MAKALAH AJARAN AGAMA ISLAM
Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !
BAB I
PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang sempurna dan universal, ia berlaku sepanjang waktu, kapanpun dan di manapun. Islam berlaku untuk semua orang dan untuk seluruh dunia. Maka dari itu, tentunya ajaran Islam memiliki dasar sebagai pondasi yang dijadikan sebagai acuan dan pedoman oleh komunitasnya di seluruh dunia ini. Dan setiap agama mempunyai tujuan, sumber, ruang lingkup dan karakteristik ajaran yang membedakan dari agama-agama lain. Agama yang didakwahkan secara sungguh-sungguh diharapkan dapat menyelematkan dunia yang terpecah-pecah dalam berbagai bagian-bagian.
Tujuan
Sebagai umat islam kita patut menjunjung tinggi nilai – nilai agama dan meningkatkan iman dan taqwa kita kepada Allah SWT, tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu agar kita bisa lebih memahami tentang tujuan pencapaian islam di dalam mendamaikan umat manusia di muka bumi ini. Dan menjelaskan tentang apa tujuan dari ajaran islam di muka bumi ini serta sumber, ruang lingkup, dan karakteristik dari ajaran itu sendiri. Selain itu tujuan kami menyusun makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah AIK pada semester II ini.
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Pengertian Islam
Ada dua sisi yang dapat kita gunakan untuk memahami pengertian agama Islam(A.Mukti Ali, 1991:719)., yaitu sisi kebahasaan dan sisi peristilahan. Kedua sisi pengertian tentang Islam ini dapat di jelaskan sebagai berikut :
Dari segi kebahasaan Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata salima yang mengandung arti selamat, sentosa dan damai. Dan kata salima selanjutnya diubah menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian.
Senada dengan pendapat di atas, sumber lain mengatakan Islam berasal dari bahasa Arab, terambil dari kata salima yang berarti selamat sentosa. Dari asal kata itu dibentuk kata aslama yang artinya memelihara dalam keadaan selamat sentosa dan berarti pula menyerahkan diri, tunduk, patuh dan taat kepada Allah SWT. Sehingga manusia di haruskan untuk mematuhi semua perintah Allah SWT dan menjahui semua laranganNYA agar hidup kita dalam perlindunganNYA selamat dan damai dunia maupun akherat.
B. Tujuan Ajaran Islam
Islam diajarkan dan dipelajari sejak kecil agar bertujuan untuk menyelamatkan manusia dari penderitaan hidup di dunia maupun di akherat. Dengan berpegang teguh pada ajaran ini semua manusia pasti akan hidup damai dan sejahtera, karena islam mengeajarkan norma – norma hidup dan perilaku kehidupan yang baik dan jauh dari penderitaan dan kemaksiatan yang akan membawa kita pada penyiksaan di hari akhir nanti. Dengan adanya pemahaman islam, manusia akan lebih bisa mendekatkan diri pada sang pencipta dan akan terhindar dari segala siksaan dan dosa
C. Sumber Ajaran Islam.
Dikalangan ulama terdapat kesepakatan bahwa sumber ajaran islam yang utama adalah Al quran dan As sunnah :
I. Al-quran.
Alquran adalah firman Allah yang diturunkan kepada rasulullah, Muhammad bin Abdul,melalui jibril dengan menggunakan lafal bahasa arab dan maknanya yang benar . agar ia menjadi hujjah bagi rasul bahwa ia benar-benar rasulullah, menjadi undang-undang bagi manusia, memberi petunjuk kepada mereka, dan menjadi sarana dan ibadah kepada Allah dengan membacanya. Selanjutnya Alquran juga berfungsi sebagai hakim atau wasit yang mengatur jalannya kehidupan manusia agar berjalan lurus, itulah sebabnya ketika umat islam berselisih dalam segala urusannya hendaknya ia berhakim kepada Alquran.
II. As-sunnah.
Menurut bahasa As sunnah artinya jalan hidup yang dibiasakan terkadang jalan tersebut ada yang baik dan ada pula yang buruk, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan. Pengertian ini didasarkan pada pandangan mereka terhadap nabi sebagai suri tauladan yang baik bagi manusia. Sementara itu ulama ushul mengartikan bahwa As sunnah adalah sesuatu yang berasal dari nabi Muhammad SAW dalam bentuk ucapan,perbuatan dan persetujuan beliau yang berkaitan dengan hukum. sedangkan ulama fiqih mengartikan As sunnah sebagai salah satu bentuk hukum syara’ yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan ditinggalkan tidak berdosa.
Ruang Lingkup Ajaran Islam
Ruang lingkup ajaran islam terdapat 3 pegangan yaitu Aqidah,
Syariah dan Akhlaq.
I. Aqidah.
Secara istilah aqidah berarti keyakinan keagamaan yang dianut oleh seseorang dan menjadi landasan segala bentuk aktivitas, sikap, pandangan dan pegangan hidupnya. Istilah ini boleh lah disamakan dengan iman yang berarti kepercayaan atau keyakinan.
II. Syariah.
Syari’ah adalah sistem hukum yang didasari Al-Qur’an, As-Sunnah, atau Ijtihad. Seorang pemeluk Agama Islam berkewajiban menjalankan ketentuan ini sebagai konsekwensi dari ke-Islamannya. Menjalankan syari’ah berarti melaksanakan ibadah. Dalam hal ini tidak hanya yang bersifat ritual, seperti yang termaksud dalam Rukun Islam, seperti: bersyahadat, sholat, zakat, puasa, dan berhaji bagi yang mampu. Akan tetapi juga meliputi seluruh aktifitas (perkataan maupun perbuatan) yang dilandasi keiman terhadap Allah SWT.
III. Akhlaq.
Akhlak berasal dari kata “akhlaq” yang merupakan jama‟ dari “khulqu” dari bahasa Arab yang artinya budi, tabiat dan adab. Akhlak itu terbagi dua yaitu Akhlak yang Mulia atau Akhlak yang Terpuji (Al-Akhlakul Mahmudah) dan Akhlak yang Buruk atau Akhlak yang Tercela (Al-Ahklakul Mazmumah). Akhlak yang mulia yaitu akhlak yang diridai oleh Allah SWT , akhlak yang baik itu dapat diwujudkan dengan mendekatkan diri kita kepada Allah yaitu dengan mematuhi segala perintahnya dan meninggalkan semua larangannya, mengikuti ajaran-ajaran dari sunnah Rasulullah, mencegah diri kita untuk mendekati yang ma‟ruf dan menjauhi yang munkar.
KARAKTERISTIK AJARAN ISLAM
Istilah karakteristik ajaran islam terdiri dari dua kata: karakteristik dan ajaran islam. Kata karakteristik dalam kamus bahasa Indonesia, diartikan sesuatu yang mempunyai karakter atau sifat yang khas. Islam dapat diartikan agama yang diajarkan nabi Muhammad SAW yang berpedoman pada kitab suci al qur'an dan diturunkan di dunia ini melalui wahyu allah SWT. Berarti karakteristik ajaran islam dapat diartikan sebagai ciri yang khas atau khusus yang mempelajari tentang berbagai ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia dalam berbagai bidang agama, muamalah (kemanusiaan), yang didalamnya temasuk ekonomi, social, politik, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, lingkungan, dan disiplin ilmu yang baik dan benar.
PENUTUP
Kesimpulan
Islam di ajarkan untuk dapat membawa manusia ke jalan yang benar dan yang di ridhoi oleh Allah SWT. Agar mereka dapat hidup dengan damai dan sentausa. Islam meliputi banyak aspek yang akan dituju yang akan dilaksanakan oleh umat manusia yang menjalankannya, dan arti dari agama ini sangat bearrti dan berguna bagi manusia karena tidak hanya pada arti melainkan islam mempunyai tujuan, sumber, ruang lingkup dan karakteristik tersendiri yang telah di bahas pada sub bab sebelumnya. Semua aspek tersebut memiliki makna yang sangat luas jika dipahami dengan sungguh – sungguh dan benar. Karena islam bertujuan untuk membimbing manusia ke jalan yang benar maka islam menurunkan Al-quran dan Al-hadist, dengan berpedoman pada Al-quran dan Al-hadist manusia pasti akan menemukan jalan untuk mengatasi masalah hidupnya dan menuntun ke jalan yang di ridhoi oleh Allah SWT.
MAKALAH AGAMA ISLAM (DINUL ISLAM)
Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !
A. PENGERTIAN DINUL ISLAM
Kata “Islam” berasal dari kata ‘aslama-yuslimu-islaman’ yang berarti menciptakan kedamaian, keselamatan, kesejahteraan hidup dan kepasrahan kepada Allah. Senada dengan pendapat diatas, sumber lain mengatakan bahwa Islam berasal dari bahasa arab, terambil dari kata ‘salima’ yang berarti selamat sentausa. Dari asal kata itu dibentuk kata ‘aslama’ yang artinya memelihara dalam keadaan selamat sentausa, dan berarti pula menyerahkan diri, tunduk, patuh dan taat. Kata ‘aslama’ itulah yang menjadi kata ‘Islam’ karena di dalamnya memiliki kandungan segala arti yang pokok yang seakar dari kata Islam. Oleh karena itu orang yang berserah diri, patuh dan taat disebut sebagai orang muslim. Orang yang demikian berarti telah menyatakan dirinya taat, menyerahkan diri dan patuh kepada Allah SWT. Orang tersebut selanjutnya akan dijamin keselamatannya didunia dan akhirat.2
Islam merupakan ajaran Allah yang diturunkan untuk mengatur tata kehidupan manusia melalui para rasul, dari nabi Adam AS. hingga nabi Muhammad SAW. Adapun “Islam” yang dimaksudkan dalam pembahasan ini ialah ‘Din’ yang diturunkan kepada nabi terakhir, Muhammad SAW dengan melalui risalah Al-Qur’an sebagai penyempurna millah-millah (Din) sebelumnya.
Penamaan Islam mempunyai perbedaan yang mendasar dengan agama-agama lainnya, yang menempatkan Islam pada tempat istimewa yaitu penamaannya tidak dihubungkan dengan pembawanya dan tempat agama itu lahir. Jadi Islam bukanlah “pikiran” Nabi Muhammad SAW, sekalipun Islam dengan nabi Muhammad SAW tidak bisa dipisahkan. Islam adalah nama yang diberikan oleh Allah melalui FirmanNya dalam Al-Qur an, diantaranya:
Q.S. Ali-Imran (3): 85
Artinya: “Barang siapa yang memeluk agama selain Islam, maka mereka sekali-kali tidak akan diterima dari padanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang merugi”. 3
Q.S. Al- Maidah (5): 3
Artinya: “Dan Aku rela Islam sebagai agamamu”.4
Ditinjau dari ajarannya, Islam mengatur berbagai aspek kehidupan pada manusia yang meliputi:
1. Hubungan manusia dengan Allah (Hablum Minallah)
Hubungan manusia dengan Allah. Pengabdian manusia bukanlah untuk kepentingan Allah, karena Allah tidak berhajat (butuh) kepada siapa pun, pengabdian itu bertujuan untuk mengembalikan manusia kepada fitrahnya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an :
Q.S. Ar-Ruum (30): 30 yang artinya:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.5
Q.S. Adz-Dzariat (51): 56 yang artinya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku”.6
Q.S. Al-Bayyinah (98): 5 yang artinya :
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali agar menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan mereka menjalankan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah orang-orang yang lurus”.7
a. Hubungan Manusia dengan Manusia (Hablum minan-Naas)
Agama Islam mempunyai konsep-konsep dasar mengenai kekeluargaan, kemasyarakatan, kenegaraan, perekonomian dan lain-lain. Konsep dasar tersebut memberikan gambaran tentang ajaran-ajaran yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan sesama dalam berbagai aspek kehidupannya. Seluruh konsep yang ada bertumpu pada satu nilai, yaitu saling menolong antara sesama manusia. Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:
Q.S. Al-Maidah (5): 2 yang artinya:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan”. 8
Manusia diciptakan oleh Allah terdiri dari laki-laki dan perempuan. Mereka hidup berkelompok, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Mereka saling membutuhkan dan saling mengisi sehingga manusia juga disebut makhluk sosial, manusia selalu berhubungan satu sama lain, firman Allah dalam Al-Qur’an :
Q.S. Al-Hujurat (49): 13 yang artinya:
“Hai manusia sesungguhnya kami telah menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah diantara kamu adalah yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”. 9
b. Hubungan Manusia dengan Makhluk lainnya / Lingkungannnya
Seluruh benda-benda yang diciptakan oleh Allah yang ada dialam ini mengandung manfaat bagi manusia. Alam raya ini wujudnya tidak terjadi begitu saja, akan tetapi diciptakan oleh Allah dengan sengaja dan dengan hak. Allah berfirman dalam Al-Qur’an :
Q.S. Ibrahim (14): 19 yang artinya :
“Tidakkah kamu perhatikan bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan langit dan bumi dengan hak (tidak percuma / penuh hikmah) ?”.10
Q.S. Ali-Imran (3): 191 yang artinya:
“…Wahai Tuhan kami, tidaklah engkau menciptakan ini dengan sia-sia….”.11
Q.S. Luqman (31): 20 yang artinya:
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang dilangit dan yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmatNya lahir dan batin”.12
Q.S. Hud (11): 61 yang artinya :
“Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmuran”.13
Firman Allah di atas menjelaskan bahwa alam ini untuk manusia dan manusia diperintahkan untuk memakmurkan dan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Hanya saja dalam memanfaatkan alam ini manusia harus mengerti batas-batasnya, tunduk dan patuh pada aturan-aturan yang telah digariskan oleh Sang Pencipta alam ini.
B. KERANGKA DASAR DINUL ISLAM
Islam bukan hanya suatu sistem kepercayaan dan ritual, tapi merupakan suatu system kehidupan yang lengkap, integral dan universal. Tanpa diawali dari visi yang tepat dan benar maka sebuah system tidak akan bisa diwujudkan dengan sempurna atau bahkan salah sama sekali. Demikian pula untuk menjadikan Islam sebagai sistem hidup harus berangkat dari visi yang tepat dan benar.
Salah satu yang menyebabkan orang salah memahami ajaran Islam, karena mereka berawal dari visi yang salah dalam memandang ruang lingkup ajaran Islam serta menggambarkan bagian-bagian dalam kerangka keseluruhan ajaran agama Islam tersebut.
“Vera Micheles Dean dalam bukunya “ The Nature of The Non Western World”, sebagaimana dikutip Humaidi Tata Pangarsa; bahwa Islam meliputi empat unsur:
1. Islam is religion
2. Islam is political system
3. Islam is way of live
4. Islam is interpretation of history” 14
Dengan mengikuti tanya jawab antara Malaikat Jibril dengan Nabi Muhammad SAW tentang “Iman, Islam dan Ihsan” serta memperhatikan isi Al-Qur’an secara keseluruhan maka dapat dikembangkan bahwa pada dasarnya sistematika dan pengelompokkan ajaran Islam secara garis besar adalah akidah syariah dan akhlak.
1. Aqidah
Dalam ajaran Islam aqidah merupakan landasan yang mendasari seluruh aktivitas kehidupan Islami, sedangkan pelakunya disebut mukmin. Suatu perilaku yang tidak berangkat dari landasan itu, maka perilaku itu diluar system Islam atau kufur dan pelakunya disebut kafir. Sistem keyakinan dalam ajaran Islam dibangun dalam enam landasan atau asas yang lazim disebut rukun iman.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:
Q.S. An-Nisa (4): 136 yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepadaAllah dan rasulNya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada rasulNya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya”.15
2. Syariah
Syariah adalah peraturan dan perundang-undangan yang diberikan oleh Allah SWT untuk mengatur berbagai aspek kehidupan manusia. Syariah atau sistem nilai Islam ini ditetapkan oleh Allah dan rasulNya sebagaimana yang tertuang dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dalam literature Islam, pembahasan syariah dikelompokkan kepada bidang ibadah dan muamalah.
3. Akhlak
Akhlak merupakan komponen dasar Islam yang ketiga, berisi ajaran tentang tata perilaku dan sopan santun. Akhlak dalam Islam merupakan manivestasi dari akidah dan syariah. Karena keimanan harus ditampilkan dalam perilaku sehari-hari. Inilah yang menjadi misi utama diutusnya Rasulullah SAW, sebagaimana beliau bersabda dalam Hadist riwayat Ahmad:
“Sesungguhnya Aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak terpuji”.
Akhlak Islam bersifat sacral, absolut, imperatif, akurat, universal dan memiliki makna ukhrawi.
Dikatakan sacral, karena norma-normanya berhubungan dan terkait dengan Allah serta merupakan ibadah kepadaNya. Dikatakan absolut, dalam pengertian memiliki kemutlakan sebagai standar baik dan buruk, benar atau salah secara baku dan tidak berubah-ubah baik karena perbedaan budaya masyarakat maupun perkembangan waktu. Dikatakan imperatif, karena norma-normanya mengikat dan memaksa. Dikatakan akurat, karena norma-normanya itu sangat tepat sebagai alat untuk mengendalikan manusia dan selaras dengan kepentingan penataan kehidupan yang damai dan harmonis. Dikatakan universal, karena berlaku dimanapun dan kapanpun. Dan bersifat ukhrawi, dalam pengertian bahwa keuntungan dari pelaksanaannya tidak hanya dirasakan sekarang di dunian ini saja tetapi nanti juga di akhirat.
C. HUBUNGAN AQIDAH, SYARIAH DAN AKHLAK
Syariah dan akhlak adalah komponen Dinul Islam yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya hubungan ketiga komponen itu merupakan kausalitas. Aqidah harus mampu menggerakkan seseorang untuk melakukan dan mematuhi dinul Islam. Ajaran yang dilakukan itu diharapkan dapat mendidik seseorang untuk berkepribadian sehari-hari. Bila kita perhatikan ayat-ayat dalam Al-Qur’an pada umumnya selalu mencerminkan adanya hubungan antara ketiga aspek tersebut. Sebagai contoh diantaranya :
Q.S. Al-Baqarah (2): 183 yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”.16
Q.S. Al-Maidah (5): 8 yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman hendaknya kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kanu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada Taqwa sesungguhnya Allah maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan …”. 17
Q.A. Al-Ankabut (29): 45 yang artinya :
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu yaitu al Kitab (Al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar, dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain) dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.18
Seseorang yang melakukan perbuatan baik, tetapi tidak dilandasi dengan akidah dan syariah, perbuatannya hanya dikatakan sebagai perbuatan baik yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, tetapi belum tentu dipandang baik oleh Allah.
Kerangka dasar ajaran Islam seperti dijelaskan diatas mengantarkan kita pada pemahaman bahwa Islam adalah agama yang mengatur kehidupan manusia baik secara pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, bernegara dan hubungan antar bangsa tanpa membedakan satu sama lain.
Setiap aktifitas muslim dalam segala lapangan kehidupan adalah merupakan ibadah atau pengabdian kepada Allah dan tidak ada satu segi kehidupanpun yang lepas dari kerangka ibadah kepada Allah, firman Allah dalam Al-Qur’an :
Q.S. Adz-Dzariat (51): 56 yang artinya:
“Dan tidaklah Aku (Allah) menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembahKu (beribadah/mengabdi kepadaKu)”. 19
Oleh sebab itu Dinul Islam tidak mengenal pemisahan antara satu segi kehidupan dengan kehidupan yang lain, dalam arti lain Islam menolak sekulerisme, karena sekulerisme memusatkan perhatiannya kepada masalah dunia semata, secara sadar atau tidak ia telah mengenyampingkan agama dan wahyu dalam peri kehidupan sehari-hari. Hal ini mengantarkan manusia kepada kehidupan yang bebas tanpa ikatan agama.
D. ESENSI DAN KEUNIVERSALAN ISLAM
1. Esensi Ajaran Islam
Al-Qur’an telah memberikan pesan yang jelas kepada kita, bahwa Islam merupakan “Ad-Din” bagi seluruh Nabi/Rasul sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad SAW. Salah satu ayat menunjukkan bahwa Islam dianut oleh nabi-nabi terdahulu sebelum rasul akhir zaman’Nabi Muhammad SAW’, sebagaimana pesan Nabi Ya’kub AS kepada anak cucunya, yang Allah ceritakan melalui “wahyu” (Al-Qur’an) kepada rasul akhir zaman ‘Nabi Muhammad SAW’, sebagai berikut:
Q.S. Al-Baqarah (2): 132 yang artinya :
“… Nabi Ya’kub berpesan kepada anak-anaknya: ‘Hai anak-anakku sesungguhnya Allah telah memilih agama (Islam) untuk kamu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”.20
Q.S. Asy-Syura (42): 13 yang artinya :
“Dia telah mewasiatkan Agama kepadamu, sebagaimana yang diwasiatkan kepada Nuh, dan telah diwahyukan kepadamu, dan Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu: “Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya … “.21
Dalam Sabda Rasulullah SAW riwayat Bukhari dan Muslim, menjelaskan sebagai berikut:
Antara satu rasul dengan rasul lainnya sebelum Nabi Muhammad SAW. Merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Sehingga bila diumpamakan suatu bangunan bagaikan gedung yang megah dan mewah, tapi ada kekurangan sedikit dari bagian gedung tersebut, maka Rasulullah SAW. Sebagai penutup dan penyempurna bangunan tersebut.
Islam pada hakikatnya mempunyai arti “berserah diri kepada hukum Allah dengan tanpa kritik” atau “Sami’naa wa Atha’naa” (kami dengar dan kami taat). Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an :
Q.S. Al-An’am (6): 162-163 yang artinya :
“Katakanlah, Sesumgguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah, Rabb alam semesta, tidak ada sekutu bagiNya, dan dengan itu aku diperintah dan aku adalah orang yang pertama berserah diri. (Islam)”.22
2. Keuniversalan Dinul Islam
Keuniversalan Dinul Islam adalah menunjuk kepada pengertian bahwa Islam dilihat dari sudut pandang yang utuh, maka dapat berlaku untuk semua orang diseluruh dunia sepanjang zaman. Hal ini sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-Anbiya (21): 107 yang artinya :
“Tidak Kami utus Engkau melainkan agar menjadi rahmat bagi seluruh alam.” 23
Agama Islam yang dibawa oleh Muhammad Rasulullah SAW, lahir pada tingkat terakhir dari perkembangan sejarah manusia. Oleh karena itu ia bercorak modern dan up to date disamping wataknya yang universal. Dilihat secara parsial maka Dinul Islam dapat dibedakan kepada:
1. Iqlimiyah Al-Islam, dalam arti adanya ajaran-ajaran Islam yang berbeda dalam satu iklim (wilayah) dengan wilayah lainnya sebagai akibat perbedaan situasi dan kondisi.
2. Alqawa’id Al-Hakimah, maksudnya ajaran Islam yang memiliki kontek keberlakuan akidah secara mendunia sepanjang masa. Prinsip ini dapat didasarkan kepada firman Allah dalam Al-Qur’an :
1. Q.S. Al-Baqarah (2): 185 yang artinya :
“Allah menghendaki untuk kamu kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran …”. 24
Pada hakikatnya, dalam hidup bermasyarakat dimana perbedaan sangat dimungkinkan, Islam lebih mementingkan isi dan makna dibandingkan dengan bentuk-bentuk lahiriahnya, walaupun hal tersebut bersumber dari petunjuk nabi, tetapi hal itu harus dipahami dalam konteks kemasyarakatan yang beliau alami dan tentunya berbeda dengan masyarakat yang lain akibat perbedaan waktu atau tempat.
Disinilah, keuniversalan Islam yang tergambar pada prinsip dan nilai yang dapat diterapkan dalam kehidupan modern. Seperti contoh, bentuk-bentuk pemerintah dapat berubah-ubah tetapi prinsip-prinsip atau nilai-nilainya bersifat tetap dan universal. Contoh lain, nabi memerintahkan untuk berlatih naik kuda dan main panah dalam rangka mempertahankan diri dari musuh. Prinsip mempertahankan dirinya bersifat universal, tetapi bentuk-bentuk pertahanan dirinya dapat berbeda atau particular sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman. Dalam prinsip-prinsip Islam mengantar kita untuk berkesimpulan bahwa perbedaan merupakan sesuatu yang dibenarkan selama perbedaan tersebut masih dalam kerangka ijtihadi.
Makalah Sumber Ajaran Islam
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam menentukan atau menetapkan hukum-hukum ajaran Islam para mujtahid telah berpegang teguh kepada sumber-sumber ajaran Islam. Sumber pokok ajaran Islam adalah Al-Qur’an yang memberi sinar pembentukan hukum Islam sampai akhir zaman. Disamping itu terdapat as-Sunnah sebagai penjelas Al-Qur’an terhadap hal-hal yang masih bersifat umum. Selain itu para mujtahidpun menggunakan Ijma’, Qiyas. Sebagai salah satu acuan dalam menentukan atau menetapkan suatu hukum. Untuk itu, perlu adanya penjabaran tentang sumber-sumber ajaran Islam tersebut seperti Al-Qur’an, Hadist, Ijma’, Qiyas, dan Ijtihad. Agar mengerti serta memahami pengertian serta kedudukannya dalam menentukan suatu hukum ajaran Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN AL-QUR’AN DAN RUANG LINGKUPNYA
A. Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai sumber hukum dan pedoman hidup bagi pemeluk Islam dan bernilai ibadat yang membacanya.
Ruang Lingkupnya Al-Qur’an
Pokok-pokok isi Al-Qur’an ada 5:
1. Tauhid, kepercayaan terhadap Allah, malaikat-malaikat Nya, Kitab-kitab Nya, Rosul-rosul Nya, Hari Akhir dan Qodho, Qadar yang baik dan buruk.
2. Tuntutan ibadat sebagai perbuatan yang jiwa tauhid.
3. Janji dan Ancaman
4. Hidup yang dihajati pergaulan hidup bermasyarakat untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
5. Inti sejarah orang-orang yang taat dan orang-orang yang dholim pada Allah SWT.
B. Dasar-dasar Al-Qur’an Dalam Membuat Hukum
1. Tidak memberatkan
“Allah tidak membenari seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” Misalnya:
a) Boleh tidak berpuasa pada bulan Ramadhan.
b) Boleh makan-makanan yang diharamkan jika dalam keadaan terpaksa/memaksa.
c) Boleh bertayamum sebagai ganti wudhu’
2. Menyedikitkan beban
Dari prinsip tidak memberatkan itu, maka terciptalah prinsip menyedikitkan beban agar menjadi tidak berat. Karena itulah lahir hukum-hukum yang sifatnya rukhsah. Seperti: mengqashar sholat.
3. Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum. Hal ini dapat diketahui, umpamanya; ketika mengharamkan khamar.
1) Menginformasikan manfaat dan mahdhorotnya.
2) Mengharamkan pada waktu terbatas, yaitu; sebelum sholat.
3) Larangan secara tegas untuk selama-lamanya.
KEDUDUKAN HADIST, IJMA’ DAN QIYAS
1. Kedudukan Al-Hadist/Al-Sunnah
Nabi Muhammad sebagai seorang rosul menjadi panutan bagi umatnya disamping sebagai ajaran hukum. Baik yang diterima dari Allah yang berupa Al-Qur’an maupun yang ditetapkan sendiri yang berupa al-Sunnah. Banyak sekali masalah yang sulit ditemukan hukumnya secara eksplisit dalam Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama, maka banyak orang mencarinya dalam as-Sunnah.
Selain diindikasikan dalam Al-Qur’an, para ulama pun telah bersepakat untuk menetapkan al-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam.
Sunnah yang dijalankan Nabi pada dasarnya adalah kehendak Allah juga. Dalam arti bahwa Sunnah itu sebenarnya adalah risalah dari Allah yang manifestasikan dalam ucapan, perbuatan dan penetapan Nabi. Maka sudah sepantasnya, bahkan seharusnya bilamana Sunnah Nabi dijadikan sumber dan landasan ajaran Islam.
2. Kedudukan Ijma’
Kebanyakan ulama menetapkan, bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dan sumber ajaran Islam dalam menetapkan suatu hukum. Firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 59 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rosulnya dan Ulil Amri diantara kamu.”
Maka dapat disimpulkan bahwa, apabila mujtahid telah sepakat terhadap ketetapan hukum suatu masalah/peristiwa, maka mereka wajib ditaati oleh umat.
Ijma’ dapat dijadikan alternatif dalam menetapkan hokum suatu peristiwa yang didalam Al-Qur’an atau as-Sunnah tidak ada atau kurang jelas hukumnya.
3. Kedudukan Qiyas
Qiyas menduduki tingkat keempat, sebab dalam suatu peristiwa bila tidak terdapat hukumnya yang berdasarkan nash, maka peristiwa itu disamakan dengan peristiwa lain yang mempunyai kesamaan dan telah ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an. Mereka mendasarkan hal tersebut pada firman Allah dalam surat Al-Hasyr ayat 2 yang artinya; “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran hai orang-orang yang mempunyai pandangan.”
PENGERTIAN TENTANG NASH DAN SYARI’AH
1. Pengertian Nash
Menurut bahasa, Nash adalah raf’u asy-syai’ atau munculnya segala sesuatu yang tampak. Oleh sebab itu, dalam mimbar nash ini sering disebut munashahat, sedangkan menurut istilah antara lain dapat dikemukakan di sini menurut:
a. Ad-Dabusi:
Artinya: “Suatu lafazh yang maknanya lebih jelas daripada zhahar bila ia dibandingkan dengan lafzh shahir.”
b. Al-Bazdawi
“Lafazh yang lebih jelas maknanya daripada makna lafazh zhahir yang diambil dari si pembicaranya bukan dari rumusan bahasa itu sendiri.”
Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa nash mempunyai tambahan kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari rumusan bahasanya, melainkan timbul dari pembicara sendiri yang bisa diketahui dengan qarinah.
Atas dasar uraian tersebut, Muhammad Adib Salih berkesimpulan bahwa yang dimaksud nash itu adalah:
“Nash adalah suatu lafazh yang menunjukkan hukum dengan jelas, yang diambil menurut alur pembicaraan, namun ia mempunyai kemungkinan ditakshish dan takwil yang kemungkinannya lebih lemah daripada kemungkinan yang terdapat dari lafazh zhahir. Selain itu, ia dapat dinasikh pada zaman risalah (zaman Rasul).”
Sebagai contoh adalah ayat Al-Qur’an, seperti yang dijadikan contoh dari lafazh zhahir.
وَاَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَى.
Dilalah nash dari ayat tersebut adalah tidak adanya persamaan hukum antara jual beli dan riba.
Pengertiannya diambil dari susunan kalimat yang menjelaskan hukum. Di sini nash lebih memberi kejelasan daripada zhahir (halalnya jual beli dan haramnya riba) karena maknanya diambil dari pembicaraan bukan dari rumusan bahasa.
2. Pengertian Syari’ah
Dilihat dari sudut kebahasaan kata, syari’ah bermakna “Jalan yang lapang atau jalan yang dilalui air terjun.”
Syari’ah adalah semua yang disyari’atkan Allah untuk kaum muslimin baik melalui Al-Qur’an ataupun melalui Sunnah Rasul. Syari’ah itu adalah hukum-hukum yang disyari’atkan Allah bagi hamba-hamba Nya (manusia) yang dibawa oleh para Nabi, baik menyangkut cara mengerjakannya yang disebut far’iyah amaliyah (cabang-cabang amaliyah). Dan untuk itulah fiqih dibuat, atau yang menyangkut petunjuk beri’tiqad yang disebut ashliyah i’tiqadiyah (pokok keyakinan), dan untuk itu para ulama menciptakan ilmu kalam (ilmu tauhid).
Pengertian syari’ah menurut Syaikh Mahmud Shaltut yakni, syari’at menurut bahasa ialah tempat yang didatangi atau dituju manusia dan binatang untuk minum air. Menurut istilah ialah hukum-hukum dan tata aturan yang disyari’atkan Allah buat hamba-Nya agar mereka mengikuti dan berhubungan antar sesamanya.
Perkataan syari’ah tertuju pada hukum-hukum yang diajarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Kemudian dimasukkan kedalamnya hukum-hukum yang telah disepakati (di ijma’) oleh para sahabat Nabi, tentang masalah-masalah yang belum ada nashnya dan yang belum jelasa dalam Al-Qur’an ataupun as-Sunnah (masalah yang di ijtihad), juga dimasukkan kedalamnya hokum-hukum yang ditetapkan melalui qiyas. Dengan perkataan lain syari’at itu adalah hukum-hukum yang telah dinyatakan dan ditetapkan oleh Allah sebagai peraturan hidup manusia untuk diimani, diikuti dan dilaksanakan oleh manusia didalam kehidupannya. Pengertian syari’ah menurut Muhammad Salam Maskur dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamy. Salah satu makna syari’ah adalah jalan yang lurus. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Jaatsiyah: 18
ثُمَّ جَعَلْنَكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِّنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَاوَلاَ تَتَّبِعْ اَهْوَآءَ الَّذِيْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ. (الجاثية: 18)
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Jaatsiyah: 18)
para fuqaha memakai kata syari’ah sebagai nama bagi hukum yang ditetapkan Allah untuk para hamba-Nya dengan perantara Rasul-Nya, supaya para hamba-Nya itu melaksanakannya dengan dasar iman, baik hukum itu mengenai lahiriah maupun yang mengenai akhlak dan aqaid, kepercayaan dan bersifat batiniah.
Menurut asy-Syatibi di dalam kitabnya al-Muwafaqat, “Bahwa syari’ah itu adalah ketentuan hukum yang membatasi perbuatan, perkataan dan i’tiqad, orang-orang mukallaf.”
Demikianlah makna syari’at, akan tetapi jumhur mutaakhirin telah memakai kata syari’ah untuk nama hukum fiqh atau hukum Islam, yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf. Atas dasar pemakaian ini, timbul perkataan: Islam itu adalah aqidah dan syari’ah sebagaimana dikemukakan Syekh Mahmud Shaltut. Syari’ah Islam adalah syari’ah penutup, syari’ah yang paling umum, paling lengkap, dan mencakup segala hukum, baik yang bersifat keduniaan maupun keakhiratan.[1]
TEORI DAN KONSEP ISTIMBATH HUKUM DALAM ISLAM
Bila para ulama hadist dihadapkan kepada suatu masalah, pertama kali para ulama ahlul haidst mencari penyelesaian masalah itu kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi/Rasul. Apabila para ulama hadist mendapat hadist yang berbeda-beda, maka mereka mengambil hadist sebagai sumber hukum, dari hadist yang diriwayatkan oleh para perawi hadist yang lebih utama dan memenuhi persyaratan. Kalau para ulama tersebut tidak menemukan hadistnya, selanjutnya mereka meninjau dan mempedomani pendapat para sahabat Nabi. Andaikata tidak juga diperoleh pendapat para sahabat mengenai masalah yang sedang dihadapi para ulama hadist tersebut, maka selanjutnya barulah mereka melaksanakan ijtihad untuk menyelesaikan suatu masalah hukum Islam, atau mereka belum/tidak menyampaikan fatwa kepada masyarakat. Masa mereka enggan berfatwa ini tidak lama, hanya sampai kepada masa wafatnya Imam Daud ibnu Ali. Para ulama Fuqaha sesudah itu selalu memperhatikan/melaksanakan fatwa, baik yang telah terjadi, walaupun yang belum atau mungkin terjadi, berarti mereka selalu melaksanakan ijtihad terhadap sesuatu masalah yang baru, dan belum teratur dasar hukumnya, sehingga segala masalah dapat mereka tentukan hukumnya berdasarkan hasil ijtihad para ulama hadist (aliran Madrasah Hadist).
IJTIHAD DAN PERBEDAAN MAZDHAB
A. Pengertian Ijtihad
Dari segi bahasa, ijtihad berarti; mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Sedang menurut pengertian syara’ ijtihad adalah:
اَ ْلإِجْتِهَادُ: اِسْتَفْرَاغُ الْوُسْعِ فِيْ نَيْلِ جُكْمٍ َِرْعِيٍّ بِطَرِيْقِ اْلإِسْتِنْبَاطِ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ.
Menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan memetik/mengeluarkan dari kitab dan sunnah.[2]
Adapun pengertia ijtihad ialah: Mencurahkan segala tenaga (pikiran) untuk menemukan hukum agama (syara’), melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara tertentu. Tanpa dalil syara’ dan tanpa cara tertentu, maka hal tersebut merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri semata-mata dan hal tersebut tidak dinamakan ijtihad.[3]
Ijtihad mempunyai peranan yang penting dalam kaitannya pengembangan hukum Islam. Sebab, dalam kenyataannya di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat Muhkamat (jelas kandungannya) dan ada yang Mutasyabihat (memerlukan penafsiran (belum terang). Dari sinilah, sehingga ajaran Islam selalu menganjurkan agar manusia menggunakan akalnya. Apalagi agama Islam sebagai Rahmatan lil Alamin (Rahmat bagi seluru alam) membuat kesediaannya dalam menerima perkembangan yang dialami umat manusia. Sehingga secara pasti cocok dan tepat untuk diterapkan dalam setiap waktu dan tempat. Maka peranan ijtihad semakin penting untuk membuktikan keluasan dan keluwesan hukum Islam.
Perbedaan Mazdhab
Menurut bahasa mazdhab berarti “Jalan atau tempat yang dilalui.” Menurut istilah para Faqih Mazdhab mempunyai dua pengertian yaitu:
1. Pendapat salah seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu masalah.
2. Kaidah-kaidah istinbath yang dirumuskan oleh seorang imam.
Dari kedua pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa pegertian mazdhab adalah: “Hasil ijtihad seorang imam (Mujtahid Mutlaq Mustaqil) tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath.” Dengan demikian,bahwa pengertian bermazdhab adalah: “Mengikuti hasil ijtihad seorang imam tentang ukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath.”[4]
Orang yang melakukan ijtihad disebut Mujtahid. Para Imam Mujtahid seperti Imam Hanafi, Maliki, Syahi’i dan Imam Ahmad bin Hambali, sudah cukup dikenal di Indonesia oleh sebagian besar umat Islam. Untuk mengetahui pola pemikiran masing-masing Imam Mazdhab bagi seseorang itu sangat terbatas, bahkan ada yang cenderung hanya ingin mendalami mazdhab tertentu saja. Hal ini disebabkan, karena pengaruh lingkungan atau karena ilmu yang diterima hanya dari ulama/guru yang menganut suatu mazdhab saja.
Menganut suatu aliran mazdhab saja, sebenarnya tidak ada larangan, tetapi jangan hendaknya menutup pintu rapat-rapat, sehingga tidak dapat melihat pemikiran-pemikiran yang ada pada mazdhab yang lain yang juga bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Hal ini dimaksudkan, agar seseorang tidak fanatik kepada suatu mazdhab. Andaikata sukar menghindari kefanatikan kepada suatu mazdhab, sekurang-kurangnya mampu menghargai pendapat orang lain yang berbeda dengan pendapatnya. Dibawah ini akan dikemukakan beberapa tokoh Imam Mazdhab.
A. IMAM HANAFI
Dasar-dasar mazdhab Imam Hanafi dalam menetapkan suatu hukum.
1. Al Kitab
Al Kitab adalah sumber pokok ajaran Islam. Segala permasalahan hukum agama merujuk kepada al-Kitab tersebut atau kepada jiwa kandungannya.
2. As-Sunnah
As-Sunnah adalah berfungsi sebagai penjelasan al-Kitab, merinci yang masih bersifat umum (global).
3. Aqwalush Shahabah (perkataan sahabat)
Perkataan sahabat memperoleh posisi yang kuat dalam pandangan Abu Hanifah. Karena menurutnya, mereka adalah orang-orang yang membawa ajaran Rasul sesudah generasinya.
4. Al-Qiyas
Abu Hanifah berpegang kepada Qiyas. Apabila ternyata dalam Al-Qur’an, Sunnah atau perkataan sahabat tidak beliau temukan.
5. Al-Istihsan
6. Urf
Pendirian beliau adalah mengambil yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dari keburukan serta mempertahankan muamalah-muamalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi mereka. Beliau melakukan segala urusan (bila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijmak atau Qiyas, dan apabila tidak baik dilakukan dengan cara Qiyas) beliau melakukannya atas dasar istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukan istihsan, beliau kembali kepada Urf manusia.
B. IMAM MALIKI BIN ANAS
Dasar-dasar mazdhab Imam Maliki.
1. Al-Qur’an
2. Sunnah Rasul yang beliau pandang sah.
3. Ijmak para ulama Madinah, tetapi kadang-kadang beliau menolak hadist apabila ternyata berlawanan/tidak diamalkan oleh para ulama Madinah.
4. Qiyas
5. Istishlah (Mashalihul Mursalah)
C. IMAM SYAFI’I
Dasar-dasar hukum yang dipakai Imam Syafi’i.
Mengenai dasar-dasar hukum yang dipakai oleh Imam Syafi’i sebagai acuan pendapatnya termaktub dalam kitabnya ar-Risalah sebagai berikut:
2. Al-Qur’an
3. As-Sunnah
Beliau mengambil sunnah tidaklah mewajibkan yang mutawatir saja, tetapi yang ahad pun diambil dan dipergunakan pula untuk menjadi dalil, asal telah mencukupi syarat-syaratnya, yakni selama perawi hadist itu orang kepercayaan, kuat ingatan dan bersambung langsung sampai kepada Nabi SAW.
4. Ijmak: Dalam arti bahwa para sahabat semuanya telah menyepakatinya
5. Qiyas
Imam Syafi’i memakai Qiyas apabila dalam ketiga dasar hukum diatas tidak tercantum, juga dalam keadaan memaksa.
6. Istidlal (Istishhab)
D. IMAM AHMAD BIN HAMBALI
Imam Hambali dalam menetapkan suatu hukum adalah dengan berlandaskan kepada dasar-dasar sebagai berikut:
1. Nash Al-Qur’an dan Hadist, yakni apabila beliau mendapatkan nash, maka beliau tidak lagi memperhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak memperhatikan pendapat-pendapat sahabat yang menyalahinya.
2. Fatwa Sahaby, yaitu ketika beliau tidak memperoleh nash dan beliau mendapati suatu pendapat yang tidak diketahuinya, bahwa hal itu ada yang menentangnya, maka beliau berpegang kepada pendapat ini, dengan tidak memandang bahwa pendapat itu merupakan Ijmak.
3. Pendapat sebagian sahabat yaitu apabila terdapat beberapa pendapat dalam suatu masalah, maka beliau mengambil mana yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
4. Hadist Mursal atau Hadist Daif. Hadist Mursal atau Hadist Daif akan tetap dipakai, jika tidak berlawanan dengan sesuatu atsar atau dengan pendapat seorang sahabat.
5. Qiyas, baru beliau pakai apabila beliau memang tidak memperoleh ketentuan hukumnya pada sumber-sumber yang disebutkan pada poin 1-4 diatas.
BAB III
KESIMPULAN
Al-Qur’an merupakan sumber utama yang dijadikan oleh para mujtahid dalam menentukan hukum ajaran Islam. Karena, segala permasalahan hukum agama merujuk kepada Al-Qur’an tersebut atau kepada jiwa kandungannya. Apabila penegasan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an masih bersifat global, maka hadist dijadikan sumber hukum kedua, yang mana berfungsi menjelaskan apa yang dikehendaki Al-Qur’an. Sumber hukum yang lain adalah Ijmak dan Qiyas. Ijmak dan Qiyas merupakan sumber pelengkap, yang mana wajib diikuti selama tidak bertentangan dengan nash syari’at yang jelas.
Makalah Hukum Islam Menurut Tokoh Dan Teorinya
(Pengkajian pada Masa Kemunduran)
Oleh: Hayatul Kirom
BAB I
PENDAHULUAN
Hukum Islam disamping sarat akan muatan sosiologis tak dapat dipungkiri memiliki juga dimensi teologis dan inilah yang membedakan hukum Islam dengan hukum dalam terminologi ilmu hukum modern, akan tetapi penempatan cara pandang yang keliru terhadap dimensi teologis yang dikandungnya bisa mengakibatkan anggapan bahwa hkum Islam merupakan aturan yang sakral, bahkan dalam keadaan tertentu orang akan merasa takut untuk melakukan revaluasi terhadap aturan-aturan hkum Islam yang ada, karena secara psikologis sudah terbebani oleh nilai-nilai kesakralan tersebut, untuk itu perlu kajian yang mampu mengantarkan pada cara pandang yang benar mengenai aspek teologis dalam hkum Islam ini. Dalam Perjalanan sejarahnya yang awal, hukum Islam merupakan suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari munculnya sejumlah mazhab hukum yang memiliki corak sendiri-sendiri sesuai dengan latar belakang sosiokultural dan politik dimana mazhab hukum itu tumbuh dan berkembang.
Dalam paradigma usul fiqh klasik terdapat lima prinsip yang memungkinkan Hukum Islam bisa berkembang mengikuti masa: 1) Prinsip Ijma’; 2) Prinsip Qiyas; 3) Prinsip Maslahah Mursalah; 4) Prinsip memelihara Urf’; dan 5) berubahnya hukum dengan berubahnya masa. Kelima prinsip ini dengan jelas memperlihatkan betapa pleksibelnya hukum Islam. [1] Dengan Berlalunya waktu, perkembangan Hukum Islam yang dinamis dan kreatif pada masa awal kemudian menjelma kedalam bentuk mazhab-mazhab atas inisiatif beberapa ahli hukum terkenal, tetapi dengan terjadinya kristalisasi mazhab-mazhab tersebut, hak untuk berijtihad mulai dibatasi dan pada gilirannya dinyatakan tertutup.[2]
Selanjutnya dalam makalah ini dibahas tentang hukum Islam pada masa kemunduran atau dikenal dengan istilah masa ‘ahdul jumuud wa al-wuquuf yakni periode kebekuan dan statis yan berlangsung mulai pertengahan abad keempat hijrah (350 H)
_________________________________
[1] Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan modernitas, studi atas pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1989) hlm 33-35
[2] Periode ini disebut juga sebagai periode taqlid yakni ‘ahdul jumuud wa al-wuquuf yakni periode kebekuan dan statis yan berlangsung mulai pertengahan abad keempat hijrah (350 H) dan hanya Allah yang Maha Tahun kapan periode ini akan berakhir. Diantara penyebab terhentinya gerakan ijtihad a.l : 1) terbagi-baginya Daulah Islamiyyah dalam berbagai kerajaan yang saling bermusuhan sehingga atau terjebak dalam peperangan demi peperangan. Dalam kondisi yang demikian ini maka ‘ulama pada masa itupun terbagai dalam berbagai tingkatan. 1) tingkat pertama ahli ijihad dalam mazhab, 2) tingkat kedua, mujtahid dalam beberapa masalah yang tidak ada riwayat dari imam mazhab, 3) tingkat ketiga, ahlu at-tahriej yang tidak melakukan ijtihad untuk mengambil hukum pada beberapa masalah dan hanya melakukan pembatasan mazhab yang dianutnya dalam menafsiri pendapat-pendapat imamnya, 4) tingkat keempat ahlu at-tarjiehyang sanggup mempertimbangkan dan membandingkan diantara riwayat-riwayat dari para imam dan kemudian menetakan pilihan yang dinilai paling shahih. Secara hampir mirip, A. Hanafi mendeskripsikan perkembangan hukum Islam dalam 5 (lima) periode. Pertama, periode permulaan hukum Islam, dimulai sejak kebangkitan Rasulullah saw hingga waftanya. Kedua, periode persiapan hukum Islam, dimulai dari khalifah pertama hingga berakhirnya masa shahabat (1 H – akhir abad I H). Ketiga periode pembinaan dan pembukuan hukum Islam serta munculnya para imam mujtahid, berlangsung kurang lebih 250 tahun. Keempat periode kemunduran hukum Islam, sebagai akibat merajalelanya taqlid dan kebekuan hingga lahirnya kitabMajallah al-Ahkam al-‘Adliyyah, suatu kitab yang mengintrodusir perundang-undangan modern dalam hukum Islam. Kelima, periode kebangunan yang dimulai dari lahirnya kitab al-Majallah hingga sekarang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Situasi Umum Dunia Islam
Harun Nasution, menjelaskan bahwa Dunia Islam terbagi kepada dua bagian, yaitu Arab yang terdiri atas Arabia, Irak, Suriah, Palestina, Mesir dan Afrika Utara dengan Mesir sebagai pusatnya dan bagian Persia yang terdiri atas Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia Tengah dengan Iran sebagai pusatnya. Pada waktu ini kebudayaan Persia mengambil bentuk Internasional dan mendesak kebudayaan lapangan kebudayaan Arab. Pendapat bahwa pintu ijtihad tertutup semakin meluas dikalangan umat Islam. [3]
Ketika ajaran tarekat semakin merajalela dengan pengaruh negatifnya. Perhatian pada ilmu pengetahuan sangat kurang sekali. Umat Islam di Sepanyol--yang tadinya merupakan satu kekuatan tersendiri--dipaksa masuk Kristen dan atau keluar dari darah itu. Di samping itu, kondisi dunia Islam semakin mengalami kemunduran, meskipun pada masa ini-- tahun 1500 – 1700--munculnya tiga kerajaan besar Islam dengan kemanjuannya masing-masing yaitu Kerajaan Usmani di Turki, Kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan Mughal di India.
Bersamaan dengan kenyataan ini penetrasi bangsa Barat dengan kekuatannya semakin meningkat dan meluas ke dunai Islam. Pada tahun 1798 M, Mesir sebagai pusat Islam terpenting berada di bawah kekuasaan Napoleon Bonaparte, seorang jenderal Perancis yang memimpin pasukuannya menaklukan Mesir. Demikian pula, Inggeris telah mulai menanamkan kekuasaannya di India.[4] Sampai pada tingkat ini, umat Islam mengalami kemunduran yang paling buruk dalam sejarah perjalanannya. Paham keagamaan terpecah belah kepada beberapa mazhab dimana antara satu dengan yang lainnya saling mengklaim merekalah yang benar dan saling menyalahkan. Demikian juga kekuatan politik umat Islam semakin melemah dan perhatian terhadap pengembangan ilmu pengetahuan sudah jauh menurun. Akibatnya masyarakat menjadi jumud dan statis yang hanya menyerah kepada nasib.
Di Turki Asia berdiri sebuah kerajaan besar yaitu kerajaan Bani Saljuk dan pada akhirnya kerajaan ilmiah yang menghancurkan negeri Islam lainnya. Pada saat ini juga munculnya pemberontakan yang berasal dari keturunan Bani Hasim, dan kelompok ini dinamakan partai Alawiyah. Dengan munculnya kekerasan dan peperangan terus menerus membawa akibat yang tidak baik bagi umat Islam, mereka menjadi lemah untuk berbuat. Rasa putus asa muncul menyelimuti akibatnya kemunduran dan keterbelakanganlah karena pada masa itu para ulama tidak lagi mempelajari kitab-kitab tertentu yang diperlukan lain halnya dengan ulama-ulama terdahulu, mereka pergi kenegara-negara besar sehingga terwujud dan terjalin hubungan yanng harmonis antara ulama dan pemerintahannya.[5]
Siapapun yang mengamati kejadian dan sejarah Islam pada periode ini tentu melihat bahwa yang menyebabkan para fuqaha’ memilih jalan taqlid adalah pergolakan yang menyebabkan para fuqaha’ memilih jalan taqlid adalah pergolakan politik yang menyebabkan negara Islam terpecah menjadi beberapa negara kecil. Dimana setiap negri mempunyai penguasaan sendiri yang diberi gelar Amirul Mukmin. Dari sini bisa dilihat lemahnya negara Islam ketika sudah terkena penyakit perpecahan mengganmtikan posisi persaudaraan dan keamanan, negara yang besar terbagi beberapa negara yang kecil. Di timur ada negara Sasai dengan Ibukota Bukhara, dan di Anfuleusia ada negara Letak yang didirikan oleh Abdurahman An-Nashir, demikian juga negara Fatimiyah yang ada di utara Afrika. Pada masa kemunduan ini juga disebut periode penutup ijtihad atau periode tadwin (pembekuan), mula-mula dalam bidanag kebudayaan Islam, kemudian berhentilah perkembangan hukum Islam fiqih-fiqih Islam. Pada umumnya ulama pada masa ini sudah lemah kemauannya untuk mencapai tingkat mujtahid sebagaimana yang dilakukan pendahulu mereka.
____________________________
[3]Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan). (Jakarta ; Bulan Bintang, Cet. II, 1982) hlm 14
[4] Ibid, hlm 15
[5]Amir Muallim-Yusdani, Ijtihad Suatu Kontroversi Antara Teori dan Fungsi. (Yogyakarta; Titian Ilahi Press. Cet. I, 1997) hlm 38.
B. Sebab-sebab kemunduran Pemikiran Hukum Islam
Dilihat dari segi sejarah pemikiran hukum Islam dan gerakan ijtihad, maka masa ini merupakan masa yang dipandang sebagai situasi yang tidak menguntungkan bagi umat Islam. Dikatakan demikian, karena pada masa ini kegiatan ijtihad sudah mulai menurun dan mengendur, dan bahkan statis. Kemunduran gerakan ijtihad pada masa ini lebih disebabkan oleh tiga faktor penting.
a. Lahirnya Mazhab-mazhab fiqh, dimana pada awalnya memang menunjukkan semaraknya gerakan ijtihad,[6] tetapi pada akhirnya menimbulkan suasana atau citra yang tidak kondusif, sehingga terjadi perbedaan-perbedaan antar mazhab yang cenderung kontra produktif. Tidak jarang terjadi pertentangan antar mazhab, yang kadang-kadang membawa dampak negative dalam masyarakat (pengikut mazhab). Masyarakat terkotak-kotak ke dalam berbagai mazhab dan masing-masing mengkalaim mazhab merekalah yang benar dan menyalahkan yang lainnya.
b. Menurunnya semangat ijtihad dan kuatnya pengaruh ajaran mazhab, sehingga para ulama tidak mau dan tidak sanggup melampaui ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh mazhab yang mereka anut. Parahnya lagi, di kalangan pengikut mazhab muncul sikap ta’asub mazhab dan taqlid. Akibatnya, para ualam yang ada disetiap mazhab menjadi tidak kreatif dan mandul. Suasana seperti inilah yang menyebabkan mundurnya gerakan ijtihad dan pemikiran dalam Islam. Pada waktu ini, kalaupun ada ijtihad yang dilakukan oleh ulama, namun tidak lebih dari sekedar mensyarah pemikiran-pemikiran imam-imam mazhab mereka dan mengintrodusir ajaran mazhab kepada masyarakat. Kemandirian ulama untuk melakukan ijtihad menjadi hilang, mereka hanya mengikuti apa yang ada dalam mazhab mereka.
Disamping itu, di kalangan mazhab sendiri telah membuat berbagai macam persyaratan untuk dijadikan acuan dalam melakukan ijtihad. Persyaratan-persyaratan ijtihad itu, pada umumnya ditetapkan sangat ketat, sehingga dalam operasionalnya tidak gampang untuk dilakukan. Ketatnya persyaratan ijtihad ini, semula tujuannya adalah agar tidak muncul orang-orang yang tidak memiliki otoritas dalam melakukan ijtihad dan menganggap gampang ijtihad itu. Diakui bahwa ketika ini, memang ada semacam kecenderungan dari sebagian orang yang menggampangkan persoalan ijtihad ini, dan dapat dilakukan oleh semua orang. Melihat kecenderungan ini, ulama-ulama mazhab merasa khawatir jika ijtihad dilakukan oleh orang-orang jahil yang tidak memiliki persyaratan, maka akan menimbulkan malapetaka bagi umat Islam, sehingga akhirnya pintu ijtihad ditutup.
c. Disintegrasi dan dominasi bangsa asing faktor yang paling parah yang menyebabkan kemunduran umat Islam ialah terjadinya disintegrasi dan perpecahan umat Islam. Seperti dijelaskan oleh Harun Nasution,[7] bahwa pada fase ini keutuhan umat Islam dibidang politik mulai pecah, kekuasaan khalifah mulai menurun dan bahkan khilafah sebagai symbol dan lambing kesatuan Politik umat Islam menjadi hilang. Di zaman ini desentralisasi dan disintegrasi semakin meningkat. Perbedaan antara Sunni dan Syi’ah dan demikian juga antara Arab dan Persia bertambah nyata kelihatan.
_______________________________
[6]Sofi Hasan Abu Thalib, Tatbiq al-Syari’’ah Al-Islamiyah Fi Bilad Al-Arabiyah. (Kairo ; Dar al-Nahdah Al-arabiyah, Cet. III)1990, hlm 152-163
[7]Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan). (Jakarta ; Bulan Bintang, Cet. II, 1982) hlm 13
C. Tokoh-tokoh dan ajaran Hukum Islam masa kemunduran
Pada masa kemunduran pemikiran hukum Islam muncul tokoh-tokoh penting yang hidup pada zamannya dan mewarnai aktivitas pemikiran hukum Islam dengan dengan munculnya teori maqashid al-Syari’ah. Maqasid syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasulnya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan ini dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan sunah Rosulullah sebagai alasan logis bagi rumusan, suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.
Kegiatan penelitian tujuan hukum (maqashid al-Syari’ah) telah dilakukan oleh para ahli ushul fikih terdahulu. Al-Juwaini dapat dikatakan sebagai ahli ushul fikih pertama yang menekankan pentingnya memahami maqashid aI-Syari’ah dalam menetapkah hukum. Ia secara tegas menyatakan bahwa seseorang tidak dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum ia dapat memahami benar tujuan Allah menetapkan perintah-perintah dan larang-laranganNya.
Kerangka berpikir al-Juwaini di atas kelihatannya dikembangan oleh muridnya al-Ghazali(450H./1058M.-505H./IIIIM.) dalam kitabnya Syifa al-Ghazali ia menjelaskan maksud syari’at dalam kaitannya dengan al-munasabat al-maslhahiyyat al-qiyas. Sebagai seorang pemikir Islam terbesar, A1-Ghazali, tidak hanya dikenal di dunia Islam, tetapi juga di luar Islam, maka sangat wajar jika banyak penulis tertarik untuk-menulis dan mengkaji pemikiran-pemikiran Al-Ghazali, baik dari kalangan Muslim, maupun dari kalangan Orientalis. Al-Ghazali (1058/1111M.) [8]
Sebagai pemikir besar Islam, maka hasil pemikiran Al-Ghazali masih tetap menjadi warisan umat Islam, meskipun sepuluh abad berlalu. Kebesaran pengaruh Al-Ghazali tersebut dapat dilihat dan gelar hujjah al-Islam yang disandangnya. Berbagai pujian dilontarkan oleh penulis dan pemikir kepadanya, juga cercaan dan orang-orang yang tidak senang kepadanya. Semua itu merupakan bukti kebesaran nama seorang Al-Ghazali.[9]
Pada masa al-Ghazali, tidak saja terjadi disintegrasi umat Islam di bidang politik, melainkan juga di bidang sosial-keagamaan. Umat Islam ketika itu terpilah-pilah dalam beberapa golongan mazhab fiqh dan aliran kalam yang masing-masing tokoh ulamanya dengan sadar menanamkan fanatisrne golongan kepada umat. Sebenarnya tindakan serupa juga diperankan oleh pihak penguasa. Setiap penguasa menanamkan pahamnya kepada rakyat dengan segala daya upaya, bahkan dengan cara kekerasan. Sebagai contoh, apa yang dilakukan oleh Al-Kundury, Perdana Menteri Dinasti Saljuk pertama yang beraliran Mu’tazilah sehingga mazhab dan aliran lainnya (seperti mazhab Syifi’i dan Asy’ari) menjadi tertekan, bahkan banyak korban dan tokoh-tokohya.
Akibat dari fanatisme golongan yang melibatkan pada masa itu, sering timbul konflik antara golongan mazhab dan aliran, malah meningkat sampai menjadi konflik fisik yang meminta korban jiwa. Konflik tersebut terjadi antara berbagai mazhab dan aliran, masing-masing mempunyai wilayah penganutnya- Khurasan, mayoritas penduduknya bermazhab Syafi’i, dan Transoxiana dan Balkah bermazhab Hanafi dan Hanbali, sedangkan di Bagdad dan wilayah Iraq, mazhab Hambali lebih dominan.
Menelusuri tentang karya-karya Al-Ghazali, maka dia digolongkan cukup produktif dalam hal penulisan karya ilmiah, karena ia memiliki kecenderungan intelektual yang sangat luas (gemar akan ilmu pengetahuan), dia juga memiliki kemampuan menulis yang sangat tinggi, hal ini dibuktikan oleh al-Ghazali, menulis sejak umur 20 tahun.
Dari keterangan yang diperoleh, nampaknya memang wajar, jika dikatakan bahwa al-Ghazali merupakan salah seorang pemikir Islam yang memiliki kecenderungan intelektualitas yang tinggi, sebab ia masih relatif muda, dan tulisan pertamanya mendapat pujian dari gurunya al-Juwaini.
Tentang jumlah karangan al-Ghazali, sampai saat ini belum terdapat kata pasti. Besar kemungkinan disebabkan karena masih adanya karya-karya al-Ghazali yang belum diterbitkan dan masih dalam bentuk naskah yang tersimpan di perpustakaan, baik di negeri Arab maupun di Eropa. Sebab lain, karena sebahagian di antara karya-karyanya telah lenyap dibakar pada saat tentara Monggol berkuasa, juga sebahagian dibuang penguasa Spanyol atas perintah Qadhi Abdullah Muhammad ibn Hamdi.[10] Kategori ini terdiri dan sejumlah 72 buku, 22 buku yang diragukan sebagai karya al-Ghazali, karya-karya yang mengatakan secara pasti buku al-Ghazali, sebanyak 31 buah.
Adapun landasan pemikiran Al-Ghazali, bahwa sebagai seorang muslim tetap mendasari pemikiran-pemikirannya kepada pokok ajaran Islam, yaitu al-Quran dan Hadis. Di samping itu juga ia mempergunakan akal (al-ma’quI) sebagai landasan berpikirnya. Di dalam kitabnya Qanun al-Ta’wil, Al-Ghazali mengungkapkan kesetujuannya terhadap golongan yang menggabungkan antara wahyu dengan akal sebagai dasar penting dalam membahas sesuatu.
Ketika Al-Ghazali membahas dalil-dalil pokok (yang utama) untuk ijma’ ia menempuh 3 (tiga) jalan, sebagai berikut:
- Berpegang pada Al-Qur’an
- Berpegang pada pendapat Rasulullah Saw, bahwa umat tidak akan bersepakat pada kesalahan (kesesatan)
- Berpegang teguh pada metode ma’nawy.
Dalam kitab al-Mustashfa, Al-Ghazali menyebutkan bahwa rukun Ijtihad ada tiga; Fi Nafs al-Ijtihadi, Al-Mujtahad, Al-Mujtahidu Fihi. Menurut al-Ghazali bahwa Ijtihad ialah menggambarkan sesuatu yang diperjuangkan dan menghabiskan usaha dalam sebuah aktifitas dan tidak bekerja kecuali pada hal-hal berupa beban (kesulitan) secara menyeluruh.
Menurut al-Ghazali Orang yang berijtihad, mempunyai dua syarat, Pertama : mengetahui seluk-beluk syari’at, mana yang didahulukan dan mana yang wajib dikemudiankan.. Kedua : seseorang mujtahid harus adil dan menjauhi dosa, persyaratan inilah sebagai landasan dalam berfatwa, jika tidak adil, maka sama sekali tidak diterima fatwanya. Jadi keadilan seseorang mujtahid sebagai syarat sahnya ijtihad, juga selalu memperhatikan Al-Quran dan As-Sunnah. Di samping itu tidak dijadikan syarat seorang mujtahid bahwa dia harus mengetahui semua kitab yang berhubungan dengan hukum-hukum, tetapi mengetahui sekitar 500 ayat, juga tidak disyaratkan menghafalnya; tetapi mengetahui tempat ayat ketika dibutuhkan.
Adapun tentang hadis, harus mengetahui hadis-hadis yang terkait dengan hukum. Tidak diharuskan untuk menghafalnya, seperti Sunan Abu Daud, Sunan Ahmad dan Al-Baihaqy. Adapun ijma’ diharuskan menghafal semua kejadian ijma’ dan perbedaanperbedaannya, tetapi sebaliknya mengetahui fatwa-fatwa yang mana tidak bertentangan dengan ijma’
Al-Mujtahidu Fihi, atau persoalan Ijtihad ini sendiri, di sini dijelaskan bahwa semua hukum agama yang tidak mempunyai dalil-dalil qathy, bahkan ada pendapat (secara dzanni) bahwa syarat mujtahid bukan Nabi, maka tidak diharuskan berijtihad bagi Nabi dan juga sebagai syarat Ijtihad tidak terjadi pada zaman Nabi; maka timbul dua masalah: terjadi perbedaan pendapat dalam kebolehan taabud dengnan qiyas dan ber Ijtihad pada zaman Rasulullah Saw. dalam hal ini terjadi dua versi: Sekelompok yang melarangnya, dan sekelompok yang membolehkannya. Pendapat pertama : boleh dalam hal memutuskan perkara dan hal pemerintahan dalam keadaan Raasulullah tidak ada. Pendapat kedua: yang membolehkan dengan mengatakan dengan izin Rasulullah cukup dengan diamnya Rasulullah Saw.
Menurut Al-Ghazali dalam mendapatkan hukum ada tiga cara: Secara ijmali (global) menurutnya ada ke-ijmalan, sebagai contoh pada Firman Allah Swt;
وامسحوا بر ء وسكم dalam hal ini Imam Malik dan Abu Bakr dan Ibnu Jany, (dari Nahat) meniadakan al-Urf, mewajibkan membasuh seluruh rambut pada setiap berwudhu, sementara itu Imam Syafi’i dan Abd. Jabbar dan Abu al-Huzain keduanya dari Mu’tazilah menetapkan membasuh tangan degan saputangan, itu berarti membasuh tangan dari sebahagian saputangan, maka wajib membasuh sebahagian rambut. Karena itu Imam Syafi’i dan pendapat-pendapat yang lain: bahwa membasuh dari segi bahasa adalah sebahagian seperti halnya mandi yang berarti keseluruhan.
Secara Al-Bayan, dengan mengambil contoh sah keterangan dengan perbuatan sama kalau memakai dengan perbuatan. Contoh yang lain, Rasulullah Saw., menjelaskan shalat dan haji dengan perbuatannya (dengan contohnya), pada kebanyakan orang mukallaf sebagaimana sabda Rasulullah saw., dalam riwayat Bukhary:
صلوا كمارايتمونى ا صلى خذوا على مناسككم
Dari sini menunjukkan bahwasanya Rasulullah saw., menjelaskan melalui perbuatan.
Dalam hal mengambil suatu hukum, Al-Ghazali mengandalkan hadis-hadis mutawatir, dengan syarat antara lain sebagai berikut:
harus mendahulukan ilmu pada hadis itu, harus mendahulukan sanadnya yang banyak dan tidak berbohong. Kalau bertentangan al-Jarhu wa Ta‘dil, maka yang didahulukan adalah naqd al-sanad (kritik sanad); hadis yang diriwayatkan satu jalur tetapi dengan syarat harusadil maka itu dapat diterima.
Terkait dengan hal ini, maka dia mensyaratkan keadilan di dalam ber-Ijma’ menggantungkan diri, tetapi tetap melegitimasi yang tidak adil seperti di dalam kitab Al-Amidi dan Al-Ghazali menjelaskan bahwa adil yang menunjukkan kehujjahan Ijma’ itu bersifat umum, mutlak, lepas, beda dengan Abu Hanifah, bahwa orang fasiq tidak boleh dijadikan hujjah.
Al-Ghazali secara etimologi memberi penjelasan bahwa kata qiyas berarti mengukur, membanding sesuatu dengan yang semisalnya. Dalam Al-Mustashfa, ia membari definisi qiyas, sebagai berikut : “Menanggungkan sesuatu yang di ketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapakan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum”
Dari definisi yang diberikan oleh Al-Ghazali, secara panjang dan rumit, demikian juga penggunaan kata: hamala (menanggungkan), ada juga pakai isbath (menetapkan), ilhaq (menghubungkan) dan sebagainya. tersebut mengandung arti bahwa qiyas itu merupakan usaha atau mujtahid.
Penggunaan kata ma’lum, oleh Al-Ghazali adalah dimaksudkan untuk menjangkau kepada sesutu yang belum diketahui (ma’düm), karena kalau dikatakan kata “sesuatu” menurut mereka, hanya berlaku yang diketahui (maujud). Terlihat lagi Al-Ghazali difinisinya menghubungkan antara ashal dan furu’ dengan kata (dalam menetapkan hukum atau peniadaan hukum), maksudnya supaya qiyas itu dapat mencapai qiyas ‘aks’ yaitu menghasilkan lawan hukum dari sesautu yang diketahui pada tempat lain karena keduanya berbeda dalam illat, hukum.
Dalam praktek Usul Fiqh, qiyas dapat dirumuskan sebagai cara untuk menetapkan hukum yang kasusnya tidak terdapat dalam nash dengan cara menyamakannya (menganologikan) dengan kasus hokum yang ada pada nash, disebabkan adanya persamaan illat hukum.
Selain al-Ghazali muncul Al-Syatibi yang bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Gharnati asy-Syatibi merupakan salah seorang cendekiawan muslim yang belum banyak diketahui latar belakang kehidupannya. Yang jelas, ia berasal dari suku Arab Lakhmi. Nama asy-Syatibi dinisbatkan ke daerah asal keluarganya, Syatibah (Xatiba atau Jativa), yang terletak di kawasan Spanyol bagian timur.1 Asy-Syatibi dibesarkan dan memperoleh seluruh pendidikannya di ibukota kerajaan Nashr, Granada, yang merupakan benteng terakhir umat Islam di Spanyol. Masa mudanya bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Muhammad V al-Ghani Billah yang merupakan masa keemasan umat Islam setempat karena Granada menjadi pusat kegiatan ilmiah dengan berdirinya Universitas Granada. Suasana ilmiah yang berkembang dengan baik di kota tersebut sangat menguntungkan bagi asy-Syatibi dalam menuntut ilmu serta mengembangkannya di kemudian hari.
Dalam meniti pengembangan intelektualitasnya, tokoh yang bermazhab Maliki ini mendalami berbagai ilmu, baik yang berbentuk ‘ulum al-wasa’il (metode) maupun ‘ulum maqashid(esensi dan hakikat). Asy-Syatibi memulai aktivitas ilmiahnya dengan belajar dan mendalami bahasa Arab dari Abu Abdillah Muhammad ibn Fakhkhar al- Biri, Abu Qasim Muhammad ibn Ahmad al-Syabti, dan Abu Ja’far Ahmad al- Syaqwari. Selanjutnya, ia belajar dan mendalami hadis dari Abu Qasim ibn Bina dan Syamsuddin al-Tilimsani, ilmu kalam dan falsafah dari Abu Ali Mansur al-Zawawi, ilmu ushul fikih dari Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Miqarri dan Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Syarif al- Tilimsani, ilmu sastra dari Abu Bakar al-Qarsyi al-Hasymi, serta berbagai ilmu lainnya, seperti ilmu falak, mantiq, dan debat. Di samping bertemu langsung, ia juga melakukan hubungan korespondensi untuk meningkatkan dan mengembangkan pengetahuannya, seperti mengirim surat kepada seorang sufi, Abu Abdillah ibn Ibad al-Nafsi al-Rundi. Meskipun mempelajari dan mendalami berbagai ilmu, asy-Syatibi lebih berminat untuk mempelajari bahasa Arab dan, khususnya, ushul fikih.
Ketertarikannya terhadap ilmu ushul fikih karena, menurutnya, metodologi dan falsafah fikih Islam merupakan faktor yang sangat menentukan kekuatan dan kelemahan fikih dalam menanggapi perubahan sosial. Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai, asy-Syatibi mengembangkankan potensi keilmuannya dengan mengajarkan kepada para generasi berikutnya, seperti Abu Yahya ibn Asim, Abu Bakar al-Qadi dan Abu Abdillah al-Bayani. Di samping itu, ia juga mewarisi karya-karya ilmiah, seperti Syarh Jalil ‘ala al-Khulashah fi al-Nahw dan Ushul al-Nahw dalam bidang bahasa Arab dan al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah dan al-I’tisham dalam bidang ushul fikih. Asy-Syatibi wafat pada tanggal 8 Sya’ban 790 H (1388 M).
Dalam kerangka ini, asy-Syatibi mengemukakan konsep maqashid al-syariah. Secara bahasa, Maqashid al-Syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqashid dan al-syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan al-syariah berarti jalan menuju sumber air, dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan. Menurut istilah, asy-Syatibi menyatakan, “Sesungguhnya syariah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat”
Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan syariah menurut asy-Syatibi adalah kemaslahatan umat manusia. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa tidak satu pun hukum Allah swt yang tidak mempunyai tujuan karena hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan. Kemaslahatan, dalam hal ini, diartikannya sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan Penghidupan manusia, dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitaskualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak. Dengan demikian, kewajiban-kewajiban dalam syariah menyangkut perlindungan maqashid al-syari’ah yang pada gilirannya bertujuan melindungi kemaslahatan manusia. Asy-Syatibi menjelaskan bahwa syariah berurusan dengan perlindungan mashalih, baik dengan cara yang positif, seperti demi menjaga eksistensi mashalih, syariah mengambil berbagai tindakan untuk menunjang landasan-landasan mashalih, maupun dengan cara preventif, seperti syariah mengambil berbagai tindakan untuk melenyapkan unsur apa pun yang yang secara aktual atau potensial merusak mashalih.
Menurut al-Syatibi [11] maqasidul syariah terbagi kepada tiga tingkatan kebutuhan:
- Kebutuhan Dharuriyat. Ialah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akherat kelak. Menurut al-Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, kehormatan, keturunan serta harta.
- Kebutuhan Hajiyat ialah kebutuhan-kebutuhan sekunder dimana bila tak terwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Syari’at Islam menghilangkan segala kesulitan itu.
- Kebutuhan Tahsiniyat ialah tingkat kebutuhan yang apabuila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok diatas dan tida pula menimbulkan kesulitan. Tingkat ini berupa kebutuhan pelengkap. Menurut al-Syatibi hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak.
Pengetahuan tentang maqasid syari’ah, seperti ditegaskan oleh Abd-Alwahhab Khalaf, adalah hak sangat penting yang dapat dijadikan alat abntu untuk memahami redaksi Al-Qur’an dan sunnah menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak bertampung oleh Al-Qur’an dan sunah secara kajian kebahasan. [12]
Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari menasyri’kan hukum menjadi tiga kelompok, yaitu :
- Memelihara segala sesuatu yang dharuri bagi manusia dalam penghidupan mereka. Urusan-urusan yang dharuri itu ialah segala yang diperlukan untuk hidup manusia, yang apabila tidak diperoleh akan mengakibatkan rusaknya undang-undang kehidupan, timbullah kekacauan, dan berkembangnya kerusakan. Urusan-urusan yang dharuri itu kembali pada lima pokok : Agama, jiwa, akal, keturunan dan harta
- Menyempurnakan segala yang dihayati manusia. Urusan yang dihayati manusia ialah segala sesuatu yang diperlukan manusia untuk memudahkan dan menanggung kesukaran-kesukaran taklif dan beban hidup. Apabila urusan itu tidak diperoleh, tidak merusak peraturan hidup dan tidak menimbulkan kekacauan, melainkan hanya tertimpa kesempitan dan kesukaran saja.
- Mewujudkan keindahan bagi perseorangan dan masyarakat. Ialah segala yang diperlukan oleh rasa kemanusiaan, kesusilaan, dan keseragaman hidup. Apabila yang demikian ini tidak diperoleh tidaklah cidera peraturan hidup dan tidak pula ditimpa kepicikan. Hanya dipandang tidak boleh oleh akal yang kuat dan fitrah yang sejahtera. Urusan-urusan yang mewujudkan keindahan ini dalam arti kembali kepada soal akhlak dan adat istiadat yang bagus dan segala sesuatu untuk mencapai keseragaman hidup melalui jalan-jalan yang utama.
Urusan dharuri merupakan sepenting-pentingnya maksud, karena apabila urusan-urusan dharuri itu ridak diperoleh akan menimbulkan kerusakan dalam kehidupan, menghilangkan keamanan dan merajalelalah keganasan. Dalam padi itu, tidak dipelihara hukum yang bersifat mewujudkan keindahan apabila mencederakan suatu dalam memeliharanya mencederakan hukum dharuri. Karena itu boleh kita membuka aurat untuk keperluan berobat. Menutup aurat merupakan urusan yang mengindahkan, sedangkan berobat suatu urusan dharuri. Boleh kita makan najis untuk obat dan dalam keadaan terpaksa. Tidak boleh makan (memegang) najis adalah urusan yang mengindahkan sedangkan menolak kemudharatan adalah urusan dharuri[13]
Wajib kita mengerjakan segala yang wajib walaupun menimbulkan sedikit kesukaran, karena wajib kita termasuk golongan dharuri. Sedangkan urusan menolak kesukaran dan kepicikan merupakan urusan tahsini yang mengindhkan. Karena itu tidaklah dipelihara urusan yang mengindahkan, mendatangkan kesewenangan, apabila merusak dharuri. Segala hukum dharuri ridak boleh dicederakan, terkecuali kalau suatu dharuri yang lebih penting dari padanya. Atas dasar inilah kita diwajibkan berjihad untuk memeliharanya sebab memelihara agama adalah lebih penting dari pada memelihara jiwa. Meminum arak dibolehkan, terhadap orang yang dipaksa atau karena terpaksa, karena memelihara jiwa lebih penting dari pada memelihara akal. Apabila perlu untuk memelihara jiwa, kita boleh membinasakan harta orang karena memelihara jiwa lebih penting dari pada memelihara harta.
No comments:
Post a Comment