MAKALAH BELAJAR DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADIS
Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !
Pendahuluan
Pendidikan memiliki peran yang sangat penting karena tanpa melalui pendidikan, proses transformasi dan aktualisasi pengetahuan sulit untuk diwujudkan. Demikian juga dengan sains sebagai bentuk pengetahuan ilmiah dalam pencapaiannya harus melalui proses pendidikan yang ilmiah pula. Oleh karena itu Islam menekankan akan pentingnya belajar baik melalui aktivitas membaca, menelaah, meneliti segala sesuatu yang terjadi di alam raya ini.
Belajar adalah suatu aktifitas di mana terdapat sebuah proses dari tidak tahu menjadi tahu, tidak mengerti menjadi mengerti, tidak bisa menjadi bisa untuk mencapai hasil yang optimal. Jadi belajar merupakan perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman atau latihan yang diperkuat.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Oleh karena itu belajar dapat disimpulkan sebagai suatu usaha sadar yang dilakukan oleh individu dalam perubahan tingkah lakunya baik melalui latihan dan pengalaman yang menyangkut aspek kognitif, afektif dan psikomotor untuk memperoleh tujuan tertentu.
Islam memandang manusia sebagai mahluk yang dilahirkan dalam kaadaan fitrah atau suci, Tuhan memberi potensi yang bersifat jasmaniah dan rohaniah yang didalamnya terdapat bakat untuk belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan mansia itu sendiri.
Al-Qur’an merupakan Firman Allah SWT. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. sebagai pedoman bagi manusia dalam menata kehidupannya, agar memperoleh kebahagiaan lahir dan bathin, dunia dan akhirat. Konsep-konsep yang dibawa Al-Qur’an selalu relevan dengan problema yang dihadapi manusia, karena ia turun untuk berdialog dengan setiap umat yang ditemuinya, sekaligus menawarkan pemecahan terhadap problema yang dihadapinya, kapan dan dimanapun mereka berada.
Malakah ini akan menganalisis konsep belajar dalam perspektif al-Qur’an dan Hadis Nabi saw, mencakup dasar hukum dan karakterintiknya.
PEMBAHASAN
A. Keniscayaan Belajar
Pandangan al-Qur’an terhadap aktivitas pembelajaran, antara lain dapat dilihat dalam kandungan ayat 31-33 al-Baqarah:
وعلم ءادم الأسماء كلها ثم عرضهم على الملائكة فقال أنبئوني بأسماء هؤلاء إن كنتم صادقين(31)قالوا سبحانك لا علم لنا إلا ما علمتنا إنك أنت العليم الحكيم(32)قال ياآدم أنبئهم بأسمائهم فلما أنبأهم بأسمائهم قال ألم أقل لكم إني أعلم غيب السموات والأرض وأعلم ما تبدون وما كنتم تكتمون(33)البقرة
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!"
Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini". Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"
Menurut Prof. Dr. Quraish Shihab, ayat ini menginformasikan bahwa manusia dianugrahi ALLAH potensi untuk mengetahui nama-nama atau fungsi dan karakteristik benda-benda, misalnya fungsi api, angin dan sebagainya. Dan ia juga dianugrahi untuk berbahasa. Itulah sebabnya maka pengajaran bagi anak-anak bukanlah dimulai melalui pengajaran “kata kerja”, tetapi terlebih dahulu mengenal nama-nama . Ini ayah, Ibu, anak, pena, buku danlain sebagainya.[1]
Senada dengan penjelasan di atas, Prof. H. Ramayulis, menyatakan bahwa Allah telah mengajarkan berbagai konsep dan pengertian serta memperkenalkan kepada nabi Adam AS sejumlah nama-nama benda alam (termasuk lingkungan) sebagai salah satu sumber pengetahuan, yang dapat diungkapkan melalui bahasa. Dengan demikian maka Nabi Adam berarti telah diajarkan menangkap konsep dan memaparkannya kepada pihak lain. Dus, Nabi Adam AS pada saat itu telah menguasai symbol sebagai saran berfikir (termasuk menganalisis), dan dengan simbul itu ia bisda berkomunikasi menerina tranformasi pengetahuan, ilmu, internalisasi nilai dan sekaligus melakukan telaah ilmiah.[2]
Jadi proses pembelajaran Nabi Adam (manusia pada saat awal kehadirannya) telah sampai pada tahap praekplorasi fenomena alam, dengan pengetahuan mengenali sifat, karakteristik dan perilaku alam. Hal ini bisa kita perhatikan pernyataan ayat 31 al-Maidah:
فَبَعَثَ اللَّهُ غُرَابًا يَبْحَثُ فِي الْأَرْضِ لِيُرِيَهُ كَيْفَ يُوَارِي سَوْءَةَ أَخِيهِ قَالَ يَا وَيْلَتَا أَعَجَزْتُ أَنْ أَكُونَ مِثْلَ هَذَا الْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْءَةَ أَخِي فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِينَ (31)المائدة
Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal.
Sebagian mufassir menjelaskan bahwa setelah “Qobil”[3] mengamati apa yang dilakukan oleh burung gagak dan mendapatkan pelajaran darinya, dia berkata:” Aduhai celaka besar, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak itu, lalu menguburkan mayat saudaraku (untuk menutupi bau busuk yang ditimbulkannya)?. Karena itu dia menjadi orang yang menyesal akibat kebodohannya, kecuali sesudah belajar dari peristiwa gagak.[4] Peristiwa ini menjadi indikasi bahwa telah terjadi proses pembelajaran melalui fenomena alam, dengan pengetahuan mengenali sifat, karakteristik dan perilaku alam
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa belajar dan pembelajaran merupakan aktivitas yang melekat secara inhern dalam diri manusia. Sebagai hamba Allah yang ditugasi sebagai khalifah di bumi, manusi tidak bisa tidak pasti terlibat secara alamiah dengan pembelajaran. Jadi ayat tersebut terkait erat dengan ayat sebelumnya, yaitu bahwa Allah telah mengangkat manusia sebagai khalifahNya di muka bumi. Atas alasan inilah maka manusia dianugrahi potensi untuk belajar dan mengajar sebagai bagian tak terpisah dengan tugas yang diembannya. Oleh karena itu Islam sebagai agama menegaskan bahwa belajar merupakan kewajiban bagi setiap muslim, sebagaimana ditegaskan Rasulullah saw.
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ شِنْظِيرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَوَاضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ أَهْلِهِ كَمُقَلِّدِ الْخَنَازِيرِ الْجَوْهَرَ وَاللُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ ».ابن ماجه
Berangkat dari penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa manusia yang tidak terdorong untuk belajar(mendapatkan kebnaran), pada dasarnya adalah mengingkari watak alamiyahnya, karena belajar itu hakikatnya merupakan kebutuhan asasi manusia. Dorongan ini ada dalam diri manusia untuk menemukan berbagai hakikat sebagaimana adanya. Artinya manusia ingin mendapatkan pengetahuan tentang alam dan wujud benda-benda dalam kaadaan sesungguhnya. Teori ini diperkuat dengan salah satu do’a Nabi saw.,
“Ya Allah perlihatkan kepadaku segala sesuatu sebagaimana yang sesungguhnya ada”.[5]
Kecenderungan manusia terhadap filsafat adalah bagian dari kecenderungan mengetahui berbagai hakikat. Oleh sebab itu dorongan mencari kebenaran ini sering pula disebut sebagai kesadaran filosofis. Dorongan ini muncul karena dalam diri manusia terdapat fitrah, dan karena itu pula manusia dapat menerima rangkaian pengetahuan dari luar. Dalam bahasa Arab menalar disebut dengan al-idrak . Artinya adalah naik tangga dan sampai.. Berdasar pengertian ini para failosof menyebut orang yang mencari sesuatu dan menemukannya dengan istilah Innahu qad adrakahu. Orang ahli psikologi menyebut dorongan ini dengan istilah “dorongan ingin tahu”.[6]
Pendapat para ahli, menyatakan bahwa dorongan ingin tahu mulai muncul pada diri anak sejak mereka berumur antara dua tahun setengah, atau tiga tahun. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh sang anak. Jika orang tua tidak pandai menyikapi, maka perkembangan kemampuan ini bisa terhambat, dan akan merusak pertumbuhan kecerdasan anak bersangkutan.[7]
Oleh karena itu supaya dapat mengembangkan diri secara optimal maka secara berkelanjutan manusia senantiasa belajar untuk mendapatkan kebenaran demi kebahagiaan dan cita-citanya. Inilah salah satu alasannya mengapa Allah menyatakan bahwa antara orang yang berilmu dengan yang tak berilmu tidak boleh disamakan. sebab hanya orang yang berilmulah yang dapat mengambil pelajaran, sehingga ia dapat mengambil manfaat dari peoses kehidupan ini. Tugas kekhalifahan akan mecapai sukses jika didukung dengan ilmu.
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الأَلْبَابِ" (الزمر/ 9)
Sukses mengemban amanat tersebut sering wujud dengan perasaan bahagia. Maka dalam konteks ini, Rasulullah menegaskan dalam salah satu haditsnya bahwa siapa saja yang terus berproses dalam belajar mencari pengetahuan dan ilmu, maka Allah akan menunjukkan kemudahan mencapai “surga”. Statemen Rasulullah ini sekarang menjadi semboyan bahwa ilmu dan tehnologi menawarkan kenyamanan hidup.
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِى السَّمَاءِ وَالأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانِ فِى الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ ».ابن ماجه
B. Karakteristik belajar
اقرأ باسم ربك الذي خلق(1)خلق الإنسان من علق(2)اقرأ وربك الأكرم(3)الذي علم بالقلم(4)علم الإنسان ما لم يعلم(5) العلق
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Iqra’ terambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari makna ini lahir beragam makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu dan membaca, baik teks tulis maupun tidak tertulis. Ayat ini tidak menjelaskan obyek yang harus dibaca. Ini berarti al-Qur’an menghendaki umat yang beriman kepadanya supaya membaca seluruh fenomena alam ini, selama pembacaan tersebut dilakukan “bismi Rabbik”, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Obyek pembacaan bisa berupa alam semesta, tanda-tanda zaman, sejarah maupun diri sendiri.[8]
Ayat ini juga mengisyaratkan bahwa untuk mendapatkan kecakapan membaca dan wawasan yang baru, maka proses pembacaan harus dilakukan secara berulang-ulang. Kontiunitas pembacaan haruslah tetap dalam kerangka bismi Rabbik (Demikian pesan dari pernyataan Iqra’ wa Rabbuka al-Akram). Selanjutnya diperoleh isyarat pula bahwa cara memperoleh hasil belajar/ ilmu dapat ditempuh melalui dua model. Cara pertama pembelajaran dengan alat (pena) yang telah diketahui manusia lain sebelumnya, dan cara kedua dengan pembelajaran tampa alat dan tampa usaha manusia. Walaupun berbeda, namun ke dua cara itu sama-sama bersumber dati Allah.
Dalam konteks proses pembacaan dengan landasan “bismi Rabbik ini”, maka landasan iman hendaknya dijadikan sebagai tumpuan utama. Dengan begitu maka motivasi belajar akan selalu diniatkan karena mejalankan perintah Allah (ikhlas) dan ilmu yang diperopleh senantiasa diorientasikan kepada kemaslahatan mansia. Ilmu dan teknologi memberi banyak manfaat dan menawarkan kenyamanan hidup, sedangkan iman memberikan arah dan makna hidup. Perapaduan keduanya akan mengantar manusia menempati predikat unggul, sebab hidupnya mendapat ridla Allah dan senantiasa memberi manfaat pada orang lain. Sebagaimana diisyaratkan ayat 11 al-Mujadalah:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Selanjutnya sebagai konsekuensi logis dari paradigma “1qra’ bismi Rabbik” tersebut, maka dalam proses pembelajaran , manusia harus melibatkan seluruh patensi yang dimiliki, potensi akal fikiran, perasaan/intuisi dan hati sekaligus. Sebab menurut al-Qur’an, seorang yang memiliki ilmu haruslah memiliki sifat dan ciri khasyat, takut dan kagum kepad Allah. Sebagaimana ditegaskan dalam surat al-Fathir 28:
إنما يخشى الله من عباده العلماء إن الله عزيز غفور(28)الفاطر
Oleh karena itu maka pembelajaran yang dilakukan oleh Rasulullah bukan hanya sekedar mencerdaskan akal fikiran manusia, tetapi sekaligus melakukan proses tazkiyah, sebagaimana ditegaskan ayat 2 al-Jum’at:
هو الذي بعث في الأميين رسولا منهم يتلو عليهم ءاياته ويزكيهم ويعلمهم الكتاب والحكمة وإن كانوا من قبل لفي ضلال مبين(2)
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata, Muhahammad Abduh memahami bahwa misi Nabi Muhammad saw adalah membacakan ayat kauniyah yang menunjukkan kekuasaan Allah, kebijaksanaan dan keesaanNya; membersihkan jiwa dari keyakinan yang sesat, kekotoran akhlak dan lain-lain yang meraja lela pada jaman jahiliyah; mengajar tulis menulis dengan pena, membebaskan meraka dari keterbelakangan untuk meraih peradaban yang unggul; mengajarkan rahasia persoalan agama, pengetahuan hokum, kemaslahatan dan cara pengamalannya.[9]
Oleh karena itu menurut al-Qur’an, semboyan ilmu hanya untuk ilmu, atau belajar hanya untuk pengembangan ilmu, tidak dikenal sama sekali. Ilmu pengetahuan/ belajar dalam perspektif al-quran tidak bebas nilai, tetapi harus memiliki nilai ilahiyah (transenden); dikembangkan sebagai bagian dari ibadah kepada Allah dan diorientasikan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan bagi kemanusiaan. Itulah sebabnya maka kaum muslimin dilarang oleh Rasulullah saw untuk berfikir dan berbuat hal-hal yang tidak berguna, dan sebaliknya didorong untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Sebagaimana dalah hadist Nabi saw.
أخبرنا يزيد بن سنان قال حدثنا عبد الرحمن بن مهدي قال أنبأنا سفيان عن أبي سنان عن عبد الله بن أبي الهذيل عن عبد الله بن عمروأن النبي صلى الله عليه وسلم كان يتعوذ من أربع من علم لا ينفع ومن قلب لا يخشع ودعاء لا يسمع ونفس لا تشبع- النسائي في السنن الكبرى
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « اللَّهُمَّ انْفَعْنِى بِمَا عَلَّمْتَنِى وَعَلِّمْنِى مَا يَنْفَعُنِى وَزِدْنِى عِلْمًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ وَأَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ عَذَابِ النَّارِ » ابن ماجه
Selanjutnya dari hadits dan ayat ayat di atas dapat dipahami pula bahwa bagian penting dari proses belajar adalah kemampuan individu untuk memproduksi hasil belajarnya menjadi hal-hal yang bermanfaat. Hal ini bisa dikaitkan dengan kemampuan Nabi Adam AS menyubutkan nama-nama kepada Malaikat. Demikian juga kemampuan Qabil untuk menguburkan jenazah saudaranya yang telah dibunuh. Jadi belajar harus membuahkan perubahan kea rah yang lebih baik. Dengan demikian maka proses belajar menjadi wahana untuk memiliki kemampuan memilih.
Pendahuluan
Pendidikan memiliki peran yang sangat penting karena tanpa melalui pendidikan, proses transformasi dan aktualisasi pengetahuan sulit untuk diwujudkan. Demikian juga dengan sains sebagai bentuk pengetahuan ilmiah dalam pencapaiannya harus melalui proses pendidikan yang ilmiah pula. Oleh karena itu Islam menekankan akan pentingnya belajar baik melalui aktivitas membaca, menelaah, meneliti segala sesuatu yang terjadi di alam raya ini.
Belajar adalah suatu aktifitas di mana terdapat sebuah proses dari tidak tahu menjadi tahu, tidak mengerti menjadi mengerti, tidak bisa menjadi bisa untuk mencapai hasil yang optimal. Jadi belajar merupakan perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman atau latihan yang diperkuat.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Oleh karena itu belajar dapat disimpulkan sebagai suatu usaha sadar yang dilakukan oleh individu dalam perubahan tingkah lakunya baik melalui latihan dan pengalaman yang menyangkut aspek kognitif, afektif dan psikomotor untuk memperoleh tujuan tertentu.
Islam memandang manusia sebagai mahluk yang dilahirkan dalam kaadaan fitrah atau suci, Tuhan memberi potensi yang bersifat jasmaniah dan rohaniah yang didalamnya terdapat bakat untuk belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan mansia itu sendiri.
Al-Qur’an merupakan Firman Allah SWT. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. sebagai pedoman bagi manusia dalam menata kehidupannya, agar memperoleh kebahagiaan lahir dan bathin, dunia dan akhirat. Konsep-konsep yang dibawa Al-Qur’an selalu relevan dengan problema yang dihadapi manusia, karena ia turun untuk berdialog dengan setiap umat yang ditemuinya, sekaligus menawarkan pemecahan terhadap problema yang dihadapinya, kapan dan dimanapun mereka berada.
Malakah ini akan menganalisis konsep belajar dalam perspektif al-Qur’an dan Hadis Nabi saw, mencakup dasar hukum dan karakterintiknya.
PEMBAHASAN
A. Keniscayaan Belajar
Pandangan al-Qur’an terhadap aktivitas pembelajaran, antara lain dapat dilihat dalam kandungan ayat 31-33 al-Baqarah:
وعلم ءادم الأسماء كلها ثم عرضهم على الملائكة فقال أنبئوني بأسماء هؤلاء إن كنتم صادقين(31)قالوا سبحانك لا علم لنا إلا ما علمتنا إنك أنت العليم الحكيم(32)قال ياآدم أنبئهم بأسمائهم فلما أنبأهم بأسمائهم قال ألم أقل لكم إني أعلم غيب السموات والأرض وأعلم ما تبدون وما كنتم تكتمون(33)البقرة
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!"
Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini". Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"
Menurut Prof. Dr. Quraish Shihab, ayat ini menginformasikan bahwa manusia dianugrahi ALLAH potensi untuk mengetahui nama-nama atau fungsi dan karakteristik benda-benda, misalnya fungsi api, angin dan sebagainya. Dan ia juga dianugrahi untuk berbahasa. Itulah sebabnya maka pengajaran bagi anak-anak bukanlah dimulai melalui pengajaran “kata kerja”, tetapi terlebih dahulu mengenal nama-nama . Ini ayah, Ibu, anak, pena, buku danlain sebagainya.[1]
Senada dengan penjelasan di atas, Prof. H. Ramayulis, menyatakan bahwa Allah telah mengajarkan berbagai konsep dan pengertian serta memperkenalkan kepada nabi Adam AS sejumlah nama-nama benda alam (termasuk lingkungan) sebagai salah satu sumber pengetahuan, yang dapat diungkapkan melalui bahasa. Dengan demikian maka Nabi Adam berarti telah diajarkan menangkap konsep dan memaparkannya kepada pihak lain. Dus, Nabi Adam AS pada saat itu telah menguasai symbol sebagai saran berfikir (termasuk menganalisis), dan dengan simbul itu ia bisda berkomunikasi menerina tranformasi pengetahuan, ilmu, internalisasi nilai dan sekaligus melakukan telaah ilmiah.[2]
Jadi proses pembelajaran Nabi Adam (manusia pada saat awal kehadirannya) telah sampai pada tahap praekplorasi fenomena alam, dengan pengetahuan mengenali sifat, karakteristik dan perilaku alam. Hal ini bisa kita perhatikan pernyataan ayat 31 al-Maidah:
فَبَعَثَ اللَّهُ غُرَابًا يَبْحَثُ فِي الْأَرْضِ لِيُرِيَهُ كَيْفَ يُوَارِي سَوْءَةَ أَخِيهِ قَالَ يَا وَيْلَتَا أَعَجَزْتُ أَنْ أَكُونَ مِثْلَ هَذَا الْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْءَةَ أَخِي فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِينَ (31)المائدة
Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal.
Sebagian mufassir menjelaskan bahwa setelah “Qobil”[3] mengamati apa yang dilakukan oleh burung gagak dan mendapatkan pelajaran darinya, dia berkata:” Aduhai celaka besar, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak itu, lalu menguburkan mayat saudaraku (untuk menutupi bau busuk yang ditimbulkannya)?. Karena itu dia menjadi orang yang menyesal akibat kebodohannya, kecuali sesudah belajar dari peristiwa gagak.[4] Peristiwa ini menjadi indikasi bahwa telah terjadi proses pembelajaran melalui fenomena alam, dengan pengetahuan mengenali sifat, karakteristik dan perilaku alam
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa belajar dan pembelajaran merupakan aktivitas yang melekat secara inhern dalam diri manusia. Sebagai hamba Allah yang ditugasi sebagai khalifah di bumi, manusi tidak bisa tidak pasti terlibat secara alamiah dengan pembelajaran. Jadi ayat tersebut terkait erat dengan ayat sebelumnya, yaitu bahwa Allah telah mengangkat manusia sebagai khalifahNya di muka bumi. Atas alasan inilah maka manusia dianugrahi potensi untuk belajar dan mengajar sebagai bagian tak terpisah dengan tugas yang diembannya. Oleh karena itu Islam sebagai agama menegaskan bahwa belajar merupakan kewajiban bagi setiap muslim, sebagaimana ditegaskan Rasulullah saw.
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ شِنْظِيرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَوَاضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ أَهْلِهِ كَمُقَلِّدِ الْخَنَازِيرِ الْجَوْهَرَ وَاللُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ ».ابن ماجه
Berangkat dari penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa manusia yang tidak terdorong untuk belajar(mendapatkan kebnaran), pada dasarnya adalah mengingkari watak alamiyahnya, karena belajar itu hakikatnya merupakan kebutuhan asasi manusia. Dorongan ini ada dalam diri manusia untuk menemukan berbagai hakikat sebagaimana adanya. Artinya manusia ingin mendapatkan pengetahuan tentang alam dan wujud benda-benda dalam kaadaan sesungguhnya. Teori ini diperkuat dengan salah satu do’a Nabi saw.,
“Ya Allah perlihatkan kepadaku segala sesuatu sebagaimana yang sesungguhnya ada”.[5]
Kecenderungan manusia terhadap filsafat adalah bagian dari kecenderungan mengetahui berbagai hakikat. Oleh sebab itu dorongan mencari kebenaran ini sering pula disebut sebagai kesadaran filosofis. Dorongan ini muncul karena dalam diri manusia terdapat fitrah, dan karena itu pula manusia dapat menerima rangkaian pengetahuan dari luar. Dalam bahasa Arab menalar disebut dengan al-idrak . Artinya adalah naik tangga dan sampai.. Berdasar pengertian ini para failosof menyebut orang yang mencari sesuatu dan menemukannya dengan istilah Innahu qad adrakahu. Orang ahli psikologi menyebut dorongan ini dengan istilah “dorongan ingin tahu”.[6]
Pendapat para ahli, menyatakan bahwa dorongan ingin tahu mulai muncul pada diri anak sejak mereka berumur antara dua tahun setengah, atau tiga tahun. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh sang anak. Jika orang tua tidak pandai menyikapi, maka perkembangan kemampuan ini bisa terhambat, dan akan merusak pertumbuhan kecerdasan anak bersangkutan.[7]
Oleh karena itu supaya dapat mengembangkan diri secara optimal maka secara berkelanjutan manusia senantiasa belajar untuk mendapatkan kebenaran demi kebahagiaan dan cita-citanya. Inilah salah satu alasannya mengapa Allah menyatakan bahwa antara orang yang berilmu dengan yang tak berilmu tidak boleh disamakan. sebab hanya orang yang berilmulah yang dapat mengambil pelajaran, sehingga ia dapat mengambil manfaat dari peoses kehidupan ini. Tugas kekhalifahan akan mecapai sukses jika didukung dengan ilmu.
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الأَلْبَابِ" (الزمر/ 9)
Sukses mengemban amanat tersebut sering wujud dengan perasaan bahagia. Maka dalam konteks ini, Rasulullah menegaskan dalam salah satu haditsnya bahwa siapa saja yang terus berproses dalam belajar mencari pengetahuan dan ilmu, maka Allah akan menunjukkan kemudahan mencapai “surga”. Statemen Rasulullah ini sekarang menjadi semboyan bahwa ilmu dan tehnologi menawarkan kenyamanan hidup.
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِى السَّمَاءِ وَالأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانِ فِى الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ ».ابن ماجه
B. Karakteristik belajar
اقرأ باسم ربك الذي خلق(1)خلق الإنسان من علق(2)اقرأ وربك الأكرم(3)الذي علم بالقلم(4)علم الإنسان ما لم يعلم(5) العلق
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Iqra’ terambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari makna ini lahir beragam makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu dan membaca, baik teks tulis maupun tidak tertulis. Ayat ini tidak menjelaskan obyek yang harus dibaca. Ini berarti al-Qur’an menghendaki umat yang beriman kepadanya supaya membaca seluruh fenomena alam ini, selama pembacaan tersebut dilakukan “bismi Rabbik”, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Obyek pembacaan bisa berupa alam semesta, tanda-tanda zaman, sejarah maupun diri sendiri.[8]
Ayat ini juga mengisyaratkan bahwa untuk mendapatkan kecakapan membaca dan wawasan yang baru, maka proses pembacaan harus dilakukan secara berulang-ulang. Kontiunitas pembacaan haruslah tetap dalam kerangka bismi Rabbik (Demikian pesan dari pernyataan Iqra’ wa Rabbuka al-Akram). Selanjutnya diperoleh isyarat pula bahwa cara memperoleh hasil belajar/ ilmu dapat ditempuh melalui dua model. Cara pertama pembelajaran dengan alat (pena) yang telah diketahui manusia lain sebelumnya, dan cara kedua dengan pembelajaran tampa alat dan tampa usaha manusia. Walaupun berbeda, namun ke dua cara itu sama-sama bersumber dati Allah.
Dalam konteks proses pembacaan dengan landasan “bismi Rabbik ini”, maka landasan iman hendaknya dijadikan sebagai tumpuan utama. Dengan begitu maka motivasi belajar akan selalu diniatkan karena mejalankan perintah Allah (ikhlas) dan ilmu yang diperopleh senantiasa diorientasikan kepada kemaslahatan mansia. Ilmu dan teknologi memberi banyak manfaat dan menawarkan kenyamanan hidup, sedangkan iman memberikan arah dan makna hidup. Perapaduan keduanya akan mengantar manusia menempati predikat unggul, sebab hidupnya mendapat ridla Allah dan senantiasa memberi manfaat pada orang lain. Sebagaimana diisyaratkan ayat 11 al-Mujadalah:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Selanjutnya sebagai konsekuensi logis dari paradigma “1qra’ bismi Rabbik” tersebut, maka dalam proses pembelajaran , manusia harus melibatkan seluruh patensi yang dimiliki, potensi akal fikiran, perasaan/intuisi dan hati sekaligus. Sebab menurut al-Qur’an, seorang yang memiliki ilmu haruslah memiliki sifat dan ciri khasyat, takut dan kagum kepad Allah. Sebagaimana ditegaskan dalam surat al-Fathir 28:
إنما يخشى الله من عباده العلماء إن الله عزيز غفور(28)الفاطر
Oleh karena itu maka pembelajaran yang dilakukan oleh Rasulullah bukan hanya sekedar mencerdaskan akal fikiran manusia, tetapi sekaligus melakukan proses tazkiyah, sebagaimana ditegaskan ayat 2 al-Jum’at:
هو الذي بعث في الأميين رسولا منهم يتلو عليهم ءاياته ويزكيهم ويعلمهم الكتاب والحكمة وإن كانوا من قبل لفي ضلال مبين(2)
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata, Muhahammad Abduh memahami bahwa misi Nabi Muhammad saw adalah membacakan ayat kauniyah yang menunjukkan kekuasaan Allah, kebijaksanaan dan keesaanNya; membersihkan jiwa dari keyakinan yang sesat, kekotoran akhlak dan lain-lain yang meraja lela pada jaman jahiliyah; mengajar tulis menulis dengan pena, membebaskan meraka dari keterbelakangan untuk meraih peradaban yang unggul; mengajarkan rahasia persoalan agama, pengetahuan hokum, kemaslahatan dan cara pengamalannya.[9]
Oleh karena itu menurut al-Qur’an, semboyan ilmu hanya untuk ilmu, atau belajar hanya untuk pengembangan ilmu, tidak dikenal sama sekali. Ilmu pengetahuan/ belajar dalam perspektif al-quran tidak bebas nilai, tetapi harus memiliki nilai ilahiyah (transenden); dikembangkan sebagai bagian dari ibadah kepada Allah dan diorientasikan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan bagi kemanusiaan. Itulah sebabnya maka kaum muslimin dilarang oleh Rasulullah saw untuk berfikir dan berbuat hal-hal yang tidak berguna, dan sebaliknya didorong untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Sebagaimana dalah hadist Nabi saw.
أخبرنا يزيد بن سنان قال حدثنا عبد الرحمن بن مهدي قال أنبأنا سفيان عن أبي سنان عن عبد الله بن أبي الهذيل عن عبد الله بن عمروأن النبي صلى الله عليه وسلم كان يتعوذ من أربع من علم لا ينفع ومن قلب لا يخشع ودعاء لا يسمع ونفس لا تشبع- النسائي في السنن الكبرى
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « اللَّهُمَّ انْفَعْنِى بِمَا عَلَّمْتَنِى وَعَلِّمْنِى مَا يَنْفَعُنِى وَزِدْنِى عِلْمًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ وَأَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ عَذَابِ النَّارِ » ابن ماجه
Selanjutnya dari hadits dan ayat ayat di atas dapat dipahami pula bahwa bagian penting dari proses belajar adalah kemampuan individu untuk memproduksi hasil belajarnya menjadi hal-hal yang bermanfaat. Hal ini bisa dikaitkan dengan kemampuan Nabi Adam AS menyubutkan nama-nama kepada Malaikat. Demikian juga kemampuan Qabil untuk menguburkan jenazah saudaranya yang telah dibunuh. Jadi belajar harus membuahkan perubahan kea rah yang lebih baik. Dengan demikian maka proses belajar menjadi wahana untuk memiliki kemampuan memilih.
MAKALAH METODE PENGAJARAN AL-QUR’AN
Makalah Metode Pengajaran Al-Qur’an
BAB I
PENDAHULUAN
Belajar dan mengajarkan Al-Qur’an merupakan kewajiban yang harus dilakukan bersama-sama. Bagi umat Islam tentunya Al-Qur’an merupakan tuntunan dan pedoman dalam kehidupan untuk menuju masa depan yang sesuai dengan ajaran Agama Islam.
Menjadikan Al-Qur’an sebagai imam dalam hidup adalah prinsip yang seharusnya dimiliki setiap muslim, namun harapan ini tidak sesuai dengan fakta dan realitanya. Berapa banyak anak-anak muslim yang sulit membaca Al-Qur’an, sulit mengetahui dan memahami Al-Qur’an, bahkan sama sekali tidak tahu membaca Al-Qur’an.
Realita banyaknya generasi Islam yang tidak lagi peduli dengan kitab suci Al-Qur’an merupakan tanda-tanda bahwa Agama Islam tidak lagi menjadi acuan dan dasar utama dalam kehidupan umat Islam saat ini, banyak dari mereka yang lebih memilih untuk belajar bahasa inggris, jepang, komputer dll daripada mempelajari Al-Qur’an dengan sungguh-sungguh.
Oleh karena itulah, bagi kita para guru, ustadz/ustadzah dan para orang tua untuk memikirkan persoalan yang terjadi saat ini, menindaklanjuti dan berkomitmen untuk mengajarkan Al-Qur’an dengan baik dan benar kepada Generasi penerus merupakan tanggung jawab dan langkah yang harus dilaksanakan sedini mungkin.
BAB II
PEMBAHASAN
Makalah Metode Pengajaran Al-Qur’an
A. Pengertian Metode
Metode dapat diartikan sebagai cara-cara atau langkah-langkah yang digunakan dalam menyampaikan sesuatu gagasan, pemikiran, atau wawasan yang disusun secar sistematik dan terencana serta di dasarkan pada teori, konsep dan prinsip-prinsip tertentu yang terdapat di dalam berbagi disilpin ilmu terkait.[1]
B. Metode Pengajaran Al-Qur’an
Dilihat dari segi langkah-langkah dan tujuan kompetensi yang ingin dicapai, terdapat sejumlah metode pengajaran yang dapat digunakan
1. Metode Demostrasi
Metode domonstrasi adalah cara penyajian pelajaran dengan memperagakan atau mempertunjukan kepada peserta didik tentang suatu proses.[2] Bisa melalui dengan menggunakan peralatan atau dengan benda.
2. Metode Latihan/Drill
Metode latihan/drill adalah metode yang digunakan untuk memperoleh ketangkasan atau keterampilan latihan terhadap apa yang dipelajari, karena dengan melakukannya secara praktis suatu pengetahuan dapat disempurnakan dan siap siagakan.[3]
3. Metode Pemberian Tugas
Metode pemberian tugas adalah suatu cara pengajaran dimana seorang pendidik memberikan tugas-tugas tertentu kepada peserta didik.[4]
4. Metode Muthala’an atau Qiraat
Metode muthala’an atau qiraat adalah metode membaca pada peserta didiknya, dan peserta didik menyimak dan memperhatikan bacaan dan sekali-sekali peserta didik menirukan bacaan pendidik tersebut. Teknik ini dapat dilakukan oleh peserta didik yang sudah pandai membaca dan peserta didik lainnya tinggal menyimak, fungsi pendidik di sini adalah memperhatikan dan menegur bila terjadi kesalahan dalam membaca.[5]
5. Melalui Tape Recorder
Alat ini banyak sekali manfaatnya dalam kaitannya mempercepat mengusai lagu-lagu tilawatil quran, karena dengan sering mendengarkan, mempelajari serta mempraktekan, maka lama kelamaan akan melekatlah lagu-lagu tersebut dalam ingatan kita.[6]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan Makalah Metode Pengajaran Al-Qur’an
Mudah-mudahan dengan mengetahui Metode Pengajaran Al-Qur’an ini akan membantu para pendidik untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada peserta didik dengan baik dan benar, dan semoga dengan menggunakan metode ini akan mempercepat pemahaman peserta didik untuk mengetahui, memahami dan membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar.
Makalah Cara dan Sistem Pembinaan dalam Menghafal Al-Quran
Oleh: Ardiansyah, M.Pd.I
Editor By: Ibrahim Lubis, M.Pd.I
BAB I
PENDAHULUAN
Belajar membaca Al-quran bisa kita dapatkan tidak hanya di lembaga pendidikan formal, tetapi juga bisa di dapatkan di lembaga pendidikan non formal atau pendidilan luar sekolah, baik yang bersifat kelembagaan atau pun secara perorangan.
Agar dapat membaca Al-quran dengan baik dan benar, tidak bisa hanya bergantung dari pendidikan formal saja, tetapi harus ditambah dengan pendidikan non formal atau pendidikan luar sekolah. Apalagi bagi yang menimba Ilmu di sekolah umum, yang jam pelajaran pendidikan agamanya sedikit, sementara materi yang diajarkan juga sangat banyak. Oleh karena itu perlulah ditambahkan lagi dengan pendidikan di luar sekolah untuk membantu menutupi kekurangan yang terjadi pada saat belajar disekolah.
BAB II
PEMBAHASAN
Makalah Cara dan Sistem Pembinaan dalam Menghafal Al-Quran
A. Pengertian Dan Fungsi Pembinaan
Pendidikan menghafal Al-quran di kalangan umat Islam Indonesia sebenarnya sudah lama dan berkembang serta berjalan bersamaan dengan perkembanagn syariat Islam pada umumnya baik di pondok-pondok pesantren maupun di rumah-rumah. Sehingga sampai saat ini sudah banyak mencetak para Hafizh (penghafal Al-quran) yang tersebar luas di kalangan masyarakat serta mendapat perhatian dan tempat yang layak di kalangan masyarakat. Pada umunya lembaga pendidikan tahfizul quran ini masih sangat sederhana sekali, belum mempunyai program tertentu serta petunjuk-petunjuk praktis bagi calon-calon penghafal Al-quran.
Mereka menghafal secara alami tanpa metode, terserah kemauan calon penghafal Al-quran itu sendiri, sehingga ada yang mampu menghafal Al-quran dalam tempo yang relatif singkat tetapi ada juga yang hanya sanggup menghafal dengan memakan waktu yang cukup lama. Berdasarkan hal-hal tersebut danuntuk menyelesaikan dengan perkembanagan masa kiranya saat ini kita perlu menemukan suatu istem pendidikan manghafal Al-quran yang lebih baik, lebih terarah dan lebih mantap dari yang telah ada dan berkembang sebelumnya. Dalam hal ini kita maksudkan ada sisitem pendidikan menghafal Al-quran.[1]
Melahirkan seorang hafizhul quran tidak terlalu mudah sebab tidak semua orang yang kuat ingatannya dan tidak semua orang mempunyai niat dan tekad yang kuat pula untuk menghafal Al-quran. Namun memelihara yang telah ada dan meningkatkan mutu hafalannya nampaknya lebih sulit lagi. Kesulitan ini yang timbul adalah di sebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor dalam, yakni sikap jiwa dan pemikiran seorang hafizh itu sendiri maupun faktor luar yaitu penerimaan dan penghargaan masyarakat terhadap para hafizh.
Pada waktu menghafal yang dihadapi oleh calon hafizh adalah hanya Al-quran dan ilmu-ilmu lain yang berhubungan dengannya. Selain itu tempat ia tinggal pun biasanya lembaga pendidikan, baik pesantren Al-Quran maupun sekolah khusus yang suasanannya sangat mendukung dalam menyelesaikan pekerjaan menghafal yang ditekuninya serta mendapat bimbingan dari seorang setiap saat. Sedangkan apabila ia telah hafal atau menjadi hafizh dan terjun ditengah-tengah masyarakat maka keadaanya menjadi lain. Sebab kehadiran para hafizh di tengah-tengah masyarakat langsung dihadapkan pada berbagai masalah, bukan saja masalah kehidupan dan penghidupan mereka tetapi juga dihadapkan kepada sikap masyarakat terhadapnya.[2]
B. Syarat-Syarat Menghafal Al-Quran
Diantara beberapa hal yang harus terpenuhi sebelum seseorang memasuki periode menghafal Al-quran adalah:
- Mampu mengosongkan benaknya dari pikiran-pikiran dan teori-teori atau permasalahan-permasalahan yang sekirannya akan mengganggunya. Dan juga harus membersihkan diri dari segala sesuatu perbuatan yang kemungkinan dapat merendahkan nilai studinya, kemudian menekuni secara baik dengan hati terbuka, lapang dada dan dengan tujuan yang suci.
- Niat yang ikhlas dan sungguh-sungguh akan mengantarkan seseorang ketempat tujuan dan akan membentengi atau menjadi perisai terhadap kendala-kendala yang mungkin akan datang merintanginya.
- Memiliki keteguhan dan kesabaran. Ini merupakan faktor-faktor yang sangat penting bagi orang yang sedang menghafal Al-quran.
- Istiqamah yaitu konsisten tetap menjaga minat yang tinggi dalam proses menghafal Al-quran. Menjauhkan diri dari maksiat dan sifat-sifat tercela.[3]
- Kekuatan konsentrasi.
- Mengulang-ngulang hafalan secara rutin dan teratur.
- Menentukan target hafalan.[4]
- Mampu membaca dengan baik. Sebelum seorang penghafal melangkah pada periode menghafal seharusnya ia terlebih dahulu meluruskan dan melancarkan bacaannya.
- Mencari pembimbing atau guru yang tepat.
- Selalu aktif mencari strategi-strategi yang dapat mendukung hafalanya.
- Selalu mohon bimbingan dan pertolongan Allah.[5]
C. Faktor-Faktor Pendukung Menghafal Al-Quran
Di samping syarat-syarat menghafal Al-quran sebagaimana yang diterangkan di atas, terdapat beberapa hal yang dianggap penting sebagai pendukung tercapainya tujuan menghafal Al-quran. Faktor-faktor pendukung yang dimaksud adalah:
1. Usia yang ideal. Sebenarnya tidak ada batasan usia tertentu secara mutlak untuk menghafal Al-quran, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa tingkat usia seseorang memang berpengaruh terhadap keberhasilan menghafal Al-quraan. Seorang yang usia masih mudah tentu lebih potensial daya serap terhadap ayat-ayat yang dihafal. Asumsi ini didukung oleh perkataan Imam Abu Hamid Al-Ghazali mengatakan bahwa anak merupakan amanat bagi kedua orang tuanya, hatinya yang masih bersih murni merupakan mutiara yang bening dan indah bersih dari segala coretan, lukisan maupun tulisan.
2. Manajemen waktu, adapun waktu-waktu yang dianggap sesuai dan baik untuk menghafal dapat diklasifikasikan sebagai berikut: waktu sebelum terbit fajar, setelah fajar sehingga terbit matahari, setelah bangun dari tidur siang, setelah shalat, waktu di antara magrib dan isya.
3. Tempat menghafal. Situasi tempat dan kondisi suatu tempat ikut mendukung tercapainya program menghafal Al-quran. Suasana yang bising, kondisi lingkungan yang tak sedap dipandang mata, oleh karena itu untuk menghafal diperlukan tempat yang ideal untuk terciptanya konsentrasi. [6]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Selain kewajiban seorang muslim itu mampu membaca Al-quran dengan baik dan benar, kita juga dianjurkan untuk membaca Al-quran dengan suara merdu supaya lebih indah didengar dan dapat menarik minat seseorang untuk mempelajarinya, disamping itu kita juga disunnahkan untuk menghafalnya, ini disebabkan karena akan begitu banyak hikmah yang akan diperoleh oleh orang yang menghafalnya diantaranya akan mendapatkana syafaat Rasulullah saw, akan dimuliakan oleh Allah swt. Kemudian kita juga dianjurkan untuk dapat menulisnya dengan seni yang indah.
Makalah Pendidikan dan Pelatihan Seni Baca Al-quran
Oleh: Ardiansyah, M.Pd.I
Editor: Ibrahim Lubis, M.Pd.I
BAB I
PENDAHULUAN
Belajar membaca Al-quran bisa kita dapatkan tidak hanya di lembaga pendidikan formal, tetapi juga bisa di dapatkan di lembaga pendidikan non formal atau pendidilan luar sekolah, baik yang bersifat kelembagaan atau pun secara perorangan. Agar dapat membaca Al-quran dengan baik dan benar, tidak bisa hanya bergantung dari pendidikan formal saja, tetapi harus ditambah dengan pendidikan non formal atau pendidikan luar sekolah.
Apalagi bagi yang menimba Ilmu di sekolah umum, yang jam pelajaran pendidikan agamanya sedikit, sementara materi yang diajarkan juga sangat banyak. Oleh karena itu perlulah ditambahkan lagi dengan pendidikan di luar sekolah untuk membantu menutupi kekurangan yang terjadi pada saat belajar disekolah. Berikut Penjelasan tentang Makalah Pendidikan dan Pelatihan Seni Baca Al-quran.
BAB II
PEMBAHASAN
Makalah Pendidikan dan Pelatihan Seni Baca Al-quran
1. Pengertian Qari-Qari’ah
Qari dalam kamus bahasa Indonesia adalah pembaca Al-quran laki-laki sedangkan qari’ah adalah pembaca Al-quran perempuan.[1] Menurut bahasa qari dan qari’ah adalah pembaca, dan yang dimaksud adalah pembaca Al-quran di depan publik dengan pertimbangan kecakapannya di bidang tajwid. Dari ini mengandung pengertian sejumlah otoritas yang pertama kali merumuskan bacaan Al-quran meliputi vokalisasi, puktuasi dan sebagainya.[2]
2. Dasar Seni Baca Al-Quran
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Qs. Al-Muzammil 4: Artinya: Atau lebih dari seperdua itu. dan bacalah Al-quran itu dengan perlahan-lahan.
Tartil Al-quran adalah membacanya dengan perlahan-lahan sambil memperjelas huruf-huruf berhenti dan memulai (Ibtida’) sehingga pembacan dan pendengarnya dapat memahami dan menghayati kandungan pesan-pesannya.[3] Membaca Al-quran secara tartil mengandung hikmah, yaitu terbukanya kesempatan untuk memperhatikan isi ayat-ayat yang dibaca dan di waktu menyebut nama Allah, si pembaca akan meresakan keagungannya. Ketika tiba pada ayat yang mengandung janji, pembaca akan timbul harapan-harapan, demikian juga ketika membaca ayat ancaman, pembaca akan merasa cemas.
Sebaliknya membaca Al-quran secara tergesa-gesa atau dengan lagu yang baik, tetapi tidak memahami artinya adalah suatu indikasi bahwa pembaca tidak memperhatikan isi kandungan ayat yang dibacanya.[4] Beberapa aspek pokok seni baca Al-quran yaitu:
a. Adab
b. Fashohah
c. Suara
d. Lagu
e. Bernafas[5]
f. Tajwid.
3. Jenis-Jenis Lagu Dalam Seni Baca Al-Quran
Adapun jenis macam lagu yang berkembang dewasa ini antara lain:
- Lagu bayati/husaini terbagi menjadi lima yaitu qoror, nawa, syuri, tawab, jawabul jawab.
- Lagu shoba terbagi dua yaitu maal ‘ajam (ajami asyiroh) dan quflah bastanjar.
- Lagu hijaz terbagi tiga yaitu kard, kard kurd, kurd
- Lagu nahawan terbagi tiga yaitu nakris, ‘usyaq, jawab (quflah mahur).
- Lagu Rast terbagi empat yaitu, rast ala nahwa, rast syabir (quflah mahur), zanjirin, salalim (suud dan nuzul)
- Lagu jiharka terbagi dua yaitu nawa (nada awal jiharka), Jawab (nada tinggi jiharka).
- Lagu shika terbagi empat yaitu Iraq (fariasi), turki (nada tinggi shika), raml (nada minor), huzami (quflah)an [6]
4. Metode pengajaran Seni baca Al-Qur’an
Metode dapat diartikan sebagai cara-cara atau langkah-langkah yang digunakan dalam menyampaikan sesuatu gagasan, pemikiran, atau wawasan yang disusun secar sistematik dan terencana serta di dasarkan pada teori, konsep dan prinsip-prinsip tertentu yang terdapat di dalam berbagi disilpin ilmu terkait.[7] Dilihat dari segi langkah-langkah dan tujuan kompetensi yang ingin dicapai, terdapat sejumlah metode pengajaran yang dapat digunakan yaitu:
a. Metode Demostrasi
Metode domonstrasi adalah cara penyajian pelajaran dengan memperagakan atau mempertunjukan kepada peserta didik tentang suatu proses.[8] Bisa melalui dengan menggunakan peralatan atau dengan benda.
b. Metode Latihan/Drill
Metode latihan/drill adalah metode yang digunakan untuk memperoleh ketangkasan atau keterampilan latihan terhadap apa yang dipelajari, karena dengan melakukannya secara praktis suatu pengetahuan dapat disempurnakan dan siap siagakan.[9]
c. Metode Pemberian Tugas
Metode pemberian tugas adalah suatu cara pengajaran dimana seorang pendidik memberikan tugas-tugas tertentu kepada peserta didik.[10]
d. Metode Muthala’an atau Qiraat
Metode muthala’an atau qiraat adalah metode membaca pada peserta didiknya, dan peserta didik menyimak dan memperhatikan bacaan dan sekali-sekali peserta didik menirukan bacaan pendidik tersebut. Teknik ini dapat dilakukan oleh peserta didik yang sudah pandai membaca dan peserta didik lainnya tinggal menyimak, fungsi pendidik di sini adalah memperhatikan dan menegur bila terjadi kesalahan dalam membaca.[11]
e. Melalui Tape Recorder
Alat ini banyak sekali manfaatnya dalam kaitannya mempercepat mengusai lagu-lagu tilawatil quran, karena dengan sering mendengarkan, mempelajari serta mempraktekan, maka lama kelamaan akan melekatlah lagu-lagu tersebut dalam ingatan kita.[12]
BAB III
PENUTUP dan KESIMPULAN
Makalah Pendidikan dan Pelatihan Seni Baca Al-quran
Selain kewajiban seorang muslim itu mampu membaca Al-quran dengan baik dan benar, kita juga dianjurkan untuk membaca Al-quran dengan suara merdu supaya lebih indah didengar dan dapat menarik minat seseorang untuk mempelajarinya, disamping itu kita juga disunnahkan untuk menghafalnya, ini disebabkan karena akan begitu banyak hikmah yang akan diperoleh oleh orang yang menghafalnya diantaranya akan mendapatkana syafaat Rasulullah saw, akan dimuliakan oleh allah swt. Kemudian kita juga dianjurkan untuk dapat menulisnya dengan seni yang indah.
No comments:
Post a Comment