi pandangan hidup islam terutama dalam hubungannya dengan ibadah-ibadah, penggunaan bahasa dan kebiasaan hidup masyarakat.


F. Budaya Islam  dan Budaya Arab  

Pada dasrnya agama dan tradisi adalah dua dunia yang berbeda, masing-masing mempunyai independensi. Memang terkadang wilayah tradisi dan agama tumpang tindih, satu sisi, wilayah agama berasal dari “ normatifitas wahyu “ dan tradisi berasal dari “buatan manusia”, oleh sebab itu tradisi cenderung berubah sesuai dengan perkembangan waktu dan perubahan zaman. Nah, hal ini yang memungkinkan untuk ada asimilasi perilaku beragama dalam kehidupan sehari – hari yang disesuaikan dengan tradisi yang berlaku.

Banyak hal yang harus kita pertimbangkan dalam hal memposisikan nash dengan kebudayaan atau tradisi yang berkembang. Bagaimanapun harus ada rekonsiliasi antara wahyu Tuhan dengan mempertimbangkan faktor budaya, atau yang sifatnya kontekstual. Ini yang nantinya diperlukan pribumisasi islam – meminjam istilah Gus Dur--. Karena, selain berkaitan dengan tata sosial masyarakat budaya juga banyak yang bersinggungan dengan perilaku beragama, khususnya yang berkenan dengan fikih.

Banyak penulis yang mengidentikkan kebudayaan dan peradaban islam dengan kebudayaan dan peradaban Arab. Pendapat itu mungkin dapat dibenarkan meskipun sebenarnya antara Arab dan Islam tetap bisa dibedakan. Pada masa klasik pusat pemerintahan hanya satu dan peran Arab di dalamnya sangat dominan. Semua wilayah kekuasaan Islam menggunakan bahasa bahasa Arab. Semua ungkapan – ungkapan budaya yang diekspresikan melalui bahasa Arab. Meskipun ketika itu bangsa- bangsa non Arab juga sudah mulai berpartisipasi dalam membina suatu kebudayaan & peradaban. apalagi orang – orang non muslim juga banyak menyumbangkan karya budayanya.

Akhir-akhir ini ada semacam gerakan yang cukup masip dan radikal dengan, Adanya kecenderungan sejumlah pihak yang mengedepankan konstruksi syari’at islam dalam wajah Arab sambil menafikan realitas tradisi yang lain. Padahal islam bukanlah identik dengan Arab sebagaimana Indonesia bukanlah Arab secara sosiokultural dan politisinya. Walaupun diakui sebenarnya tidak ada yang salah bila menggunakan kebudayaan Arab dalam mengekspresikan keberagamaan seseorang, dengan syarat tidak melahirkan sebuah konflik di tengah masyarakat yang dibingkai dalam pemahaman konseptual yang kokoh..

Tetapi yang menjadi masaalah adalah manakala penggunaan asumsi bahwa ”warna arab”tersebut merupakan bentuk keberagamaan tunggal yang dianggap paling absah dan muthlak. Sehingga hukumnya wajib diterapakan pada semua kondisi dan situasi secara paten. Hal tersebut tentunya berimbas pada keadaan dimana ekspresi Arab menjadi dominan, bahkan menghegemoni budaya dan tradisi yang berkembang di masyarakat lokal. Hal yang lebih menggelisakan lagi adalah munculnya justifikasi-justifikasi seperti ebelum/tidak kaffah (sempurna), sesat, bid’ah atau musyrik kepada orang-orang yang tidak menggunakan ekspresi ”warna arab” tersebut. Soal penggunaan Jilbab misalnya, sebagaian orang yang berjilbab memandang bahwa perempuan yang belum menggunakan jilbab atau jilbabnya berbeda dengan jilbab yang biasa dipakai di Arab, berarti Islamnya belum Kaffah.

Fenomena tersebut merupakan bagian dari berbagai macam fenomena yang menggambarkan adanya konflik dan ketegangan antara hukum Islam dan budaya. Muncul satu hal yang menjadi persoalan, yaitu apakah budaya yang berkembang dalam masyarakat harus tunduk dalam ekspresi hukum islam dalam corak Arab seperti di atas?.


G. Islam Normatif dan Islam Historis

Untuk membedakan wilayah budaya arab dan budaya Islam dapat ditinjau dengan mengambil sebuah konsep bahwa dalam islam terdapat kumpulan dogma normatifitas dan Islam pada faktanya merupakan realitas Historis. Disinilah sehingga Budi munawar rahman dalam (---bukunya Islam dan peradaban--) mengatakan bahwa islam itu terdapat dua macam nilai yakni islam berdimensi normatif dan islam berdimensi historis. Kedua aspek ini terdapat hubungan yang menyatu, tidak dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Pertama; aspek normatif yakni wahyu harus diterima sebagaimana adanya, mengikat semua pihak dan berlaku universal.Kedua; aspek historis yakni, kekhalifahan senantiasa dapat berubah, menerinma diskusi karena produk zaman tertentu, dan hal itu bukan hal yang saklar.

Pengertiaan dari Islam Normatif yakni, Islam dalam dimensi saklar yang diakui adanya realitas transendemental yang bersifat mutlak dan universal, melampaui ruang dan waktu atau sering disebut sebagai realitas ke-Tuhan-an. Sedangkan pengertian dari Islam Historis yakni, islam yang tidak bisa dilepaskan dari kesejarahan dan kehidupan manusia yang berada dalam ruang dan waktu, Islam yang terangkat oleh konteks kehidupan pemeluknya, berada di bawah realita ke-Tuhan-an.

Disamping konsepsi normatif dan hostoris untuk menentukan budaya arab dan budaya Islam memungkinkan juga menggunakan konsepsi Ushul dan furu’. Hal Dogma agama yang bersifat Ushul adalah normatif yang universal sehingga ini merupakan ruh ajaran islam . Sementara aspek furu’ adalah nilai – nilai tradisi yang mengandung hal hal yang bersifat furu’(Cabang) yang tidak bisa diterima secara mentah, akan tetapi harus diambil nilai substansi yang meliputinya.


H. Babakan Sejarah Peradaban Islam

Di kalangan sejarawan terdapat perbedaan pendapat tentang saat dimulainya sejarah Islam. Secara umum perbedaan itu dapat dibedakan menjadi tiga macam. Pertama, sejarah umat Islam dimulai sejak Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama kali. Menurut pendapat ini, selama tiga belas tahun Nabi di Makkah telah lahir masyarakat Muslim, meskipun belum berdaulat. Kedua, sejarah umat Islam dimulai sejak Nabi Muhammad SAW hjrah ke Madinah, karena umat Islam baru berdaulat di Madinah. Ketiga, Peradaban Islam dimulai sejak Nabi Adam karena semua Nabi yang diutus oleh Tuhan kepada manusia, semuanya adalah Islam (Muslim).

Di samping perbedaan pendapat itu, sejarawan juga berbeda pendapat dalam menentukan fase-fase atau periodesasi sejarah Islam yang dibuat oleh ulama Indonesia. Menurut A. Hasjmy membagi periodesasi sejarah Islam adalah sebagai berikut :[9]

. Permulaan Islam (610-661 M)
. Daulah Amawiyah (661-750 M)
. Daulah Abbasiyyah I (740-857 M)
. Daulah Abbasiyyah II (847-946 M)
. Daulah Abbasiyyah III (946-1075 M)
. Daulah Mughol (1261-1520 M)
. Daulah Utsmaniyyah (1520-1801 M)
. Kebangkitan (1801–sekarang).

Berbeda dengan A. Hasjmy, Harun Nasution membagi sejarah Islam menjadi tiga periode Yaitu masa Klasik (650-1250 M), Pertengahan(1250-1800 M) dan Modern(1800-sekarang) [10] :

1. Periode Klasik (650-1250 M)

Periode klasik antara tahun 650 -1250 M. Ini diawali dengan persoalan dalam negeri Arab sendiri terutama tantangan yang ditimbulkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi terhadap pemerintahan Madinah. Hal tersebut disebabkan Karena orang Arab menganggap bahwa perjanjian yang telah dibuat dengan Nabi Muhammad telah batal, setelah wafatnya Rasulullah SAW. Setelah persoalan dalam negeri selesai, maka Abu Bakar mengirim kekuatan keluar Arabia. Pada masa kepemimpinan Umat Bin Khattab wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syiria dan Mesir.

Periode klasik yang berlangsung sejak 650-1250 M. Ini dapat dibagi lagi menjadi dua: pertama, Masa kemajuan Islam I, Masa kemajuan Islam I dimulai sejak tahun 650-1000 M. Masa kemajuan Islam I itu tercatat sejarah perjuangan Nabi Muhammad SAW dari tahun 570–632 M. Khulafaur Rasyidin dari tahun 632-661 M, Bani Umayyah dari tahun 661-750 M., Bani Abbas dari tahun 750-1250 M. Dan Kedua,Masa disintegrasi yaitu tahun 1000-1250.


2. Periode Pertengahan (1250-1800 M)

Periode pertengahan ini berkisar antara tahun 1250-1800 M. pada masa periode ini merupakan masa kemunduran, dengan diawali jatuhnya kota Baghdad ke tangan bangsa Spanyol, setelah Khilafah Abasyiah runtuh akibat serangan tentara Mongol, kekuatan politik Islam mengalami kemunduran secara drastis.

Pada tahun 1500-1800 M keadaan politik ummat Islam secara keseluruhan mengalami kemajuan kembali setelah muncul dan berkembangnya tiga kerajaan besar, yaitu Kerajaan Utsmani di Turki, Kerajaan Syafawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India. Pada tahun 1700-1800 M, terjadilah kemunduran dari tiga kerajaan tersebut.

Selanjutnya periode pertengahan yang berlangsung dari tahun 1250-1800 M, dapat dibagi ke dalam dua masa, yaitu:

Pertama, Masa kemunduran I,

Masa kemunduran I berlangsung tahun 1250-1500 M. Di zaman ini desentralisasi dan disintegrasi serta perbedaan antara Sunni dengan Syi’ah begitupun juga antara Arab dan Persia sangat mencolok. Dunia Islam terbagi menjadi dua, pertama, Arab. Bagian Arab terdiri dari Arabia, Irak, Suria, Palestina, Afrika Utara, dan Mesir sebagai pusatnya. Kedua, Persia. Kebudayaan Persia mengambil bentuk internasional dan dengan demikian mendesak lapangan kebudayaan Arab.

Pendapat bahwa pintu ijtihad sudah tertutup makin meluas di kalangan umat Islam. Demikian juga tarekat dengan pengaruh negatifnya. Perhatian terhadap ilmu pengetahuan kurang sekali. Umat Islam di Spanyol dipaksa masuk KRISTEN atau keluar dari daerah itu.

Dan Kedua, Masa tiga kerajaan besar

Masa Tiga Kerajaan Besar berlangsung tahun 1500-1800 M yang dimulai dengan zaman kemajuan tahun 1500-1700 M dan zaman kemunduran II tahun 1700-1800 M. Tiga kerajaan yang dimaksud adalah Kerajaan Ustmani di Turki, kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan Mughal di India. Pada masa kemajuan tiga kerajaan besar tersebut, masingmasing kerajaan mempunyai kejayaan, terutama dalam bentuk literatur-literatur dan arsitek.

Di zaman kemunduran, kerajaan Ustmani terpukul oleh kekuatan Eropa, kerajaan Safawi dihancurkan oleh serangan-serangan suku bangsa Afghan, sedangkan daerah kekuasaan kerajaan Mughal diperkecil oleh pukulan-pukulan raja-raja India. Umat Islam dalam keadaan menurun drastis. Akhirnya, Napoleon di tahun 1798 M, dapat menduduki Mesir, yang pada saat itu sebagai salah satu peradaban Islam yang terpenting.

3. Periode Modern (1800-sekarang)

Periode Modern dalam sejarah Islam bermula dari tahun 1800 M dan berlangsung sampai sekarang. Diawal periode ini kondisi Dunia Islam secara politis berada di bawah penetrasi kolonialisme. Baru pada pertengahan abad ke-20 M Dunia Islam bangkit memerdekakan negerinya dari penjajahan Barat.

Periode ini memang merupakan kebangkitan kembali Islam, setelah mengalami kemunduran di periode pertengahan. Pada periode ini dimulai bermunculan pemikiran pembaharuan dalam Islam. Gerakan pembaharuan itu muncul karena dua hal yaitu:
  • Timbulnya kesadaran di kalangan ulama bahwa banyak ajaran-ajaran asing yang masuk dan diterima sebagai ajaran Islam.
  • Barat mendominasi Dunia di bidang politik dan peradaban, karena itu mereka berusaha bangkit dengan mencontoh Barat dalam masalah-masalah politik dan peradaban untuk menciptakan balance of power.

Periode modern tahun 1800 M dan seterusnya merupakan zaman kebangkitan umat Islam. Jatuhnya Mesir ke tangan Barat menginsyafkan Dunia Islam akan kelemahan dan menyadarkan umat Islam bahwa di Barat telah tumbuh peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Islam. Raja-raja dan pemuka Islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali. Di periode Modern inilah timbulnya ide-ide pembaharuan dalam Islam.Ulama umumnya memakai periodenisasi yang digunakan oleh Harun Nasution dalam membagi periodenisasi sejarah umat Islam (Atang, Hakim dan Mubarok, 2000:139). Harun Nasution memulai periodenisasi tahun 650 atau pada zaman Ustman karena pada pemerintahan Ustman timbul berbagai macam pertentangan baik teologi maupun pertentangan politik.

Berkaitan dengan babakan sejarah diatas ada beberapa catatan yang perlu dicermati Masalah keterputusan periode klasik dengan masa Rasulullah. Harun memulai periode klasik dari tahun 650 M, yang terkenal dengan masa Khalifah Usman (644–656 M). Pertanyaannya adalah mengapa tidak mulai sejak zaman Rasulullah (611–634) dan tidak juga pada masa Khalifah Abu Bakar (632–634) dan Umar ibn Khattab (634–644 M).

Padahal oleh banyak peneliti sejarah khususnya dari kalangan ummat Islam sendiri dikatakan bahwa Rasulullah sampai masa Abu Bakar dan Umar merupakan masa keemasan yang hakiki dari sudut komitmen ummatnya kepada Islam, bukankah komitmen ke Islaman itulah yang melahirkan produk–produk kebudayaan Islam. Harun memulai babakan itu dari masa Ustman, karena ia menitik beratkan pada saat dimana pertentangan teologis dan politik mulai tumbuh dan mewarnai masa berikutnya. Karena itu periodenisasi yang dirumuskan dimuka cocok bila titik berat diberikan sejarah perkembangan pemikiran Islam.


KESIMPULAN

Sejarah peradaban Islam merupakan salah satu bidang kajian studi Islam yang banyak sangat penting . Sejarah Islam adalah peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang sungguh terjadi pada masa lampau yang seluruhnya berkaitan dengan agama Islam. Agama Islam terlalu luas cakupannya, maka sejarah Islam pun menjadi luas cakupannya. Di antaranya berkaitan dengan sejarah proses pertumbuhan, perkembangan, dan penyebaran Islam, tokoh-tokoh yang melakukan perkembangan dan penyebaran agama Islam, sejarah kemajuan dan kemunduran yang dicapai umat Islam dalam berbagai bidang, seperti dalam bidang ilmu pengetahuan agama dan umum, kebudayaan, arsitektur, politik, pemerintahan, peperangan, pendidikan, ekonomi, dan lain sebagainya. Sejarah Peradaban Islam adalah gambaran produk aktivitas kehidupan ummat Islam pada masa lampau yang bersumberkan pada nilai–nilai Islam.

Pada masa Klasik, pusat pemerintahan hanya satu (yaitu bangsa Arab) dan untuk beberapa abad sangat kuat. Peran bangsa Arab sangat dominan, sehingga ungkapan budaya yang ada semuanya diekspresikan melalui Bahasa Arab, pada akhirnya terwujud kesatuan budaya Islam yang semuanya dalam dokumentasinya berbentuk bahasa arab. Untuk membedakan wilayah budaya arab dan budaya Islam dapat ditinjau dengan mengambil sebuah konsep bahwa dalam islam terdapat kumpulan dogma normatifitas dan Islam pada faktanya merupakan realitas Historis. Disamping konsepsi normatif dan hostoris untuk menentukan budaya arab dan budaya Islam memungkinkan juga menggunakan konsepsi Ushul dan furu’. Di kalangan sejarawan terdapat perbedaan pendapat tentang saat dimulainya sejarah Islam. Yang umum digunakan dalam periodesisasi sejarah peradaban islam dibagi menjadi tiga masa yakni, klasik, pertengahan dan modern.

Sejarah Kemunduran Daulah Abbasiyah

Kemunduran umat Islam dalam peradabannya terjadi pada sekitar tahun 1250 M. s/d tahun 1500 M. Kemunduran itu terjadi pada semua bidang terutama dalam bidang Pendidikan Islam. Di dalam Pendidikan Islam kemunduran itu oleh sebagian diyakini karena berasal dari berkembangnya secara meluas pola pemikiran tradisional. Adanya pola itu menyebabkan hilangnya kebebasan berpikir, tertutupnya pintu ijtihad, dan berakibat langsung kepada menjadikan fatwa ulama masa lalu sebagai dogma yang harus diterima secara mutlak (taken for garanted). Di saat umat Islam mengalami kemunduran, di dunia Eropa malah sebaliknya mengalami kebangkitan mengejar ketertinggalan mereka, bahkan mampu menyalib akar kemajuan-kemajuan Islam. Ilmu Pengetahuan dan filsafat tumbuh dengan subur di tempat-tempat orang Eropa. Akibatnya bila pola fikir tradisional yang berkembang di dunia Islam terus tertanam dan tumbuh subur, maka di tempat mereka di Eropa pola pemikiran rasionallah yang didasarkan pada filsafat Rasionalnya Ibn Rusyd yang memacu kebangkitan mereka melalui gerakan-gerakan kebangkitan.Hal ini merupakan penyebab beralihnya secara drastis pusat pendidikan dari dunia Islam ke Eropa.

Pada tahun 565 H/1258 M, tentara Mongol yang berkekuatan sekitar 200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad. Khalifah Al-Mu'tashim betul-betul tidak berdaya dan tidak mampu membendung "topan" tentara Hulagho Khan. Kota Baghdad dihancurkan rata dengan tanah, dan Hulagho Khan menancapkan kekuasaan di Banghdad selama dua tahun, sebelum melanjutkan gerakan ke Syiria dan Mesir Pada masa jayanya kota Baghdad dikenal secara luas sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan dan telah berhasil mengguli kota-kota lain yang dikenal sebagai pusat peradaban manusia. Namun hal itu berubah drastis sejak penyerangan yang dilakukan tentara Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan.Peristiwa ini terjadi pada tahun 1250 M. Dengan hadirnya Hulagu Khan, maka pusat-pusat ilmu pengetahuan, baik yang berupa perpustakaan maupun lembaga-lembaga pendidikan semuanya mereka porak-porandakan dan mereka bakar sampai punah tak berbekas.   Dengan dibumihanguskannya kota Baghdad berikut kekayaan intelektual yang ada didalamnya, maka berakhirlah kebesaran pemerintahan Islam masa lalu, baik dalam wilayah kekuasaan maupun intelektual.


A. Kejatuhan Bagdad dan Cordova

1. Kejatuhan Bagdad

Sejak tahun 132 H/750 M daulah Abbasiyah dinyatakan berdiri dengan khalifah pertamanya Abu Abbas as-Shafah. Daulah ini berlangsung sampai tahun 656 H/1258 M. Masa yang panjang itu dilaluinya dengan pola pemerimtahan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan politik, budaya, social, dan penguasa. Walaupun abu abbas adalah pendiri daulah ini, namun pembinan sebanarnya adalah abu ja`far al-mansur. Dia dengan keras menghadapi lawan-lawannya dari bani umayyah, khawarij, dan juga syi`ah yang merasa dikucilkan dari kekuasaan.[1]

Penghancuran pusat kebudayaan Islam itu juga berakibat hilangnya dan putusnya akar sejarah intelektual yang telah dengan susah payah dibangun pada masa awal-awal Islam . Adanya kekalahan politik itu berpengaruh besar pada cara pandang dan berpikirnya umat Islam yang telah mulai mengalihkan pandangan dan pemikiran umat Islam yang semula berpaham dinamis berubah menjadi berpaham fatalis .[2]

Dari peristiwa itu kita dapat menarik kesimpulan bahwa. Jatuhnya kota Baghdad di tangan Hulagu Khan pada tahun 1250 M. bukan saja pertanda yang awal dari berakhirnya supremasi Khilafah Abbasyiyah dalam dominasi politiknya, tetapi berdampak sangat luas bagi perjalanan sejarah umat Islam.Karena ini merupakan titik awal kemunduran umat Islam di bidang politik dan peradaban Islam yang selama berabad-abad lamanya menjadi kebanggaan umat .[3]

Namun selain penyerangan itu, ada faktor-faktor lain juga yang menyebabkan jatuhnya Baghdad, di antaranya:

1. Adanya persaingan tidak sehat antara beberapa bangsa yang terhimpun dalam Daulah Abbasyiah, terutama Arab, Persia dan Yurki.
2. Adanya konflik aliran pemikiran dalam Islam yang sering menyebabkan timbulnya konflik berdarah.
3. Munculnya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dari kekuasaan pusat di Baghdad.
4. Kemerosotan ekonomi.

Umat islam agar selalu dapat berpacu dan mengembangkan diri harus selalu melakukan inovasi serta berkreativitas supaya dapat mencapai keutuhan dan kesempurnaan hidup. Hal ini setidaknya telah menjadi perhatian para penguasa atau khalifah pada masa-masa jayanya islam yang terletak pada kekuasaan Daulah Abbasiyah, segenap kemampuan dan perhatian dicurahkan untuk membangun sebuah peradaban, dengan dijadikannya Bagdad sebagai pusat ibu kota pemerintahan yang didalamnya berdiri istana dan bangunan yang megah dengan seni bangunan arab Persia pada masa itu.

2. Kejatuhan Cordova (spanyol)

Penaklukan spanyol tidak terlepas dari jasa tiga orang pemimpin satuan-satuan pasukan, mereka adalah Tharif bin malik, Tharik bin Ziyad, dan Musa bin Nusair.Tharif dapat disebut sebagai perintis dan penyelidik. Ia menyeberangi selat yang berada di antara Maroko dan benua Eropa itu dengan satu pasukan perang lima ratus orang diantaranya adalah pasukan berkuda, mereka mmenaiki empat buah kapal yang disediakan oleh julian. Dalam penyerbuan itu Tharif tidak mendapat perlawanan yang berarti. Ia menang dan kembali ke afrika utara membawa harta rampasan perang yang tidak sedikit jumlahnya.[4]

Dengan dikuasainya daerah pegunungan jabal Thariq, maka terbukalah pintu secara luas untuk memasuki spanyol. Dalam pertempuran di suatu tempat yang bernama bakkah. Raja Roderick dadikalahkan dengan hasil pertempuran tersebut, maka Islam masuk ke spanyol pada tahun 711 dengan merebut kekuasan dari Goth Barat, yakni kekaisaran Visigoth (419-711). Ketika itu Thariq bin ziyad melakuan ekspensi ke spanyol atas perintah Musa bin Nusair, Gubernur Afrika Utara ketika itu. Di bawah pemerintahan walid bin Abdul Malik atau Al-Walid I (705-715) dari dinasti Umayyah yang berkedudukan di damaskus.

B. Kemunduran Pendidikan Islam Pasca Kejatuhan Bagdad Dan Cordova

Kehancuran total yang dialami oleh Bagdad dan cordova sebagai pusat-pusat pendidikan dan kebudayaan islam, menandai runtuhnya sendi-sendi pendidikan dan kebudayaan islam. Musnahnya lembaga-lembaga pendidikan dan semua buku-buku ilmu pengetahuan dari kedua pusat pendidikan di timur dan barat dunia island tersebut, menyebabkan pula kemunduran pendidikan diseluruh dunia islam, terutama dalam bidang intelektual dan material, tetapi tidak demikian halnya dalam bidang kehidupan batin dan spiritual.

Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri khilafah Abbasiyah di sana, tetapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin Hulagu Khan tersebut.

Bangsa Mongol berasal dari daerah pegunungan Mongolia yang membentang dari Asia Tengah sampai ke Siberia Utara, Tibet Selatan dan Manchuria Barat serta Turkistan Timur. Nenek moyang mereka bernama Alanja Khan, yang mempunyai dua putera kembar, Tatar dan Mongol. Kedua putera itu melahirkan dua suku bangsa besar, Mongol dan Tartar. Mongol mempunyai anak bernama Ilkhan, yang melahirkan keturunan pemimpin bangsa Mongol di kemudian hari.


Dalam rentang waktu yang sangat panjang, kehidupan bangsa Mongol tetap sederhana. Mereka mendirikan kemah-kemah dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, menggembala kamhing dan hidup dari hasil buruan. Mereka juga hidup dari hasil perdagangan tradisional, yaitu mempertukarkan kulit binatang dengan binatang yang lain, baik di antara sesama mereka maupun dengan hangsa Turki dan Cina yang menjadi tetangga mereka. Sebagaimana umumnya hangsa nomad, orang-orang Mongol mempunyai watak yang kasar, suka berperang, dan berani menghadang maut dalam mencapai keinginannya. Akan tetapi, mereka sangat patuh kepada pemimpinnya. Mereka menganut agama Syamaniah (Syamanism), menyembah bintang-bintang, dan sujud kepada matahari yang sedang terbit.

Kemajuan bangsa Mongol secara besar-besaran terjadi pada masa kepemimpinan Yasugi Bahadur Khan. la herhasil menyatukan 13 kelompok suku yang ada waktu itu. Setelah Yasugi meninggal, puteranya, Timujin yang masih berusia 13 tahun tampil sebagai pemimpin. Dalam waktu 30 tahun, ia berusaha memperkuat angkatan perangnya dengan menyatukan hangsa Mongol dengan suku bangsa lain sehingga menjadi satu pasukan yang teratur dan tangguh. Pada tahun 1206 M, ia mendapat gelar Jengis Khan, Raja Yang Perkasa. la menetapkan suatu undang-undang yang disebutnya Alyasak atau Alyasah, untuk mengatur kehidupan rakyatnya. Wanita mempunyai kewajiban/yang sama dengan laki-laki dalam kemiliteran. Pasukan perang dibagi dalam beberapa kelompok besar dan kecil, seribu, dua ratus, dan sepuluh orang. Tiap-tiap kelompok dipimpin oleh seorang komandan. Dengan demikian bangsa Mongol mengalami kemajuan pesat di bidang militer.

C. Pendidikan Islam Pada Masa Kemunduran

Kehancuran total yang dialami oleh Baghdad sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan Islam kala itu, menandai runtuhnya sendi-sendi pendidikan dan kebudayaan Islam.Musnahnya lembaga-lembaga pendidikan dan semua buku-buku ilmu pengetahuan dari pusat pendidikan Islam tersebut, menyebabkan pula kemunduran pendidikan di seluruh dunia Islam terutama dalam bidang intelektual dan material, tetapi dalam kehidupan batin dan spiritual (Zuhairi, 2000:111).

Adapun untuk lebih jelasnya, kami akan memaparkan kondisi pendidikan Islam pada masa ini:
  • Kurangnya perhatian para pemimpin (Khalifah) terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesejahteraan ulama.Sehingga perkembangan intelektual agak tersendat-sendat Para pemimpin terlalu sibuk memikirkan pemerintahan (Zuhairi, 2000:110).
  • Terbakarnya perpustakaan serta lembaga pendidikan yang ada, menyebabkan banyaknya khazanah intelektual Islam yang hilang dan hangus terbakar .[6]
  • Suasana gelap dan mencekam yang dialami oleh dunia Islam benar-benar memprihatinkan.Dan pada saat yang bersamaan, bangsa Eropa justru sedang mencapai kejayaan sebagai pengaruh dari berkembangnya paham Renaissance, dan sibuk melakukan misi penjajahan ke negara-negara Islam.Oleh karena itu, banyak umat Islam yang frustasi dan akhirnya berusaha menjauhi kehidupan duniawi, termasuk meninggalkan kehidupan intelektual.Mereka lebih memilih menutup diri dan menjalani kehidupan sebagai seorang sufi.Akhirnya perkembangan ilmu pendidikan menjadi mandeg .
  • Kehidupan sufi berkembang pesat.Madrasah madrasah yang ada berkembang menjadi Zawiyat-zawiyat untuk mengadakan riyadhah di bawah bimbingan dan otoritas seorang Syaikh yang akhirnya berkembang menjadi lembaga tarekat.Dan di madrasah-madrasah yang masih tersisa itu, hampir seluruh kurikulum diisi dengan karya-karya sufistik (Samsul Nizar, 2007:179).
  • Berkembangnya praktek bid’ah dan khurafat.hal itu ditandai dengan banyaknya umat Islam yang mengkultuskan posisi seorang Syaikh dalam suatu tarekat.sampai-sampai ada yang berdoa minta di kuburan seorang syaikh.
  • Dalam bidang fikih, yang terjadi adalah berkembangnya taklid buta di kalangan umat.Dengan sikap hidup yang statis itu, tidak ada penemuan-penemuan baru dalam bidang fikih.Apa yang sudah ada dalam kitab-kitab lama dianggap sebagai sesuatu yang baku, mantap, benar, dan harus diikuti serta dilaksanakan sebagaimana adanya.Sehingga memunculkan pendapat bahwa “pintu ijtihad sudah tertutup”(Zuhairi : 2000:111).

PENUTUP

Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa penyebab utama dari mundurnya dunia pendidikan Islam ditandai dengan runtuhnya Baghdad selaku ibukota Daulah Abbasyiah ke tangan bangsa Mongol.Hal itu pun menyebabkan seluruh dunia Islam juga mengalami kemunduran.Karena Baghdad pada saat itu berfungsi sebagai kiblat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Kemudian disebabkan oleh kondisi itu, banyak umat Islam yang frustasi akibatnya mereka memilih menjalani kehidupan sebagai seorang sufi, dan berusaha meninggalkan kehidupan intelektual.Mereka yang semula bersifat kritis dan dinamis, kontras berubah menjadi statis.Dan dari sikap itu, berkembang menjadi taklid buta kepada ulama, karena bagi mereka pintu ijtihad telah tertutup.

Namun di belahan bumi yang lain ternyata bangsa Eropa justru sedang mengalami kemajuan yang pesat diakibatkan oleh berkembangnya paham Renaissance.Mereka telah berhasil keluar dari dominasi doktrin gereja yang terjadi pada masa Scholastik (Abad Pertengahan). Oleh karena itu, jika umat Islam ingin maju maka umat Islam harus kembali kepada ajaran al-Quran dan Sunnah.Umat Islam juga harus bersikap kritis dan merdeka. Dan dari kejadian inilah muncullah ungkapan “Umat Islam maju karena dekat dengan agamanya, sedangkan umat Kristen maju karena jauh dari agamanya”.Wallahu a’lam bis showab.  

Kemunduran Daulah Abbasiyah

Masa Kemunduran Dunia Islam (1250 M-1500 M)

Kemunduran umat Islam dalam peradabannya terjadi pada sekitar tahun 1250 M. s/d tahun 1500 M. Kemunduran itu terjadi pada semua bidang terutama dalam bidang Pendidikan Islam. Di dalam Pendidikan Islam kemunduran itu oleh sebagian diyakini karena berasal dari berkembangnya secara meluas pola pemikiran tradisional. Adanya pola itu menyebabkan hilangnya kebebasan berpikir, tertutupnya pintu ijtihad, dan berakibat langsung kepada menjadikan fatwa ulama masa lalu sebagai dogma yang harus diterima secara mutlak (taken for garanted). Di saat umat Islam mengalami kemunduran, di dunia Eropa malah sebaliknya mengalami kebangkitan mengejar ketertinggalan mereka, bahkan mampu menyalib akar kemajuan-kemajuan Islam. Ilmu Pengetahuan dan filsafat tumbuh dengan subur di tempat-tempat orang Eropa. Akibatnya bila pola fikir tradisional yang berkembang di dunia Islam terus tertanam dan tumbuh subur, maka di tempat mereka di Eropa pola pemikiran rasionallah yang didasarkan pada filsafat Rasionalnya Ibn Rusyd yang memacu kebangkitan mereka melalui gerakan-gerakan kebangkitan.Hal ini merupakan penyebab beralihnya secara drastis pusat pendidikan dari dunia Islam ke Eropa.

Pada tahun 565 H/1258 M, tentara Mongol yang berkekuatan sekitar 200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad. Khalifah Al-Mu'tashim betul-betul tidak berdaya dan tidak mampu membendung "topan" tentara Hulagho Khan. Kota Baghdad dihancurkan rata dengan tanah, dan Hulagho Khan menancapkan kekuasaan di Banghdad selama dua tahun, sebelum melanjutkan gerakan ke Syiria dan Mesir Pada masa jayanya kota Baghdad dikenal secara luas sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan dan telah berhasil mengguli kota-kota lain yang dikenal sebagai pusat peradaban manusia.

Namun hal itu berubah drastis sejak penyerangan yang dilakukan tentara Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan.Peristiwa ini terjadi pada tahun 1250 M. Dengan hadirnya Hulagu Khan, maka pusat-pusat ilmu pengetahuan, baik yang berupa perpustakaan maupun lembaga-lembaga pendidikan semuanya mereka porak-porandakan dan mereka bakar sampai punah tak berbekas. Dengan dibumihanguskannya kota Baghdad berikut kekayaan intelektual yang ada didalamnya, maka berakhirlah kebesaran pemerintahan Islam masa lalu, baik dalam wilayah kekuasaan maupun intelektual.

A. Kejatuhan Bagdad dan Cordova

1. Kejatuhan Bagdad.

Sejak tahun 132 H/750 M daulah Abbasiyah dinyatakan berdiri dengan khalifah pertamanya Abu Abbas as-Shafah. Daulah ini berlangsung sampai tahun 656 H/1258 M. Masa yang panjang itu dilaluinya dengan pola pemerimtahan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan politik, budaya, social, dan penguasa. Walaupun abu abbas adalah pendiri daulah ini, namun pembinan sebanarnya adalah abu ja`far al-mansur. Dia dengan keras menghadapi lawan-lawannya dari bani umayyah, khawarij, dan juga syi`ah yang merasa dikucilkan dari kekuasaan.[1]

Penghancuran pusat kebudayaan Islam itu juga berakibat hilangnya dan putusnya akar sejarah intelektual yang telah dengan susah payah dibangun pada masa awal-awal Islam . Adanya kekalahan politik itu berpengaruh besar pada cara pandang dan berpikirnya umat Islam yang telah mulai mengalihkan pandangan dan pemikiran umat Islam yang semula berpaham dinamis berubah menjadi berpaham fatalis .[2]

Dari peristiwa itu kita dapat menarik kesimpulan bahwa. Jatuhnya kota Baghdad di tangan Hulagu Khan pada tahun 1250 M. bukan saja pertanda yang awal dari berakhirnya supremasi Khilafah Abbasyiyah dalam dominasi politiknya, tetapi berdampak sangat luas bagi perjalanan sejarah umat Islam.Karena ini merupakan titik awal kemunduran umat Islam di bidang politik dan peradaban Islam yang selama berabad-abad lamanya menjadi kebanggaan umat .[3]

Namun selain penyerangan itu, ada faktor-faktor lain juga yang menyebabkan jatuhnya Baghdad, di antaranya:
  • Adanya persaingan tidak sehat antara beberapa bangsa yang terhimpun dalam Daulah Abbasyiah, terutama Arab, Persia dan Yurki.
  • Adanya konflik aliran pemikiran dalam Islam yang sering menyebabkan timbulnya konflik berdarah.
  • Munculnya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dari kekuasaan pusat di Baghdad.
  • Kemerosotan ekonomi. 
Umat islam agar selalu dapat berpacu dan mengembangkan diri harus selalu melakukan inovasi serta berkreativitas supaya dapat mencapai keutuhan dan kesempurnaan hidup. Hal ini setidaknya telah menjadi perhatian para penguasa atau khalifah pada masa-masa jayanya islam yang terletak pada kekuasaan Daulah Abbasiyah, segenap kemampuan dan perhatian dicurahkan untuk membangun sebuah peradaban, dengan dijadikannya Bagdad sebagai pusat ibu kota pemerintahan yang didalamnya berdiri istana dan bangunan yang megah dengan seni bangunan arab Persia pada masa itu.

2. Kejatuhan Cordova (spanyol)

Penaklukan spanyol tidak terlepas dari jasa tiga orang pemimpin satuan-satuan pasukan, mereka adalah Tharif bin malik, Tharik bin Ziyad, dan Musa bin Nusair.Tharif dapat disebut sebagai perintis dan penyelidik. Ia menyeberangi selat yang berada di antara Maroko dan benua Eropa itu dengan satu pasukan perang lima ratus orang diantaranya adalah pasukan berkuda, mereka mmenaiki empat buah kapal yang disediakan oleh julian. Dalam penyerbuan itu Tharif tidak mendapat perlawanan yang berarti. Ia menang dan kembali ke afrika utara membawa harta rampasan perang yang tidak sedikit jumlahnya.[4]

Dengan dikuasainya daerah pegunungan jabal Thariq, maka terbukalah pintu secara luas untuk memasuki spanyol. Dalam pertempuran di suatu tempat yang bernama bakkah. Raja Roderick dapat dikalahkan dengan hasil pertempuran tersebut, maka Islam masuk ke spanyol pada tahun 711 dengan merebut kekuasan dari Goth Barat, yakni kekaisaran Visigoth (419-711). Ketika itu Thariq bin ziyad melakuan ekspensi ke spanyol atas perintah Musa bin Nusair, Gubernur Afrika Utara ketika itu. Di bawah pemerintahan walid bin Abdul Malik atau Al-Walid I (705-715) dari dinasti Umayyah yang berkedudukan di damaskus.

B. Kemunduran Pendidikan Islam Pasca Kejatuhan Bagdad Dan Cordova

Kehancuran total yang dialami oleh Bagdad dan cordova sebagai pusat-pusat pendidikan dan kebudayaan islam, menandai runtuhnya sendi-sendi pendidikan dan kebudayaan islam. Musnahnya lembaga-lembaga pendidikan dan semua buku-buku ilmu pengetahuan dari kedua pusat pendidikan di timur dan barat dunia island tersebut, menyebabkan pula kemunduran pendidikan diseluruh dunia islam, terutama dalam bidang intelektual dan material, tetapi tidak demikian halnya dalam bidang kehidupan batin dan spiritual.

Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri khilafah Abbasiyah di sana, tetapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin Hulagu Khan tersebut.

Bangsa Mongol berasal dari daerah pegunungan Mongolia yang membentang dari Asia Tengah sampai ke Siberia Utara, Tibet Selatan dan Manchuria Barat serta Turkistan Timur. Nenek moyang mereka bernama Alanja Khan, yang mempunyai dua putera kembar, Tatar dan Mongol. Kedua putera itu melahirkan dua suku bangsa besar, Mongol dan Tartar. Mongol mempunyai anak bernama Ilkhan, yang melahirkan keturunan pemimpin bangsa Mongol di kemudian hari.

Dalam rentang waktu yang sangat panjang, kehidupan bangsa Mongol tetap sederhana. Mereka mendirikan kemah-kemah dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, menggembala kamhing dan hidup dari hasil buruan. Mereka juga hidup dari hasil perdagangan tradisional, yaitu mempertukarkan kulit binatang dengan binatang yang lain, baik di antara sesama mereka maupun dengan hangsa Turki dan Cina yang menjadi tetangga mereka. Sebagaimana umumnya hangsa nomad, orang-orang Mongol mempunyai watak yang kasar, suka berperang, dan berani menghadang maut dalam mencapai keinginannya. Akan tetapi, mereka sangat patuh kepada pemimpinnya. Mereka menganut agama Syamaniah (Syamanism), menyembah bintang-bintang, dan sujud kepada matahari yang sedang terbit.

Kemajuan bangsa Mongol secara besar-besaran terjadi pada masa kepemimpinan Yasugi Bahadur Khan. la herhasil menyatukan 13 kelompok suku yang ada waktu itu. Setelah Yasugi meninggal, puteranya, Timujin yang masih berusia 13 tahun tampil sebagai pemimpin. Dalam waktu 30 tahun, ia berusaha memperkuat angkatan perangnya dengan menyatukan hangsa Mongol dengan suku bangsa lain sehingga menjadi satu pasukan yang teratur dan tangguh. Pada tahun 1206 M, ia mendapat gelar Jengis Khan, Raja Yang Perkasa. la menetapkan suatu undang-undang yang disebutnya Alyasak atau Alyasah, untuk mengatur kehidupan rakyatnya. Wanita mempunyai kewajiban/yang sama dengan laki-laki dalam kemiliteran. Pasukan perang dibagi dalam beberapa kelompok besar dan kecil, seribu, dua ratus, dan sepuluh orang. Tiap-tiap kelompok dipimpin oleh seorang komandan. Dengan demikian bangsa Mongol mengalami kemajuan pesat di bidang militer.

C. Pendidikan Islam Pada Masa Kemunduran

Kehancuran total yang dialami oleh Baghdad sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan Islam kala itu, menandai runtuhnya sendi-sendi pendidikan dan kebudayaan Islam.Musnahnya lembaga-lembaga pendidikan dan semua buku-buku ilmu pengetahuan dari pusat pendidikan Islam tersebut, menyebabkan pula kemunduran pendidikan di seluruh dunia Islam terutama dalam bidang intelektual dan material, tetapi dalam kehidupan batin dan spiritual (Zuhairi, 2000:111).

Adapun untuk lebih jelasnya, kami akan memaparkan kondisi pendidikan Islam pada masa ini:
  • Kurangnya perhatian para pemimpin (Khalifah) terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesejahteraan ulama.Sehingga perkembangan intelektual agak tersendat-sendat Para pemimpin terlalu sibuk memikirkan pemerintahan (Zuhairi, 2000:110).
  • Terbakarnya perpustakaan serta lembaga pendidikan yang ada, menyebabkan banyaknya khazanah intelektual Islam yang hilang dan hangus terbakar .[6]
  • Suasana gelap dan mencekam yang dialami oleh dunia Islam benar-benar memprihatinkan.Dan pada saat yang bersamaan, bangsa Eropa justru sedang mencapai kejayaan sebagai pengaruh dari berkembangnya paham Renaissance, dan sibuk melakukan misi penjajahan ke negara-negara Islam.Oleh karena itu, banyak umat Islam yang frustasi dan akhirnya berusaha menjauhi kehidupan duniawi, termasuk meninggalkan kehidupan intelektual.Mereka lebih memilih menutup diri dan menjalani kehidupan sebagai seorang sufi.Akhirnya perkembangan ilmu pendidikan menjadi mandeg .
  • Kehidupan sufi berkembang pesat.Madrasah madrasah yang ada berkembang menjadi Zawiyat-zawiyat untuk mengadakan riyadhah di bawah bimbingan dan otoritas seorang Syaikh yang akhirnya berkembang menjadi lembaga tarekat.Dan di madrasah-madrasah yang masih tersisa itu, hampir seluruh kurikulum diisi dengan karya-karya sufistik (Samsul Nizar, 2007:179).
  • Berkembangnya praktek bid’ah dan khurafat.hal itu ditandai dengan banyaknya umat Islam yang mengkultuskan posisi seorang Syaikh dalam suatu tarekat.sampai-sampai ada yang berdoa minta di kuburan seorang syaikh.
  • Dalam bidang fikih, yang terjadi adalah berkembangnya taklid buta di kalangan umat.Dengan sikap hidup yang statis itu, tidak ada penemuan-penemuan baru dalam bidang fikih.Apa yang sudah ada dalam kitab-kitab lama dianggap sebagai sesuatu yang baku, mantap, benar, dan harus diikuti serta dilaksanakan sebagaimana adanya.Sehingga memunculkan pendapat bahwa “pintu ijtihad sudah tertutup”(Zuhairi : 2000:111).

Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa penyebab utama dari mundurnya dunia pendidikan Islam ditandai dengan runtuhnya Baghdad selaku ibukota Daulah Abbasyiah ke tangan bangsa Mongol.Hal itu pun menyebabkan seluruh dunia Islam juga mengalami kemunduran.Karena Baghdad pada saat itu berfungsi sebagai kiblat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Kemudian disebabkan oleh kondisi itu, banyak umat Islam yang frustasi akibatnya mereka memilih menjalani kehidupan sebagai seorang sufi, dan berusaha meninggalkan kehidupan intelektual.Mereka yang semula bersifat kritis dan dinamis, kontras berubah menjadi statis.Dan dari sikap itu, berkembang menjadi taklid buta kepada ulama, karena bagi mereka pintu ijtihad telah tertutup.

Namun di belahan bumi yang lain ternyata bangsa Eropa justru sedang mengalami kemajuan yang pesat diakibatkan oleh berkembangnya paham Renaissance.Mereka telah berhasil keluar dari dominasi doktrin gereja yang terjadi pada masa Scholastik (Abad Pertengahan). Oleh karena itu, jika umat Islam ingin maju maka umat Islam harus kembali kepada ajaran al-Quran dan Sunnah.Umat Islam juga harus bersikap kritis dan merdeka.

No comments:

Post a Comment

 
back to top