Monday, 9 April 2018

MUNASABAH AL-QUR’AN

0 Comments

MUNASABAH AL-QUR’AN

    PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan Fungsi Munasabah
Kata Munasabah secara etimologi, menurut As-suyuthi berarti Al-musyakalah (keserupaan) dan Al-Muqarabah (kedekatan). Az-zarkaysi memberi contoh sebagai berikut: fulan yunasib fulan, berarti si A mempunyai hubungan yang dekat dengan si B dan menyerupainya.
Adapun menurut pengertian terminologi, Munasabah dapat didefinisakan sebagai berikut.
1.      Menurut Az-zarkaysi
المُنَسَبَةُ اَمْرٌ مَعْقُوْلٌ إذَا غُرِضَ عَلَى العُقُوْلِ تَلَقَّنْهُ بِالقَبُوْلِ
Artinya: “Munasabah adalah sesuatu hal yang dapat dipahami. Tatkala dihadapkan kepada akal, pasti akal itu akan menerimanya.
2.      Menurut Manna Al-qaththan
وَجْهُ الإِرْتِبَاطِ بَيْنَ الجُمْلَةِ والجُمْلَةِ فِى الآيَةِ الوَحِدَةِ أَوْ بَيْنَ الأَيَةِ وَ الآيَةِ فِى الآيَةِ المُتَعَدِّدَةِ أَوْ بَيْنَ السُّوْرَةِ وَالسُّوْرَةِ.
Artinya: “Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antarayat pada beberapa ayat, atau antarsurat (didalam Al-qur’an).
3.      Menurut ibn ‘Arabi
إِرْتِبَاطُ أَيِّ القُرْآ نِ بَعْضٍ حَتَّى تَكُوْنَ كَالْكَلِمَةِ الوَاحِدَةِ مُتَّسِقَةِ المَعَانِى مُنْتَظِمَةِ المَبَانِى عِلْمٌ العَظِيْمٌ
Artinya: Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keterangan redaksi.
4.      Menurut Al-biqa’i
Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau urutan bagian-bagian Al-qur’an, baik ayat dengan ayat, atau surat dengan surat.
Jadi, dalam konteks ‘ulum Al-qur’an, Munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antarayat atau antarsurat, baik korelasi itu bersifat umum atau khusus, rasional (‘aqli), persepsi (hassiy), atau imajinatif (khayali), atau korelasi berupa sebab-akibat, ‘illat dan ma’lul, perbandingan, dan perlawanan.[1]
Ilmu Munasabah Al-qur’an adalah ilmu yang membahas persesuaian atau hubungan antara satu ayat dengan ayat lain, baik yang ada di di depannya atau di belakangnya. [2] Ilmu ini, sepenuhnya bersifat ijtihadi, bukan tauqifi (wahyu)[3].
B.     Sejarah Kemunculan Ilmu Munasabah
Wacana tentang Munasabah telah menjadi perbincangan ahli tafsir semenjak masa awal. Pada abad ke-4 H. muncul Abu Bakr Al-Nisaburi (w. 309 H.) mengungkapkan keserasian antar satu ayat dengan ayat yang lain, satu surat dengan surat yang lain berdasarkan urutan dalam mushaf. Kemudian Fakhr Al-Din Al-Razi (w. 606 H.) dalam karya tafsinya Al-Tafsir Al-Kabir, Abu ja’far ibn Zubayr (w. 708 H.) dan penulis ensiklopedi Munasabah dalam tafsir, Ibrahim Al-Biqa’i (w. 885 H.).[4]
Menurut Asy-syarahbani, seperti dikutip Az-zarkasyi dalam Al-burhan, orang pertama yang menampakkan Munasabah dalam menafsirkan Al-qur’an adalah abu bakar An-Naisaburi (wafat tahun 324 H). Namun kitab tafsir Naisaburi yang dimaksud sukar dijumpai sekarang, sebagaimana dinyatakan Adz-dzahabi. Besarnya An-Naisaburi terhadap Munasabah Nampak dari ungkapan As-suyuthi sebgai berikut: “setiap kali ia (An-Naisaburi) duduk di atas kursi, apabila dibacakan Al-qur’an kepadanya, beliau berkata,” mengapa ayat ini diletakkan di samping ayat ini dan apa rahasia diletakkan surat ini di samping surat ini? “beliau mengkritik para ulama Baghdad lantaran mereka tidak mengetahui.”
Tindakan An-Naisaburi merupakan kejutan dan langkah baru dalam tafsir waktu itu. Beliau mempunyai kemampuan untuk menyingkap persesuaian, baik antarayat ataupun antarsurat, terlepas terlepas dari segi tepat atau tidaknya, segi pro dan kontra terhadap apa yang dicetuskan beliau. Satu hal yang jelas, beliau dipandang sebagai bapak ilmu Munasabah. Dalam perkembangnya, Munasabah meningkat menjadi salah satu ilmu cabang dari ilmu-ilmu Al-qur’an. Ulama-ulama yang datang kemudian menyusun pembahasan Munasabah secara khusus. Di antara kitab yang khusus membahas Munasabah adalah Al-burhan fi munasabati tartibil Al-qur’an susunan Ahmad Ibn Ibrahim Al-andalusi (wafat 807 H). Menurut pengarang Tafsir An-Nur, penulis membahas dengan baik masalah Munasabah adalah Burhanuddin Al-biqa’I dalam kitabnyaNazhmud Durar Fi Tanasubil Ayati Was Suwar.
As-Suyuthi membahas tema Munasabah dalam Al-Itqan dengantopik “fi munasabatil ayati” sebelum membahas tentang ayat-ayat mutasabhihat. Az-zarkasyi membahas soal Munasabah dalam Al-burhanberjudul “ma’rifatul munasabat baina ayati” sesudah membahas asbabul nuzul. Subhi shalih memasukkan pembahasab Munasabah dalam bagian ilmu asbabul nuzul, tidak dalam satu pasal tersendiri. Manna’ qaththan yang menulis lebih kemudian dari subhi shalih tetap menempatkan Munasabah dalam satu pasal tersendiri. Sebaliknya, sa’id ramadhan Al-buthi tidak membicarakan Munasabah dalam bukunya Min Rawai’il Qur’an.
Ada beberapa istilah yang digunakan oleh mufassir mengenai Munasabah. Ar-razi menggunakan istilah “ta’alluq” sebagai sinonim Munasabah. Ketika menafsirkan ayat 16-17 surat hud, beliau menulis, ketahuilah bahwa pertalian (ta’alluq) antara ayat ini dengan ayat sebelumnya jelas, yaitu apakah orang kafir itu sama dengan orang yang mempunyai bukti yang nyata dari tuhannya, sama dengan orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya dan orang-orang itu tidaklah memperoleh di akhirat kecuali neraka.
Sayyid Quthb menggunakan lafal “irtibath” sebagai pengganti istilah Munasabah. Hal ini dijumpai ketika beliau menafsirkan surat Al-baqarah ayat 188, “pertalian (irtibath) antara bagian ayat tersebut jelas, yaitu antara bulan baru (ahiliyyah) waktu bagi manusia dan haji serta antara adat jahiliyyah khususnya dalam musalah haji sebagaimana diisyaratkan dalam bagian ayat kedua.
Sayyid rasyid ridla menggunakan dua istilah, yaitu Al-ittisal dan at-ta’lil. Hal ini terlihat ketika menafsirkan Q.S. 4:3 sebagai berikut: “hubungan persesuaian (ittishal) antara ayat ini dengan ayat sebelumnya sangat nyata.”
Al-lusi menggunakan istilah tartib itu, bahwa kaitan surat maryam dan thoha, “aspek tartib itu, bahwa Allah mengemukakan kisah beberapa orang Nabi dalam surat maryam, selanjutnya menerangkan terperinci, seperti kisah zakaria dan isa. Begitu selanjutnya mengenai Nabi-Nabi yang lain. Penafsiran pada waktu mendatang akan banyak diwarnai oleh mufassir menurut bidang keahliannya.[5]
C.     Cara Mengetahui Munasabah
Dalam meneliti keserasian susunan ayat dan surat (Munasabah) dalam Al-qur’an diperlukan ketelitian dan pemikiran yang mendalam. Menurut As-Suyuthi, ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan untuk menemukan Munasabah dalam Al-qur’an, yaitu:[6]
1.      Harus diperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian.
2.      Memerhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat.
3.      Menentukan tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungannya ataukah tidak.
4.      Dalam mengambil kesimpulan, hendaknya memerhatikan ungkapan-ungkapan bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan. [7]
D.    Faidah mempelajari ilmu Munasabah
Ilmu Munasabah Al-qur’an mempunyai beberapa fungsi (faedah), yaitu:[8]
1.      Dapat membantu memahami adanya takwil ayat.
2.      Dapat mengetahui makna-makna Al-qur’an, I’jaznya, menetapkan penjelasan, keteraturan kalamnya dan keindahan uslubnya.
3.      Dapat mengetahui kedudukan suatu ayat yang terkadang sebagaita’kid ayat sebelumnya, atau sebagai tafsiran, atau selingan.
4.      Dapat mengetahui kondisi dan situasi yang merupakan latar belakang (background)-nya suatu peristiwa.
5.      Dapat mengetahui ‘alaqah antara khitam suatu surat dengan fatihah surat berikutnya, atau fatihah dengan khitam satu surat.
E.     Macam-macam Munasabah
Dalam Al-qur’an terdapat beberapa bentuk Munasabah, Munasabah dari segi materinya dapat di bagi menjadi dua, yaitu Munasabah antar ayat maupun Munasabah antar surat.[9]  Dalam Al-qur’an sekurang-kurangnya terdapat tujuh macam Munasabah, yaitu sebagai berikut. [10]
1.      Munasabah antar surat dengan surat sebelumnya
As-suyuthi menyimpulkan bahwa Munasabah antarsatu surat dengan surat sebelumnya berfungsi menerangkan atau menyempurnakan ungkapan pada surat sebelumnya. Sebagai contoh, dalam surah Al-fatihah (1) ayat 1 terdapat ungkapan “Alhamdulillah”.Ungkapan ini berkorelasi dengan surat Al-baqarah ayat (2) ayat 152 dan 186 berikut:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
Artinya: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (Q.S. Al-baqarah: 152).
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Q.S. Al-baqarah: 186).
        Ungkapan rabb Al-‘alamin dalam surat Al-fatihah berkorelasi dengan firman Allah berikut:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (21) الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلاَ تَجْعَلُواِللهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ.
Artinya: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.(21) Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui. (Q.S. Al-baqarah:21-22).
Keserasian hubungan (Munasabah) antar surat dengan surat ini pada hakekatnya memperlihatkan kaitan yang erat pada setiap surat. Satu surat berfungsi menjelaskan surat sebelumnya, misalnya didalam surat Al-fatihah (1) ayat 6 disebutkan:
Artinya: “tunjukanlah kami jalan yang lurus 
Lalu dijelaskan di dalam surat Al-Baqoroh (2) ayat 2, bahwa jalan yang lurus itu ialah mengikuti pentujuk Al-qur’an, sebagaimana disebutkan:
Artinya: “kitab (Al-qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa “.
2.      Munasabah antara nama surat dan tujuan turunnya
Setiap surat mempunyai tema pembicaraan yang menonjol, dan itu tercermin pada namanya masing-masing, seperti surat Al-baqarah, surat Yusuf, surat An-Naml, dll. Tampak ada rahasia di balik nama tersebut, Imam As-Suyuthi melihat adanya keterkaitan antara nama dengan kandungan atau uraian yang dimuat dalam suatu surat, kaitan antara nama surat dengan isi dapat diindentifikasikan sebagai berikut:
a.       Nama diambil dari urgensi isi serta kedudukan surat. seperti surat Al-fatihah
b.      Nama diambil dari perumpamaan, peristiwa, kisah atau peran yang menonjol. Seperti surat Al-Ankabut, Al-Lahab, Al-Fil dll.
c.       Nama sebagai cerminan isi pokoknya. Misalnya surat Al-Ikhlash, Al-Mulk dsb.
d.      Nama diambil dari tema spesifik. Contohnya surat Al-Hajj, Ath-Thalaq, Al-Jumu’ah dll.
e.       Nama diambil dari huruf-huruf yang terletak pada awal surat. Seperti surat Thaha, Yasin dsb.
Misalnya surat Al-baqarah ayat 67-71: menceritakan lembu betina mengandung inti pembicaraan tentang kekuasaan Allah membangkitkan orang mati. Dengan perkataan lain, tujuan surat ini adalah menyangkut tuhan dan keimanan pada hari akhir.
3.      Munasabah antar bagian suatu ayat
Munasabah antarbagian suatu surat sering terbentuk pola Munasabah at-thadadat (perlawanan) seperti terlihat dalam surat:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ ۚ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا ۖ وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya: “Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ´Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-hadid: 4).
Di antara kata yalizu (masuk) dan kata yakhruju (keluar), serta kata yanzilu (turun) dan kata ya’ruju (naik), terdapat korelasi perlawanan. Contoh lainnya adalah kata Al-adzab dan ar-rahmah dan janji baik setelah ancaman. Munasabah seperti ini dapat dijumpai dalam surah Al-baqrah, an-nisa, dan surah Al-maidah.
4.      Munasabah antara suatu kelompok ayat dengan kelompok ayat di sampingnya
Dalam surat Al-baqarah ayat 1 sampai 20, umpamanya Allah melalui penjelasannya tentang kebenaran dan fungsi Al-qur’an bagi orang-orang yang bertakwa. Dalam kelompok ayat berikutnya dibicarakan tentang tiga kelompok manusia dan sifat mereka yang berbeda-beda, yaitu mukmin, kafir, dan munafik.
5.      Munasabah antara fashilah (pemisah) dan isi ayat
Jenis Munasabah ini mengandung tujuan tertentu. Di antaranya adalah menguatkan (tamkin) makna yang terkandung dalam suatu ayat. Umpamanya, diungkapkan dalam surat berikut:
 وَ رَدَّ اللهُ الَّذينَ كَفَرُوا بِغَيْظِهِمْ لَمْ يَنالُوا خَيْراً وَ كَفَى اللهُ الْمُؤْمِنينَ الْقِتالَ وَ كانَ اللهُ قَوِيًّا عَزيزاً
Dan Allah usir kembali orang.-orang yang kafir itu dengan sakit hati, tidak memperoleh yang baik. Dan Allah menghindarkan peperangan dari orang-orang yang beriman. Dan Allah adalah Maha Kuat, Maha Perkasa (Q.S. Al-ahzab: 25).
Dalam ayat ini Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan, bukan karena menganggapnya lemah, melainkan karena Allah mahakuat dan maha perkasa, jadi, adanya fashilah di antara kedua penggalan ayat di atas di maksudkan agar pemahaman terhadap ayat tersebut menjadi lurus dan sempurna. Tujuan dari fashilah adalah memberi penjelas tambahan, yang meskipun tanpa fashilah makna ayat sudah jelas. Contonya:
إِنّكَ لاَ تُسْمِعُ الْمَوْتَىَ وَلاَ تُسْمِعُ الصّمّ الدّعَآءَ إِذَا وَلّوْاْ مُدْبِرِينَ
“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang”. (Q.S. Al-naml: 80).
Kalimat idza wallau mudbirin merupakan penjelas (tamkin) tambahan terhadap makna orang tuli.
6.      Munasabah antara awal surat dengan akhir surat yang sama
Untuk Munasabah ini, misalnya kisah Nabi Musa as dalam Al-qur’an, yang diawali dengan penjelasan perjuangan Nabi Musa as ketika berhadapan dengan kekejaman fir’aun. Atas perintah dan pertolongan Allah, Nabi Musa as berhasil keluar dari mesir setelah menagalamiberbagai tekanan. Dalam awal surat ini juga dijelaskan bahwa Nabi Musa tidak akan menolong orang yang kafir. Pada akhir surat, Allah menyampaikan kabar gembira kepada Nabi Muhammad yang menghadapi tekanan dari kaumnya dan janji Allah atas kemenangannya. Munasabah di sini terletak dari sisi kesamaan kondisi yang dihadapi oleh Nabi tersebut. Ini juga di jelaskan dalam pandangan Nasr Hamid Abu Zaid.
7.      Munasabah antara penutup suatu surat dengan awal surat berikutnya
Jika memperhatikan setiap pembukaan surat, kita akan menjumpai Munasabah dengan akhir surat sebelumnya, sekalipun tidak mudah untuk mencarinya. Umpamanya, pada permulaan surat Al-hadid dimulai dengan tasbih:
سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Artinya: ‘Semua yang berada di langit dan yang dibumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan dialah yang mahakuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. Al-hadid: 1).
Ayat ini bermunasabah dengan akhir surat sebelumnya, Al-waqi’ah ayat 56 yang memerintahkan bertasbih:
فَسَبِّحْ بإِسْمِ رَبِّكَ العَظِيْمِ.
Artinya: maka bertasbihah dengan (menyebut) nama tuhanmua yang maha besar. (Q.S. Al-waqi’ah: 56).



F.      Kedudukan Munasabah dalam penafsiran Al-qur’an
1.      Golongan yang mendukung dan mengembangkan Munasabah dalam menafsirkan ayat Al-qur’an. Ar-razi[11] adalah orang yang sangat mendukung Munasabah, baik antarayat atau antarsurat. Sedangkan Nizhamuddin An-Naisaburi dan Abu Hayyan Al- Andalusi hanya menaruh besar pada Munasabah antarayat saja. Az-Zarqani, seorang ulama dalam ilmu Al-qur’an yang hidup pada abad XIV, menilai bahwa kitab-kitab tafsir yang beliau jumpai penuh dengan pembahasan Munasabah.
2.      Golongan yang kurang setuju dengan pada Munasabah yaitu, Mahmud Syaltut, mantan Rektor Al-azhar yang memiliki karya tulis dalamberbagai cabang ilmu, tertmasuk tafsir Al-qur’an. Beliau kurang setuju terhadap mufassir yang membawa kotak Munasabah dalam menafsirkan Al-qur’an. Tokoh yang paling menentang penggunaan Munasabah adalah Ma’ruf Dualibi. Ia menyatakan: “maka termasuk usaha yang percuma untuk mencari hubungan apa di antara ayat-ayat dalam surat, sebagaimana andaikata urusan itu dalam satu hal sajdalam topik tetang aqaid, atau kewajiban-kewajiban.” Menurut Ma’ruf Dualibi, Al-qur’an dalam berbagai ayat hanya mengungkapkan hal-hal yang bersifat prinsip (mabda’) dan norma umumnya (qaidah). Dengan demikian tidaklah pada tempatnya bila orang bersikeras harus ada kaitan antar ayat-ayat yang bersifat tafsil. Pendapat beliau ditampung oleh As-syatibi dalam kitab Al-Mufawaqat. Al-qur’an menggariskan prinsip-prinsip, terutama dalam masalah hubungan antar manusia dan qaidah-qaidah umum. Maka ia membutuhkan penjelasan dari rasullah dan ijtihad beliau. Datangnya As-sunnah jusrtu untuk mengemban fungsi itu meluruskan apa yang ringkas, merinci apa yang masih global serta menjelaskan ha-hal yang sulit dipahami.[12]
Ahli Tafsir biasanya memulai penafsirannya dengan mengemukakan lebih dahulu Asbabun Nuzul ayat. Sebagian mereka sesungguhnya bertanya-tanya yang manakah yang lebih baik, memulai penafsiran dengan mendahulukan penguraian tentang Asbabun Nuzul atau mendahulukan penjelasan tentang Munasabah ayat-ayat. Pertanyaan itu mengandung pernyataan yang tegas mengenai kaitan ayat-ayat Al-qur’an dan hubungannya dalam rangkaian yang serasi. [13]
Pengetahuan mengenai korelasi atau Munasabah antar ayat-ayat itu bukanlah tauqifi (sesuatu yang ditetapkan rasul) melainkan hasil ijtihad mufassir, buah penghayatannya terhadap kemukjizatan Al-qur’an, rahasia retorika dan segi keterangannya mandiri. Apabila korelasi itu halus maknanya, keharmonisan konteksnya, sesuai asas-asas kebahasaan dalam bahasa Arab. Korelasi itu dapat diterima. Ini bukan berarti bahwa mufassir harus mencari kesesuaian bagi setiap ayat karena Al-qur’an turun secara bertahap, sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Seorang mufassir terkadang dapat membuktikan Munasabah antara ayat-ayat dan terkadang tidak. Oleh sebab itu ia tidak perlu memaksakan diri untuk menemukan kesesuaian itu. Jika demikian maka kesesuaian itu hanya sesuatu yang dibuat-buat dan hal ini tidak disukai.
Menyadari kenyataan wahyu dalam Al-qur’an yang tidak bisa dipisah satu dengan yang lainnya, baik antara ayat dengan ayat maupun surah dengan surah, maka keberadaan ilmu Munasabah menjadi penting dalam memahami Al-qur’an secara utuh. Secara global, ada dua arti penting Munasabah sebagai salah satu metode untuk memahami Al-qur’an.Pertama, dari sisi balaghah, korelasi antara ayat dengan ayat menjadikan keutuhan yang indah dalam tata bahasa Al-qur’an, dan bila dipenggal maka keserasian, kehalusan dan keindahan ayat akan hilang, untuk itu Ar-razi berkata: “kebanyakan kehalusan dan keindahan Al-qur’an dibuang begitu saja, yakni dalam tertib hubungan dan susunannya (Al-munasabah).
Kedua, ia memudahkan orang dalam memahami makna ayat atau surah, sebab penafsiran Al-qur’an dengan ragamnya (bil ma’tsur dan bir rayi) jelas membutuhkan pemahaman korelasi (Munasabah) antara satu ayat dengan ayat lainnya, akan fatal akibatnya bila penafsiran ayat dipenggal-penggal sehingga menghilangkan keutuhan makna. Seperti halnya ilmu-ilmu Al-qur’an lainnya, ilmu Munasabah juga tidak kering dari pertanyaan-pertanyaan mendasar yang harus diselesaikan, karena memang sejak hadirnya Al-qur’an sebagai petunjuk bagi manusia, maka ia menjadi objek pikiran manusia, baik eksistensinya, historitas maupun cara turunnya.
Ilmu Munasabah dipahami sebagai pembahasan tentang rangkaian ayat-ayat beserta korelasinya, dengan cara turunnya yang berangsur-angsur dan tema-tema serta penekanan yang berbeda. Ketika menjadi sebuah kitab, ayat-ayat yang terpisah secara waktu dan bahasan itu dirangkai dalam sebuah susunan yang baku. Dari sini wajar bila muncul pertanyaan, jika suatu ayat dimasukkan ke dalam suatu surat tertentu, berdasarkan perintah rasulallah, bagaimana kita mesti menemukan kaitan antara satu dengan lainnya yang dari segi waktu dan keadaan yang melatarbelakangi turunnya saling berbeda?
Manfaat Munasabah dalam memahami ayat Al-qur’an ada dua, yakni memahami keutuhan, keindahan dan kehalusan bahasa serta membantu kita dalam memahami keutuhan makna Al-qur’an itu sendiri. Untuk menemukan korelasi antar ayat, sangat diperlukan kejernihan rohani dan rasio agar terhindar dari kesalahan penafsiran. Pembagian macam-macam Munasabah, ada yang  berlandaskan lafadz, makna dan susunan ayat atau surah.  
G.    Relevansi ilmu Munasabah dengan ilmu Asbabun Nuzul dalam penafsiran Al-qur’an
Munasabah dan Asbabun Nuzul sama-sama cabang dari Ulumul qur’an yang menerangkan makna Al-qur’an. Jika Asbabun Nuzul membahas ayat/surat Al-qur’an melalui sebab-sebab turunnya dan latar belakang historis, maka Munasabah mencoba membahas ayat dan surat Al-qur’an berdasarkan hubungan/relevansi dengan ayat/surat lainnya. Asbabun Nuzul merupakan ilmu yang diakui sangat kuat dalam membantu mencari makna ayat/surat Al-qur’an. Memang mengetahui Asbabun Nuzul sangat membantu dalam memahami ayat. Namun demikian terdapat beberapa kelemahan dalam pencarian makna melalui cara Asbabun Nuzul ini, yaitu dalam hal periwayatan.
Mengetahui Asbabun Nuzul suatu ayat/surat sama halnya dengan menerapkan teori “lompatan waktu”. Kita dapat mengetahui sebab-sebab turunnya suatu ayat/ surat hanya melalui satu sumber yaitu sumber riwayat. Suatu masalah akan muncul manakala terdapat dua atau lebih riwayat yang saling bertentangan mengenai suatu ayat. Hanya ada satu kemungkinan yaitu riwayat yang tidak shohih, tidak mungkin semua riwayat benar. Inilah yang menyulitkan para mufasir dalam mengungkapkan suatu makna ayat/surat
Demikianlah keberadaan ilmu Munasabah menjadi salah satu alternatif bagi kita untuk memahami makna ayat/surat dalam Al-qur’an. Bilamana ia tidak menyimpang dari apa yang telah diterangkan dalam asbabun Nuzul. Lebih jauh menurut Muhammad Abduh suatu surat memiliki satu makna dan erat pula hubungannya dengan surat sebelum dan sesudahnya. Apabila suatu ayat belum atau tidak biketahui Asbabunnuzulnya atau ada Asbabunnuzul tetapi riwayatnya lemah, maka ada baiknya pemahaman suatu ayat/surat dalam Al-qur’an ditinjau dari sudut Munasabahnya dengan ayat/surat sebelum maupun sesudahnya.
Melalui ilmu Munasabah suatu ayat/surat dapat dipahami makna tanpa asbabunnuzul. Asal seorang mufasir mempunyai pengetahuan yang luas tentang Munasabah bagi kita baik Asbabun Nuzul atau Munasabah sangat membantu dalam menerangkan mengungkapkan makna suatu ayat atau surat dalam Al-qur’an. Asbabunnuzul dan Munasabah sebagai cabang Ulumul qur’an yang saling membantu dan melengkapi dalam menafsirkan Al-qur’an.
H.    Pandangan Nasr Hamid Abu Zaid tentang Munasabah Al-qur’an
1.      Kesusuaian Antar Surat
Menurut Abu Zaid bahwa para ulama memulai pengkajian perihal “kesesuaian antar surah dan ayat” dengan melontarkan pertanyaan tentang hikmah di balik pembuatan ayat yang sesuai dengan ayat yang lain, begitu pula pembuatan surat yang berbarengan dengan surat yang lain dengan berusaha mendapatkan hubungan-hubungan umum antar surat dari sisi kandungannya. Misalnya: surat Al-fatihah menduduki tempat yang khusus lantaran ia representasikan pengantar dasar bagi teks, seperti yang kita lihat dari namanya Al-fatihah (yang membuka) atau Umm Al-Kitab (induk kitab). Dengan demikian Al-fatihah memuat meskipun secara indikatif (menggambarkan keadaan) semua bagian Al-qur’an. Ia sebagai pembuka atau gerakan pertama dalam konser simponi yang kemudian harus menunjukkan gerakan-gerakan berikutnya. Atas dasar ini ilmu-ilmu Al-qur’an dapat di ringkas dalam tiga bagian utama yang masing-masing di tunjukkan oleh surat Al-fatihah sebagai surat pembuka, pengantar dan sebagai induk Al-Kitab sekaligus. Al-fatihah menjadi induk Al-Kitab sebab di dalamnya terkandung induk ilmu-ilmu Al-qur’an,  yaitu tauhid, peringatan, dan hukum-hukum.[14]
Jika dikaitkan dengan munasabah antar surat Al-fatihah dengan Al-baqarah merupakan hubungan khusus stilistika- kebahasaan sementara hubungan umum lebih berkaitan isi dan kandungan. Kemudian antara surat Al-baqarah dengan surat Al-Imran merupakan kaitan yang didasarkan pada semacam Ta’wil (interpretasi). Ta’wil ini dilakukan agar surat tersebut menyempurnakan surat Al-baqarah, artinya surat Al-Imran menjelaskan apa yang memuat pengacuan dalil mengenai hukum yang ada di surat Al-baqarah. Ini berarti hukum-hukum yang di tunjukkan oleh surat Al-fatihah terkandung dalam surat Al-baqarah yang merupakan dalil bagi hukum-hukum tersebut. Dan surat Al-Imran memuat jawaban atas keragu-raguan para musuh yang khusus berkaitan dengan dalil tersebut. Oleh karena itu surat Al-baqarah mendahului surat Al-Imran lantaran hubungan yang lebih awal antara Islam dan Yahudi dan lantaran faktor historis di mana diturunkannya Taurat lebih dulu dari pada Injil. Kemudian surat An-Nisa’ dan Al-Ma’idah memuat detil-detil hukum dan syri’at. An-Nisa’ memuat hukum-hukum yang mengatur hubungan sosial sementara Al-Ma’idah memuat hukum-hukum yang mengatur hubungan perdagangan dan ekonomi dan masih ada munasabah antar surat yang lain.   
2.      Kesusuaian Antar Ayat
Menurut Nasr Hamid Abu Zaid Munasabah antarsurat, seperti yang telah kita lihat, berusaha menjadikan teks sebagai kesatuan umum yang mengacu pada berbagai macam hubungan yang mempunyai corak interpretatifOleh karena itu, pengkajian mengenai hai ini menggiring kita secara langsung ke dalam inti kajian kebahasaan terhadap mekanisme teks. Yang penting adalah Munasabah tidak mengkaji hubungan-hubungan eksternal, dan tidak berdasarkan pada bukti-bukti di luar teks. Akan tetapi teks dalam ilmu ini merupakan bukti itu sendiri. Tekslah yang menegaskan norma-norma hubungan-hubungannya atas dasar strukturnya yang bersifat kebahasaan, rasional, dan indrawi. Hal itu tidak berarti bahwa hubungan-hubungan tersebut merupakan hubungan “objektif” yang terpisak dari gerak akal pembaca atau mufassir, tetapi ia merupakan hubungan yang muncul dari dialektika antara pembaca dan teks dalam proses pembacaan.[15]
Pada dasarnya, konsep “kesatuan” teks merupakan konsep yang merujuk pada persoalan I’jaz, yaitu sebuah persoalan yang dalam skala besar mengacu pada perbedaan antara pembicara teks- Allah- dengan pembicara-pembicara selain selainnya. Oleh karena itu, para penganjur ilmu Munasabah menghindari pembicaraan tentang Munasabah antarayat, yang aspek keterkaitan ayat sangat jelas.
Seperti halnya mereka menghindari pembicaraan tentang contoh-contoh yang ada di dalamnya terdapat ayat yang dihubungkan (di athaf-kan) pada ayat sebelumnya, dan aspek hubungan antara keduanya didasarkan pada asas pengumpulan. Kosentrasi hanya ditujukan kepada ayat-ayat yang ma’ruf (dihubungkan) satu dengan lainnya, bukan pada hubungan yang biasa (‘ataf) yang memiliki aspek hubungan yang jelas secara panjang lebar dijelaskan dan dianalisis oleh Abdul Qahir Al-Jurjani dalam bab Al-fasal wa Al-wasl. Sebuah bab yang nmejelaskan signifikansinya.
Misal dari munasabah antarayat tampak ayat pertama dari surat Al-Isra’ dalam bahasan ilmu munasabah memiliki tempat khusus di mana hubungan antar ayat perlu di ungkapkan dengan cara menghindari hubungan ‘ataf (penghubung) biasa. Ayat pertama berbicara tentang Isra’ (berjalan malam Nabi) ayat keduaberalih pada pembicaraan tentang Musa dan bani Israil di mana kedua ayat tersebut di hubungkan dengan huruf wawu. Kemudian muncul ayat keempatyang menyebutkan janji Allah bagi bani Israil dan sampai ayat kedelapan. Pada ayat sembilan teks beralih berbicara tentang Al-qur’an. Dalam semua ayat tersebut kita melihat adanya perbedaan Fashilah berupa pada ayat pertama berupa huruf ra’, ayat kedua lam yang di baca panjang, sementara ayat ketiga sampai kesembilan fashilahnya berupa huruf ra’ yang di baca panjang. Al-Baqilani berpendapat bahwa apa yang merupakan fashilah (pemisah) antara ayat pertama dan kedua sebenarnya merupakan wasl (hubungan). Dan masih banyak lagi penjelasan Nasr Zayd tentang munasabah antarsurat dapat dilihat dalam bukunya yang berjudul “Tekstualitas Al-qur’an (kritik terhadap ulumul qur’an).”








BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kata Munasabah secara etimologi, menurut As-suyuthi berarti Al-musyakalah (keserupaan) dan Al-MuqArabah (kedekatan). Az-zarkaysi memberi contoh sebagai berikut: fulan yunasib fulan, berarti si A mempunyai hubungan yang dekat dengan si B dan menyerupainya.
Adapun menurut pengertian terminologi, Munasabah dapat didefinisakan sebagai ilmu yang membahas persesuaian atau hubungan antara satu ayat dengan ayat lain, baik yang ada di di depannya atau di belakangnya. Ilmu ini, sepenuhnya bersifat ijtihadi, bukan tauqifi.
Munasabah terbagi menjadi dua bentuk, yaitu: Munasabah antarsurat dan Munasabah antarayat. Munasabah antarsurat meliputi: Munasabah antara nama surat dan tujuannya, Munasabah antara awal surat dengan akhir surat, Munasabah antara akhir surat dengan awal surat berikutnya, Dan Munasabah mengenai kandungan surat secara umum dengan surat berikutnya. Sedangkan Munasabah antar ayat meliputi: hubungan makna suatu ayat dengan ayat sebelumnya atau sesudahnya dan hubungan antara makna bagian suatu surat dengan bagian lain dari ayat tersebut.

No comments:

Post a Comment

 
back to top